Press ESC to close

Jual Rokok Elektrik Dengan Mendiskreditkan Rokok

Di era mutakhir ini, kampanye kesehatan terkait bahaya rokok bukan hanya menjadi dominasi pihak otoritatif kesehatan. Bahkan, lembaga yang concern pada produk nikotin menyuarakan hal senada. Alih-alih mencap rokok buruk tapi ujungnya jual rokok elektrik.

Fakta ini dapat kita temukan dengan mudah dari beragam pemberitaan yang menggunakan kata kunci rokok. Masifnya berita tentang bahaya penggunaan produk berbahan baku tembakau memang patut dipertanyakan. Terlebih ketika komunitas penikmat produk berbasis nikotin mendorong pemerintah untuk turut menguatkan narasi produk tersebut.

Namanya saja vape, ego penggunanya selalu berdiri di atas dalil lebih aman dan modern. Beda dari sisi budaya dan aspek ekonomi kretek tentunya. Secara sejarah budaya vape ini muncul di tengah perhatian global berorientasi pada segala hal terkait kesehatan.

Sebagai gambaran singkat, dulu di Mandar, Sulawesi Selatan, banyak petani yang makmur dari komoditas kelapa. Makanya, ada dikenal Minyak Mandar, daerah Mandar adalah sentra penghasil minyak kelapa. Sohornya Pulau Selayar yang juga digelari pulau sejuta emas hijau pada periode itu, kini tak lagi menyandang gelar sohor tersebut.

Para petani yang hidup dari komoditas kelapa tak lagi memproduksi minyak kelapa seperti dulu, pasarnya sudah dilumpuhkan oleh perang dagang yang dimainkan korporasi asing dari Amerika Serikat. Puncaknya, ketika harga kopra dunia jatuh di tahun 1980, disusul dengan derasnya kampanye perang anti kelapa, benar-benar telah mengubur minyak kelapa dari budaya masyarakat.

Pada tahun 90-an, Amerika Serikat demikian getol mengampanyekan bahaya minyak kelapa bagi kesehatan. Sebagai gantinya diperkenalkan minyak kedelai yang lebih bersahabat dengan kesehatan, ada kepentingan American Soy yang bermain di balik itu semua. Pada gilirannya minyak kelapa dijauhi, membuatnya tak laku lagi dan industrinya gulung tikar.

Hal serupa terjadi pada gula. Pada periode tahun 1930-an, Indonesia yang dikenal sebagai produsen gula nomor dua dunia di bawah Kuba. Tapi sejak IMF datang ke Indonesia tahun 1998, yang memaksa pemerintah melepas tata niaga, termasuk di antaranya gula, maka gula impor membanjiri pasar Indonesia. Maka, tamatlah industri gula lokal kita.

Baca Juga:  Perokok Sehat, Apakah Mungkin?

Pada 1990-an, komoditas garam kita juga menjadi sektor primadona, bahkan mampu mengekspor ke manca negara. Naumun kemudian, sejak Akzo Nobel gencar kampanye garam yodium, pabrik-pabrik garam nasional mengalami kebangkrutan.

Tak hanya tiga komoditas startegis itu, jamu juga mengalami nasib tragis. Posisinya sudah kian tersudut oleh obat farmasi modern. Herbal diragukan keampuhannya. Dukungan pemerintah juga minim. Jangan kaget temulawak dipatenkan oleh anak perusahaan LG, Korea Selatan.

Sejarah seperti arloji mengulang tanda yang sama. Di era post truth ini, banyak pihak termasuk pemerintah auto puber dengan produk canggih yang dibungkus rapi dalam baju akademis dan kesehatan. Kampanye intenasional disambut gempita dengan sukacita, sementara industri lokal yang menjadi korban kampanye kesehatan tak disokong baik itu secara regulasi; kredit, subsidi, tekonologi, riset, proteksi harga, dan seterusnya.

Gambaran serupa terjadi lagi pada peta dagang produk berbasis nikotin yang digadang-gadang lebih aman dari rokok konvensional. Di tengah gempuran regulasi yang menekan, melalui kebijakan cukai dan pembatasan promosi, industri rokok dalam negeri kian hari kian terseok langkahnya.

Lamban tapi pasti akan mengikuti jejak matinya kopra, gula, garam, jamu. Rokok dalam negeri terus saja dideskriditkan oleh banyak pihak, bahkan  tersisih seiring terbitnya beragam beleid baru yang membatasinya. Ditandai pada tahun 2000a-an awal, standarisasi kandungan nikotin dan tar menjadi peta jalan bagi rezim standarisasi memainkan agenda pembatasan.

Seiring itu, gerakan antirokok yang disokong dana besar korporasi farmasi dan rokok asing, terus berlomba merebut pasar perokok di Indonesia dengan berjualan produk yang mereka sebut sebagai pengentas kebiasaan merokok. Beragam jenisnya, seperti yang disebut-sebut oleh Ketua Aliansi Vaper Indonesia.

Baca Juga:  Harga Rokok Pasti Menyesuaikan Tarif Cukai

Pihaknya mendorong perlu adanya sosialisasi yang masif dengan melibatkan peran serta pemerintah. Lagi dan lagi, dengan menggunakan jurus penguatan narasi dagang menggunakan terminologi ilmiah dan kesehatan. Dengan masifnya dorongan semacam itu, secara tidak langsung dapat kita tengarai kepentingan bisnis yang sedang mereka lumasi. Yap. Tak lain produk tembakau alternatif.

Sejatinya, fakta ini sudah diungkap sejak dua dekade silam, melalui data-data yang terangkum di dalam jurnal yang dirangkum Wanda Hamilton. Terkait bagaimana upaya korporasi farmasi bergandengan dengan entitas kesehatan menggempur eksistensi negara-negara penghasil tembakau melalui regulasi yang mereka dorong.

Nilai startegis dari produk rokok dalam negeri yang dikenal sebagai kretek, kini tengah menghadapi gempuran besar. Tidak hanya berasal dari modal asing yang bermain melalui simpul strategis, konsumen rokok juga dijejali narasi negatif tentang rokok.

Bahkan, narasi yang melabeli perokok sebagai pesakitan hingga harus menanggung stigma beban negara–seakan perokok ini momok yang harus ‘diobati’ dengan menggunakan produk berbasis nikotin tersebut. Padahal, melalui pendapatan cukai rokok, ekonomi negara tercukupi, dan terus menjadi andalan.

Dari sisi objektifnya, memang tak ada produk konsumsi yang tidak berisiko. Klaim bahwa produk alternatif lebih aman dibanding rokok jelas akal-akalan dagang saja. Maka, ketika pihak AVI berusaha membangun kepercayaan publik menyangkut keutamaan vape dengan menggunakan peran pemerintah untuk sosialisasi, secara subtil pemerintah didorong untuk turut jual rokok elektrik dong. Makin kentara saja trik dagangnya.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *