Press ESC to close

Rokok Elektrik Lebih Hemat dari Rokok?

Siasat dagang rokok elektrik semakin nyata saja memainkan jurus marketingnya untuk merebut pasar perokok. Fakta ini mengingatkan kita lagi bahwa, isu kesehatan yang selama ini digunakan untuk mendiskreditkan rokok hanyalah akal-akalan dagang semata.

Sejak masifnya gerakan antirokok di Indonesia, kita dapat merasakan sepak terjang mereka dalam upaya menyingkirkan rokok dari masyarakat. Gaung isu kesehatan didorong untuk meyakinkan pemerintah dalam menerbitkan regulasi pengendalian. Untuk mencitrakan kalau rokok itu produk konsumsi yang sangat berbahaya. Bahkan, disetarakan dengan narkoba.

Mengingat lagi produk tembakau Indonesia yang sangat beragam. Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia yang telah hadir sejak era Nitisemito, secara ekonomi telah berkontribusi besar terhadap kemandirian masyarakat.

Semua komponen rokok Indonesia tersedia di dalam negeri, termasuk pasarnya. Produk bercitarasa khas bernama kretek itu telah menjadi simbol kedigdayaan ekonomi serta turut melumasi proses pembangunan di Indonesia.

Berbeda dari rokok elektrik yang datang belakangan. Kehadirannya kini semakin masif di tengah gempuran isu kesehatan yang demikian bertubi-tubi terhadap rokok, sehingga mengancam sektor IHT dalam negeri. Dampaknya dapat dirasakan dari semakin menurunnya serapan tembakau petani.

Sejak tahun 2000-an awal saja, sudah ada ribuan pabrik rokok skala kecil menengah yang terpaksa gulung tikar. Kebangkrutan mereka ditandai oleh munculnya PP 109/2012 yang secara ketat mengatur persoalan tata niaga dan pengendalian konsumsi rokok.

Isu kesehatan yang menjadi dalil pengendalian telah sukses mengerek naiknya pungutan cukai rokok, yang sejak 2016 naik di atas 10 persen. Angka porsentase ini terbilang baru terjadi di dalam sejarah pertembakauan di Indonesia.

Sejak 2016 itu sampai tahun ini, porsentase kenaikan cukai rokok telah membuat pabrikan tertekan karena biaya produksi yang semakin tinggi. Daya beli pasar menurun. Sehingga beberapa langkah efesiensi dilakukan, di antaranya dengan melakukan pembatasan kuota produksi.

Baca Juga:  Tembakau Jember Menuju Jerman

Dari sisi ini, kita dapat menengarai betapa kompleksnya beban yang harus dialami IHT dalam negeri. Sudahlah ditekan regulasi yang tidak berpihak, kondisi pasar direcoki kampanye kesehatan yang dimainkan antirokok yang disponsori kepentingan farmasi.

Oleh antirokok, produk tembakau kerap disebut-sebut mengancam penghasilan masyarakat, bikin miskin, bikin susah punya rumah, dlsb. Tapi ingat, dana cukainya juga dipakai buat menunjang fasilitas kesehatan di beberapa rumah sakit. Menambal defisit BPJS. Apa itu bikin susah?

Bahkan, belakangan rokok dikait-kaitkan dengan persoalan stunting dan gizi buruk. Orang tua perokok dituding lebih mementingkan rokok ketimbang gizi anak, rokok membunuhmu lah intinya. Wtf. Di lain sisi, pemerintah justru menjadikan IHT sebagai sumber pendapatan andalan. Setiap tahun ratusan triliun rupiah masuk kas negara.

Pada kondisi ini, nalar perokok diobrak abrik dengan masifnya promosi produk rokok berbasis uap. Secara umum, masyarakat mengenalmya sebagai rokok elektrik. Produk semacam ini digadang-gadang lebih aman secara kesehatan, dibanding-bandingkan dengan rokok. Tidak berbau. Dipersanding dengan rokok konvensional. Lebih hemat, (lagi-lagi) diperbandingkan dengan rokok.

Dapat dengan mudah kita temukan iklan produk rokok berbasis uap di berbagai media. Media pemberitaan yang biasanya mem-framing rokok sebagai ancaman kesehatan, justru terhadap produk berbasis nikotin dengan mekanisme uap diangkat sebagai solusi. Artinya, ya media sih senang-senang saja memberitakan sesuatu yang kaitannya dengan produk. Wong ada hitungan duit yang masuk.

Namun, dari sini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Ketika produk rokok non tar dipromosikan lebih hemat dengan berbagai rumus kalkulatif. Sejatinya, kalau mau bicara mana lebih hemat jelas kembali ke manajemen konsumsinya. Kembali pada penggunanya.

Baca Juga:  Ramadhan di Tengah Pandemi dan Pelajaran Saling Menghargai

Diketahui pula, tidak sedikit konsumen pave ataupun pod yang juga harus membeli rokok, entah sebatas teman waktu bertahta di kloset, ataupula hanya sehabis makan. Apa itu hemat?

Sejurus itu pula, kalau mau kita bandingkan secara serampangan. Banyak konsumen rokok yang sukses jadi pribadi-pribadi hebat, saudagar sohor, punya posisi mentereng dan aset usaha di mana-mana.

Artinya, mau merokok ataupun nge-vape, bukan faktor penentu konsumen jadi lebih irit lantas jadi orang kaya. Tidak begitu juga, Bos. Itu semua kembali ke kemampuan pribadi-pribadinya dalam menyiasati hidup dan pola konsumsi.

Kita sebagai sesama konsumen, terkadang cuma bisa geli sendiri melihat fenomena promosi semacam itu. Ada produk yang sama-sama mengandung nikotin, kok ya mengklaim nilainya lebih sehat lebih hemat. Sementara, keduanya sama saja. Kena pungut cukai, terikat aturan hukum tentang pertembakauan. Makin bikin geli saja, siasat dagang dari produk yang sama-sama mengeluarkan asap.

Tentu sudah dapat kita tengarai, kalau isu kesehatan yang didengungkan gerakan antitembakau selama ini hanyalah akal-akalan, lha wong ujung-ujungnya jualan pod jualan vape kok. Hih.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *