Press ESC to close

Perokok Pasif Lebih Berbahaya Dibanding Merokok?

Tak hanya kepada orang merokok, kampanye kesehatan antirokok kerap pula menyebut rokok berbahaya bagi perokok pasif. Hal ini tentu saja menimbulkan kontroversi di beragam pemikiran masyarakat. Media pemberitaan yang menyoroti isu rokok dan kesehatan, seperti tak ada habisnya menyudutkan rokok dan perokok.

Tak jarang, sorotan kampanye antirokok itu menyebut dengan skala angka, tentang risiko penyakit dan kematian yang diakibatkan rokok. Nalar masyarakat terus didorong untuk percaya, bahwa urusan hidup mati manusia seolah-olah hanya ditentukan oleh rokok.

Jika kita gunakan nalar kritis sedikit saja, satu hal sederhana yang bisa kita untuk bahwa jika rokok memang membunuh manusia, maka populasi manusia di atas bumi tentu semakin hari semakin susut. Namun, faktanya tidak.

Ada beberapa variabel kesehatan yang perlu diungkap lanjut terkait klaim bahaya rokok, bahwa problem pola hidup yang tidak seimbang merupakan variabel yang jarang dibuka lebih jauh. Beragam kampanye kesehatan melulu menebalkan stigma pada rokok, bahaya kesehatan lain misalnya perkara obesitas, tak jarang pula rokok yang dikambing-hitamkan.

PIhak WHO yang datanya kerap dipakai banyak media, dijadikan semacam kesimpulan final bahwa kematian non perokok yang mencapai 600.000 jiwa tiap tahun itu akibat terapapar asap rokok.

Sementara, data angka tersebut sifatnya hanyalah prediksi atau perkiraan. Data angka semacam itu tentu saja rentan dipercaya kebenarannya. Validasinya masih dipertanyakan. Misalnya, soal sample penelitiannya, pula terkait metode penelitiannya. Angka tersebut masih bersifat debatable.

Bukan apa-apa, jika bicara tentang angka kematian masyarakat yang bukan perokok, adakah datanya terkait kematian seseorang yang terpapar asap rokok yang tanpa sengaja menghirup asap rokok seketika nyawanya hilang?

Baca Juga:  Manfaat Rokok, Mencairkan ‘Mulut Asem’ Demonstran

Dari pertanyaan ini saja masih banyak yang bisa kita kulik lebih dalam. Misalnya, soal kandungan rokok yang disebut-sebut memiliki ribuan zat berbahaya, mestinya ya banyak perokok dalam hitungan hari maupun pekan sudah bertumbangan mati. Faktanya tidak toh. Lalu bagaimana dengan variabel polusi udara yang disumbang kendaraan bermotor?

Jika digadang-gadang dengan angka, dari 100% bahaya asap rokok, sebesar 75% bahaya asap rokok dirasakan pada non perokok dan itu disebut lebih lebih bahaya bahkan lebih mematikan dibanding pada perokok. Duh, absurd banget sih ini.

Kok ya masyarakat kayak dihadapkan pada dikotomi; menikmati rokok mati tidak menikmati juga ikut mati. Artinya, publik seperti dihadapkan pada opsi; lebih baik menghisap rokok dong, daripada tidak menikmati, yang justru jauh lebih berbahaya. Di sinilah yang disebut ‘dikotomi adalah racun’ menemukan konteksnya.

Sejak jauh hari, sebetulnya istilah second smoker itu sudah terpatahkan oleh hasil riset para ahli di Amerika Serikat. Kasusnya bermula dari Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat. Dalam laporannya, mereka mengklaim perkara secondhand smoker merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, telah membunuh sekitar 3.000 non perokok Amerika setiap tahun akibat kanker paru-paru.

Kemudian riset dari EPA menuai kritik. Salah satunya oleh Congressional Research Service (CRS) USA. Pada November tahun 1995, CRS merilis laporan analisis kritis terhadap metode dan kesimpulan EPA setelah melalui studi selama 20 bulan. Kemudian pada tahun 1998, hakim federal menyatakan riset EPA batal dan tidak berlaku.

Selain itu, pada tahun 2003 British Medical Journal merilis sebuah makalah definitif tentang secondhand smoker dan kematian akibat kanker paru. Dalam makalah ini, dilakukan penelitian yang melibatkan sekitar 35 ribu warga California yang tidak merokok. Hasilnya, tidak ditemukan hubungan statistik yang signifikan antara paparan asap rokok terhadap orang yang tidak merokok dan kematian akibat kanker paru-paru.

Baca Juga:  Menangkap Potensi Pasar Rokok Ilegal dan Kemungkinan Lain

Dari data penelitian di atas saja sudah bisa kita simpulkan bahwa, bicara soal masyarakat yang digolongkan bukan perokok, tak lebih dari akal-akalan saja. Tujuannya tak lain untuk membuat label buruk semakin mengerikan saja ini produk tembakau, kemudian timbul perhatian masyarakat global untuk memusuhi rokok secara membabi buta. Tanpa disertai nalar kritis yang didasari dialektika ilmiah.

Jika angka penyakit yang berujung kematian masyarakat dunia diprediksi meningkat, tentu ada sekian variabel yang harusnya diangkat para ahli, bukan melulu main klaim dan mereproduksi data akal-akalan.

Selain variabel pola hidup, peradaban yang serba praktis ini terus saja memanjakan konsumen, walhasil orang jadi malas gerak. Terjadilah penumpukan lemak, ditambah jarang berolahraga. Belum lagi problem kegandrungan pada junk food.

Artinya, produk konsumsi mana sih yang tidak berisiko? Kenapa melulu rokok sih ditebalkan stigmanya, yang serba jahat dan membunuh. Sementara, ada yang lebih penting dari itu, yakni soal kesadaran merokok pada tempatnya. Perkara KTR di Indonesia misalnya, belum sepenuhnya memenuhi asas yang win win solution terkait ketersediaan ruang merokok.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *