Press ESC to close

Perjalanan Saya Mencari Tempat Merokok di Malioboro

Terhitung sejak 12 November 2020, Kawasan sepanjang Jalan Malioboro ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Penerapan Kawasan Tanpa rokok ini merupakan implementasi dari Perda Kota Yogyakarta nomor 2/2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang ditetapkan 20 Maret 2017. Sejak awal pemberlakuannya, hal tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, mulai dari pedagang kaki lima dan pekerja informal sepanjang Jalan Malioboro, bahkan sampai dengan wisatawan sendiri.

Selain karena ancaman hukumannya yang tidak main-main yaitu berupa denda sampai Rp. 7,5 juta sampai sanksi sosial yaitu foto wajahnya dipajang secara umum. Namun hingga sekarang, penerapan Kawasan Tanpa Rokok ini dinilai belum maksimal karena berbagai alasan, terutama konon karena masih minimnya Area Merokok yang juga merupakan kewajiban pemerintah daerah seiring pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok.

Saya mencoba melakukan perjalanan menelusuri jalan sepanjang Malioboro untuk melihat secara langsung kondisi Tempat Merokok yang sering dikeluhkan pedagang serta pengunjung di Kawasan tersebut. Dari informasi yang saya dapat dari plang pengumuman Kawasan Tanpa Rokok, di sepanjang Malioboro ini setidaknya terdapat empat Tempat Merokok, yaitu lantai tiga Pasar Bringharjo, halaman Ramayana Mall sisi utara, halaman Malioboro Mall sisi utara, serta Taman Parkir Abu Bakar Ali.

Saya memarkirkan kendaraan dan mulai berjalan dari Jalan Pabringan yang terletak persis di sebelah selatan Pasar Bringharjo. Tanpa berlama-lama saya pun memasuki pintu utama lalu menyusuri lorong lantai pertama yang didominasi penjual pakaian.

Tak ada petunjuk apapun terkait keberadaan Tempat Merokok di area pasar ini. Tapi dengan bermodal informasi yang sangat terbatas bahwa Tempat Merokok terdapat di lantai tiga, saya pun bergegas menaiki tangga satu per satu.

Setibanya di lantai tiga, nihil, tak tampak satupun tempat yang menyerupai Tempat Merokok, hanya ada kios yang menjajakkan pakaian seperti lantai satu dan dua yang barusan saya lewati.

Saya mencoba memutari lorong demi lorong di lantai ini satu per satu sekadar untuk memastikan. Hasilnya tetap sama nihilnya, plang atau tanda petunjuk pun tak ada sama sekali. Yang ada justru plang larangan merokok di area pasar hampir di setiap sudut.

Setelah yakin tak melihat keberadaan Tempat Merokok yang saya cari, saya pun turun ke lantai dua. Dalam perjalanan di lantai dua ini saya mencoba bertanya pada salah satu pedagang, sekadar ingin memastikan sekali lagi karena saking penasarannya.

Namun, si pedagang mengatakan Tempat Merokok ada di lantai tiga di area parkir, lalu saya menanyakan letak area parkir tersebut karena sambal menjelaskan bahwa saya sudah memutari lantai tiga dan tak ada area parkir di lantai tersebut.

Usut punya usut, ternyata area parkir lantai tiga yang dimaksud berada di bangunan sebelah timur, yang artinya saya masih harus berjalan cukup jauh ke belakang dari tempat saya tadi. Tapi karena rasa penasaran saya pun tetap menuju ke sana.

Saya kembali menaiki tangga yang tadi sudah saya lewati, kembali menyusuri lorong di lantai tiga terus ke belakang dan sempat tersasar beberapa kali sebelum akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Dan, tak ada satupun tanda-tanda Tempat Merokok, tak ada plang, juga tak ada bangku atau apapun yang menandakan tempat tersebut adalah Tempat Merokok seperti bayangan yang ada di kepala saya.

Setelah memutari area parkir tersebut saya memutuskan untuk kembali turun, dan niat menyalakan rokokpun saya urungkan. Saya pun membayangkan berapa orang yang sudah bernasib sama seperti saya, pontang-panting menelusuri lorong dan tangga pasar hanya untuk merokok, lalu setelah ketemu ternyata tempatnya tidak enak-enak amat untuk merokok seperti ini.

Saya kembali melanjutkan perjalanan mencari Tempat Merokok kedua yang konon berada di halaman Ramayana Mall sebelah utara yang berjarak sekitar 200 meter atau 2 menit jalan kaki dari Pasar Beringharjo. Tapi lagi-lagi tak ada papan petunjuk arah atau apapun yang dapat menuntun saya ke Tempat Merokok yang dimaksud.

Baca Juga:  Memaknai Pencerahan Pada Perayaan Waisak

Setelah berputar-putar saya baru melihat plang Area Merokok yang ternyata berada di Jalan Ketandan Wetan yang berada di persis di sisi utara Ramayana Mall. Tapi, lagi-lagi bayangan Tempat Merokok yang nyaman yang ada di kepala saya buyar seketika.

Boro-boro ada bangku, bahkan plang petunjuknya pun di tanam di sebuah tempat yang mirip pot bekas dengan sampah plastik di dalamnya. Untuk sekadar berdiri pun hampir mustahil karena di sepanjang jalan tersebut digunakan untuk tempat parkir kendaraan.

Kecewa untuk kedua kalinya sayapun memutuskan untuk mencari Tempat Merokok ketiga yang berada di halaman Malioboro Mall sisi utara yang berjarak sekitar 800 meter atau 8 menit jalan kaki dari Ramayana Mall.

Kali ini sebenarnya saya tidak terlalu berharap banyak karena saya tidak mau dikecewakan harapan saya sendiri untuk ketiga kalinya. Tapi dugaan saya kali ini keliru, sesampai di sisi utara Malioboro Mall saya sudah bisa melihat plang Tempat Merokok dengan tempat yang cukup nyaman, ada atap kecil yang ditumbuhi dedaunan, ada asbak besar, dan juga bangku kapasitas tiga orang yang sialnya sudah terisi oleh orang yang justru tidak sedang merokok. Sayapun kembali mengurungkan niat saya untuk merokok di tempat itu.

Tempat terakhir yang saya tuju adalah Taman Parkir Abu Bakar Ali. Sudah saya niati kali ini saya akan merokok di sana bagaimanapun keadaan Tempat Merokoknya, karena cuma tinggal itu Tempat Merokok yang tersedia di sepanjang Malioboro. Jarak menuju tempat tersebut sekitar 500 meter atau 5 menit jalan kaki.

Di tengah perjalanan saya sempatkan untuk mampir ke Teras Malioboro, yaitu tempat semacam pasar yang disediakan pemerintah untuk relokasi pedagang yang sebelumnya sudah bertahun-tahun berjualan di trotoar sepanjang Jalan Malioboro.

Tujuannya untuk menuruti rasa penasaran saya apakah terdapat Tempat Merokok untuk para pedagang di tempat tersebut. Hasilnya nihil, yang saya temukan lagi-lagi plang larangan merokok.

Saya keluar lalu kembali menuju Taman Parkir Abu Bakar Ali yang jaraknya masih sekitar 350 meter. Namun lagi-lagi saya tak menemukan tanda apapun yang menunjukkan tentang keberadaan Tempat Merokok malah yang saya temukan justru lagi-lagi plang penanda Kawasan Tanpa Rokok.

Saya mencoba berjalan sedikit lebih jauh sampai akhirnya menemukan beberapa Jogoboro (Petugas keamanan di Kawasan Malioboro) sedang berkumpul sambil menghisap merokok. Lalu saya pun mengambil kesimpulan inilah Tempat Merokok yang dimaksud.

Tanpa berlama-lama saya menyalakan sebatang rokok karena sudah tak ada pilihan Tempat Merokok yang lain, lagi pula tempat ini sedikit lebih layak dari tempat-tempat sebelumnya karena ada tempat duduk yang dinaungi pohon. Walaupun kalau dipikir-pikir absurd juga harus berjalan sejauh ini hanya untuk menyalakan sebatang rokok.

Yogyakarta dan Ambisi Pariwisata

Mungkin sudah jadi pengetahuan umum bahwa Yogyakarta begitu ambisius dengan proyek-proyek pariwisatanya. Malioboro yang notabene merupakan pusat keramaian dan pariwisata utama di Yogyakarta tentu tak luput dari proyek tersebut.

Wacana memperbarui wajah Malioboro muncul secara resmi dalam pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X saat siding paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012. Terhitung sejak 2015 proyek revitalisasi Kawasan Malioboro dan sekitarnya sudah dimulai dan dibagi menjadi dua tahap.

Tahap pertama dimulai dari 3 September 2015, sedangkan tahap kedua dimulai pada 7 Maret 2017. Proyek yang konon menelan dana tak kurang dari 40 milyar rupiah tersebut dilakukan demi menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung di kawasan yang rencana tata ruangnya dibuat mirip dengan kawasan Orchard Road di Singapura tersebut.

Tak hanya menelan biaya yang cukup besar, ambisi Yogyakarta untuk membenahi kawasan Malioboro juga harus mengorbankan banyak hal. Kita tentu masih ingat penggusuran pedagang kaki lima di kawasan Stasiun Tugu untuk dijadikan kawasan pedestrian, atau yang baru-baru ini relokasi besar-besaran pedagang sepanjang jalan Malioboro ke tempat baru yang dinamai Teras Malioboro. Penetapan Malioboro sebagai Kawasan Tanpa Rokok pada 12 November 2020 pun tak lepas dari ambisi pemerintah Yogyakarta tersebut. 

Baca Juga:  Jika FCTC Tidak Ditelurkan, Antirokok di Indonesia Telurkan Apa?

Namun ternyata pembangunan jor-joran yang menelan biaya sangat besar untuk merias wajah Malioboro ternyata tak sejalan dengan pembangunan Tempat Merokok yang layak seiring diberlakukannya Kawasan Tanpa Rokok tersebut.

Perlu diketahui penyediaan Tempat Merokok adalah amanat dari Putusan MK sebagai kewajiban bagi Pemerintah Daerah ketika memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok di ruang publik seperti kawasan Malioboro. Namun dari hasil penelusuran saya, Tempat Merokok dibangun seolah-olah hanya sekadar ada.

Bayangkan saja hanya terdapat empat Tempat Merokok sepanjang Jalan Malioboro yang membentang sepanjang 2 kilometer mulai dari titik 0 km sampai timur Stasiun Tugu dengan jarak tempuh antar Tempat Merokok tadi sejauh 2 sampai 8 menit berjalan kaki. Belum lagi kalau dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan dan pekerja di sepanjang Malioboro.

Tahun 2021 saja yang notabene pariwisata sedang jatuh akibat Pandemi Covid, angka kunjungan wisatawan Malioboro mencapai 1,1 juta orang. Belum termasuk pedagang kaki lima di sepanjang Malioboro yang menurut data di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro mencapai 1786 pedagang.

Belum lagi pekerja informal seperti pengamen, penarik becak dan andong, juga pekerja toko sepanjang Malioboro. Hal ini tentu membuat Tempat Merokok yang kini sudah ada di sepanjang Malioboro masih jauh dari kata layak baik dari sisi akses ataupun kapasitas.

Tempat Wisata Berkeadilan; Sebuah Angan-angan (?)

Sepanjang perjalanan saya menyusuri Malioboro, saya berulangkali mengumpat, sesulit ini mencari tempat untuk melakukan aktivitas yang legal dan dilindungi undang-undang. Sepanjang perjalanan pula saya membayangkan seandainya saya adalah seorang pekerja yang menghabiskan waktu setiap hari berada di kawasan tersebut lalu harus dipaksa untuk mematuhi aturan Kawasan Tanpa Rokok dengan penyediaan Tempat Merokok yang begitu minim bahkan sulit untuk diakses. Atau wisatawan yang memutuskan untuk berlibur di Malioboro, lalu harus pontang-panting mencari area merokok seperti yang saya rasakan berbekal minimnya informasi.

Tentu hal ini justru kontraproduktif dengan semangat Pemerintah Yogyakarta untuk memanjakan  para wisatawan yang datang agar mereka nyaman selama melakukan liburan di kawasan ini dengan harapan akan kembali berkunjung suatu saat nanti.

Semangat yang dibawa atas pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok harusnya adalah semangat berbagi ruang agar tak ada hak masyarakat yang dilanggar, non-perokok tidak terganggu dengan asap rokok milik orang lain, dan perokok tidak dilanggar haknya untuk melakukan aktivitas merokok.

Namun seringkali yang terjadi, seperti halnya yang terjadi di Malioboro, adalah semacam peminggiran dan diskriminasi perokok. Perokok dibuat kesulitan untuk mendapatkan haknya yaitu Tempat Merokok yang layak, sekaligus dibayang-bayangi ancaman sangsi ketika melanggar mulai dari denda sampai dipermalukan.

Saya pikir pemerintah tidak cukup bodoh untuk tidak melihat bahwa minimnya Tempat Merokok menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok di Malioboro seperti yang selama ini sering mereka keluhkan.

Saya pikir pula pemerintah tidak cukup ceroboh untuk mengabaikan fakta bahwa banyak, kalau tidak sebagian besar, wisatawan yang datang ke Malioboro adalah perokok. Jadi saya pikir penyediaan Tempat Merokok yang layak dan aksesibel harusnya bisa sejalan dengan semangat menggencarkan pariwisata di Yogyakarta terutama di Malioboro.

Mungkin saja dengan melakukan hal tersebut tingkat pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok bisa menurun sehingga non-perokok tidak terlanggar haknya untuk tidak terpapar asap rokok, juga bagi perokok tidak terlanggar haknya untuk mendapat Tempat Merokok yang layak dan mudah diakses. Karena ketika tempat wisata sudah bisa memberikan kenyamanan dan rasa keadilan semua pihak, termasuk baik bagi yang perokok ataupun bukan perokok, tentu ia akan menarik semakin banyak wisatawan, bukan?

Oleh: Aan K. Riyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *