Press ESC to close

Gempur Rokok Ilegal Semakin Efektif Jika… 

Upaya pihak bea cukai dalam memberantas rokok polosan kian diperkuat dengan mengusung jargon gempur rokok ilegal. Slogan simbolik ini belakangan cukup masif ditemukan di berbagai pemberitaan.

Maraknya rokok tanpa cukai yang beredar di pasaran memang tak pernah tuntas diberantas dari tahun ke tahun. Meski terakhir kabarnya puluhan ribu bungkus atau sebanyak 1.934.860 batang rokok dimusnahkan di halaman kantor bea cukai Ketapang pada 21 Juni kemarin.

Tidak hanya itu, Bea Cukai Bandar Lampung melakukan hal yang sama sebanyak 16 juta batang rokok. Dalam upaya mewujudkan komitmen mereka, pihak Bea Cukai menggandeng aparat penegak hukum untuk melakukan operasi penindakan.

Kegiatan tersebut dilangsungkan di beberapa daerah, yakni di Palopo, Bengkulu, Palu, Maros, Bandung dan Kediri. Kegiatan razia ke sejumlah warung dan sosialisasi yang dilakukan di tiap kota tersebut berlangsung pada medio Juni lalu.

Barang bukti dari razia tersebut dikabarkan telah dimusnahkan sebagai penegasan atas komitmen aparat dalam menindak kerugian negara. Sebagian besar rokok tersebut disita dari para penjual rokok eceran di daerah-daerah yang telah diketahui persebaran rokok tanpa cukai.

Proses penyitaan dan sosialisasi yang menekankan frasa ‘gempur’ tersebut, menjadi isyarat bahwa rokok yang beredar tanpa cukai itu telah menjadi momok yang harus ditiadakan. Dari sisi pasar, peredaran rokok ilegal ini tentu dapat merugikan masyarakat.

Selain itu, secara perbandingan harga yang lebih murah dari produk legal, tentu hal ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasaran. Dalam konteks ini dapat mengganggu iklim usaha yang kondusif. Para pelaku usaha rokok sudah pasti terdampak oleh kondisi tersebut.

Baca Juga:  Bupati Temanggung Turut Menolak Revisi PP 109

Berdasar data dari Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu memperkirakan peredaran rokok ilegal kembali turun menjadi sebesar 3% sepanjang 2021 lalu. Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan tren peredaran rokok ilegal telah menunjukkan penurunan dalam setahun terakhir. Padahal, angka peredaran rokok ilegal sempat melonjak pada 2020 hingga mencapai 4,8%.

Kemudian, berdasarkan data penindakan Bea Cukai secara nasional, pada tahun 2018 sampai dengan April 2022, terjadi peningkatan intensitas dan kualitas penindakan BKC (Barang Kena Cukai) oleh pihak Bea Cukai.

Bahkan di tahun ini, hingga April 2022, telah terlaksana 7.666 kali penindakan rokok ilegal dengan barang bukti berupa 162,6 juta batang rokok dan 567 kali penindakan miras ilegal dengan barang bukti berupa 42.291 liter minuman beralkohol.

Angka penindakan dengan menekankan pada ‘Operasi Gempur’ tresebut dinilai sebagai bentuk optimalisasi kinerja Bea Cukai untuk menekan angka kerugian negara akibat produk ilegal yang nilainya mencapai milyaran rupiah.

Sebagai konsumen, kita turut mengapresiasi upaya optimalisasi yang dilakukan Bea Cukai. Namun, jika kita tinjau lebih kritis, perkara rokok yang secara komposisi tidak jelas ini sebab tidak melewati prses uji BPOM. Tidak akan sepenuhnya efektif. 

Kondisi yang sama akan terus berulang, meski setiap tahun ditargetkan untuk menurunkan angka peredarannya, tidak akan signifikan jika regulasi cukai yang dikeluarkan pemerintah tidak berpihak pada stakeholder pertembakauan.

Artinya, regulasi terkait kenakan tarif Cukai Hasil Tembakau yang demikian eksesif di atas 10 persen sejak tahun 2016. Sejatinya, kenaikan tarif CHT yang melampaui angka psikologis pasar itu membuka peluang bagi suburnya preferensi perokok untuk beralih membeli rokok polosan.

Baca Juga:  Petani Tembakau Menolak Revisi PP 109/2012

Mengingat kenaikan tarif CHT yang pada 2022 rata-rata naik 12,5 persen, sehingga membuat naik pula harga jual eceran rokok di pasaran secara gradual. Inilah yang menjadi akar dari merebaknya rokok ilegal. 

Mestinya, dalam hal ini pemerintah sudah harus berhitung untuk tidak menaikkan tarif CHT yang demikian membebani para pelaku usaha. Sejak lalu, Komunitas Kretek sudah pula menekankan terkait tarif CHT kalaupun naik jangan sampai melampaui kewajaran. Harus di bawah 10 persen.

Sebagaimana kita tahu juga, meskipun harga rokok di pasaran dibuat mahal terus, tidak sepenuhnya membuat perokok menjadi berhenti merokok. Rokok sudah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat yang bisa dikatakan setara dengan kebutuhan pokok lainnya.

Dengan kata lain, dalil yang berulang untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat dengan menaikkan tarif cukai rokok, itu sudah bukan lagi argumen yang tepat. Sebab faktanya, para perokok tetap bisa merokok walaupun harus membeli yang ilegal.

Para perokok tetap bisa ngebul, walaupun tidak sedikit yang memilih beralih ke tingwe. Sekali lagi, jika memang pemerintah mau serius menggempur kerugian yang ditanggung negara. Jangan lagi mencipta kenaikan tarif CHT yang kemudian harus pula mengalokasikan anggaran untuk pemberantasan rokok ilegal.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *