Press ESC to close

Pajak Rokok Menjadi Andalan Sejak Jaman Belanda

Pemerintah Hindia Belanda sejak pra Indonesia Raya telah menjadikan pajak rokok sebagai andalan pendapatan. Sejarah industri produk tembakau dalam negeri yang kemudian dikenal sebagai kretek, jika ditilik kembali akan membawa kita pada peran industri kretek yang sangat menopang perekonomian.

Mengingat lagi pada tahun 1930-an, Belanda tengah mengalami krisis yang sangat menekan. Bangkrutnya semua sektor usaha milik Belanda pada masa krisis yang dinamai krisis Malaise, membuat, penjajah terpukul secara ekonomi.

Termasuk dari sektor gula yang menjadi andalan perekonomian, mengalami kebangkrutan. Sementara itu, industri kretek bertahan, oleh sebab produk kretek diproduksi dan dikonsumsi penduduk pribumi. Beberapa literatur yang menjelaskan kondisi masa itu, menunjukkan adanya depresi ekonomi yang menghantam Belanda. Namun, industri kretek tidak.

Sejak mula kemunculannya, industri kretek telah menjadi sumber ekonomi yang mampu menghidupi masyarakat. Komponen bahan bakunya yang tersedia di dalam negeri, membuktikan bahwa kretek sebagai produk budaya mampu memberi matahari baru bagi Belanda.

Jika dulu sebagian besar pribumi menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan milik Belanda, kemudian dengan adanya industri kretek, telah menjadikan nama-nama saudagar pribumi semakin mengemuka. Menengarai hal ini, Belanda secara tidak langsung disentak kesadarannya oleh keberadaan industri kretek.

Industri ini sebagian besar berbasis di desa-desa, pabriknya pun skala rumahan. Bukan seperti pabrik-pabrik yang kita ketahui sekarang. Meski, masih dapat kita temukan juga beberapa yang berskala rumahan, namun, dari sisi ini kita dapat menemukan fakta bahwa produk rumahan yang tersebar di banyak desa di Pulau Jawa memiliki etos ekonomi yang luar biasa.

Terbukti dari pendapatan pajak yang dipungut dari sektor kretek, menurut Lance Castles dalam bukunya, “pajak tembakau pada tahun 1938 mencapai Rp.1.790.000, atau 6,2% dari total pemasukan pajak dan bea.” Pada masa itu, angka pendapatan tersebut terbilang sangat membanggakan yang diterima Hindia Belanda.

Pertumbuhannya pun sangat signifikan, terukur dua puluh tahun kemudian (1959) jumlah itu telah melejit menjadi Rp 244.930.000 dan merupakan 18,2% dari total penerimaan pajak dan bea bagi pemerintah kolonial,” imbuhnya. Jadi, dalam 20 tahun kenaikannya mencapai hampir 137 kali lipat (13.700%). Lompatan angka penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang demiian baik, membuat Belanda mendapatkan optimismenya.

Baca Juga:  Segudang Manfaat Rokok dalam Kehidupan Berbangsa dan Bermasyarakat

Namun, bukan berarti perjalanan industri kretek terus berlangsung mulus. Pada permulaan abad 20, sebagai penanda kejayaan industri kretek, telah menimbulkan persaingan yang cukup menorehkan sejarah penting. Di antaranya tragedi kerusuhan yang terjadi pada 31 Oktober 1918. Kerusuhan yang dipicu sentimen ras dan agama kala itu, membuat suasana Kota Kudus berubah.

Kerusuhan besar itu mengakibatkan banyak kerusakan cukup berat pada aset-aset industri kretek yang menjadi ruang ekonomi masayarakat. Namun, kondisi itu tak berlangsung lama, secara perlahan namun pasti, sektor andalan itu kembali bangkit.

Satu hal yang penting dicatat, dengan kegemilangan industri kretek, pajak tembakau menjadi salah satu pemasukan andalan bagi pemerintah kolonial. Seiring berjalannya waktu, sampai pasca kemerdekaan pun, dari sektor kretek ini pemerintah HIndia Belanda meraup keuntungan yang sangat besar.

Kondisi yang menguntungkan itu pun terwaris dari setiap rezim pemerintahan. Sebagaimana penerimaan pada periode pertama di tahun 2022, menurut laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) meningkat 30,98% (year-on-year/yoy) menjadi Rp76,29 triliun pada periode Januari–April 2022.

Adapun pertumbuhan CHT pada Januari-April 2022 didorong oleh peningkatan produksi hasil tembakau serta kenaikan tarif cukai. Angka ini membuktikan, bahwa sektor pajak dan cukai rokok menjadi sumber pendapatan anadalan yang terus menopang ekonomi negara dari masa ke masa.

Jika kita tilik lagi pada masa krisis moneter, ketika itu kondisi ekonomi makro terguncang. Ditandai masalah inflasi, utang luar negeri, dan ketimpangan. Krisis ini pertama kali dimulai pada 2 Juli 1997 ketika Thailand mendeklarasikan ketidakmampuan untuk membayar utang luar negerinya.

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Tercatat sejak tahun 1997 hingga 1998, Indonesia mengalami inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga -13 persen.

Baca Juga:  Pabrik Rokok Ini Paling Cepat Beri THR

Pada kondisi yang serba dilematis itu, produksi industri rokok dalam negeri justru meningkat. Dari 220 miliar batang menjadi 269,8 miliar batang. Penerimaan CHT mencapai periode 1996/1997 sebesar Rp 4.060,5 miliar, periode 1997/1998 mencapai Rp 4.892,8 miliar, periode 1998/1999 mencapai Rp 7.459,4 miliar, periode 1999/2000 mencapai Rp 10.113,3 miliar.

Gambaran itu membuktikan bahwa sektor kretek, hadir sebagai industri yang tahan terhadap ancaman krisis ekonomi yang mengguncang banyak negara. Industri kretek teruji mampu melewati badai krisis dan tetap memberi keuntungan bagi negara.

Ditambah lagi, jika kita mengingat kondisi pandemi covid 19 yang telah memukul banyak sektor usaha. Ekonomi mengalami kelesuan. Industri kretek tetap mampu memberikan keuntungan bagi negara, Bahkan oleh pemerintah, sektor ini menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Sampai titik ini dapat kita simpulkan, sejak masuknya agenda pengendalian melalui isu keshatan. Produk budaya kretek mengalami keterancaman oleh adanya regulasi-regulasi yang tidak berpihak. Regulasi cukai yang semakin menekan pabrikan kecil, ditambah pula, maraknya kampanye ksehatan yang mendiskreditkan rokok.

Kondisi ini menimbulkan ironi dan keterbelahan di masyarakat dalam memaknai sikap pemerintah. Tak ayal akan membuat masyarakat diliputi pertanyaan-pertanyaan krusial, mengingat eksistensi industri kretek yang sudah demikian panjang dan memberi prestasi gemilang dari sisi ekonomi. Tetapi pemerintah, justru bermuka dua dalam menyikapi isu pengendalian yang didorong oleh kepentingan dari luar.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *