Press ESC to close

Kebijakan Tembakau dan Intervensi Filantropi Asing

Perkara rokok dan kesehatan di pergunjingan global adalah dua isu yang menjadi fokus terbitnya kebijakan tembakau. Pada masa dimana produk tembakau menjadi kebutuhan bagi dunia medis, perkara orang mengisap rokok merupakan hal wajar, tidak diatur-atur atau ditakut-takuti oleh narasi kesehatan.

Bahkan, merujuk data museum Wellcome Collection yang berbasis di London Inggris, terdapat beberapa koleksi yang menunjukkan perdaban dunia medis dalam penggunaan tembakau, cangklong atau pipa rokok, menjadi aksesoris wajib bagi para dokter, ahli bedah, mahasiswa kedokteran khususnya di bidang bedah.

Jika pada era kiwari terdapat regulasi tentang batasan usia merokok untuk 18 tahun ke atas, sejurus itu antirokok di Indonesia gencar pula mengangakat isu prevalensi perokok anak. Sejatinya, pada lima abad silam, saat wabah penyakit merebak di London tepatnya tahun 1665, anak-anak diperintahkan mengisap tembakau di ruang kelas. Mengisap tembakau dilakukan dengan bebas saat wabah penyakit (semacam epidemi covid belakangan) merebak di London pada 1665.

Pada abad 14-an, orang Eropa pertama yang tercatat menggunakan tembakau untuk tujuan medis adalah Christopher Columbus, menurut sebuah artikel karya Prof Anne Charlton dalam Journal of the Royal Society of Medicine. Berdasar rasip Charlton, Columbus menyadari (1492) bahwa tembakau diisap oleh penduduk di kepulauan yang sekarang bernama Kuba, Haiti, dan Bahama.

Kadang kala daun tembakau dibakar layaknya obor untuk membantu mensucihamakan atau mengusir penyakit dari sebuah tempat. Jejaknya masih dapat kita temukan pada tradisi penyembuhan suku Wachiperi di kaki pegunungan Andes. Tembakau juga dipakai sebagai pasta gigi, yang mungkin dicampur limau atau kapur, di daerah yang kini menjadi Venezuela. Praktik semacam itu masih berlangsung di India.

Bukti-bukti bahwa tembakau bisa dipakai sebagai obat disodorkan sejumlah orang pada masa itu. Penjelajah Portugis, Pedro Alvares Cabral, yang tiba di Brasil pada 1500-an, melaporkan bahwa betum (nama lain tembakau) dipakai untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip.

Kemudian di kawasan yang kini menjadi Meksiko, biarawan Spanyol bernama Bernardino de Sahagun belajar dari dokter setempat bahwa penyakit yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar pada leher dapat disembuhkan dengan membedah leher dan menaburkan daun tembakau yang sudah ditumbuk dengan campuran garam.

Pada abad ke-19, para dokter yang mengkaji anatomi dianjurkan merokok untuk menutupi bau jenazah yang menempel pada tubuh mereka. Para dokter dan apoteker dari Eropa serta-merta tertarik dengan penggunaan tembakau sebagai obat. Meniupkan asap tembakau ke dalam telinga juga dianjurkan untuk mengobati orang sakit telinga pada abad ke-18.

Semua fakta sejarah itu kemudian dinegasikan oleh berbagai hasil temuan-temuan lainnya, setelah zat nikotin ditemukan pada daun tembakau (1828), dunia medis mulai lebih skeptis pada anggapan bahwa tembakau bisa dipakai sebagai obat. Temuan-temuan itu bergulir terus, sehingga muncul gerakan antitembakau yang ditandai pada era Nazi.

Jika kita telisik pada terminologi kebijakan tembakau, baik global maupun di Indonesia dalam praktik pelaksanaanya demikian memerangi rokok, terdapat paralel historis yang nyata dari pola sikap tersebut, perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh aktivis antirokok di zaman Nazi dengan para rekannya di abad 21 ini.

Baca Juga:  Kawasan Tanpa Rokok dan Narasi Perlindungan Anak

Aktivis antirokok era Nazi antara lain menuntut pajak rokok dinaikkan, iklan rokok dilarang, serta larangan menjual rokok melalui mesin penjual (vending machines), serta larangan menjual kepada remaja dan wanita pada saat hamil (Proctor, 1997).

Selain itu mereka menuntut diberlakukannya larangan merokok di tempat kerja, di tempat umum, bahkan pelarangan tersebut sampai ke ranah privat. Pada era Hitler itu juga, didirikan berbagai organisasi untuk melayani “perang tembakau”. Di antaranya Organisasi Hitler Muda dan Liga Gadis Jerman yang mempublikasi propaganda anti-rokok, dan Asosiasi Perjuangan Melawan Bahaya Tembakau (Association for the Struggle Against the Tobacco Danger) yang mendirikan klinik-klinik konseling untuk “mengobati” kecanduan rokok.

Bahkan istilah perokok pasif (passivrauchen) ternyata bermula dari tokoh gerakan anti-rokok di era Nazi bernama Fritz Lickint. Semua pola itu menggambarkan bahwa benih permusuhan terhadap tembakau dan rokok sudah demikian masif sejak era Nazi Jerman.

Selanjutnya, ditandai pada 1962 ketika para ilmuwan Pharmacia mulai mencoba mengembangkan nikotin alternatif yang dilatarbelakangi oleh laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan.

Sejak saat itu, mulailah ada pemikiran bagaimana merebut pangsa pasar rokok yang merupakan bisnis yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar. Frasa ‘kecanduan’ digunakan sebagai siasat untuk menggeser perhatian pasar.

Muncul kemudian traktat pengendalian tembakau global didukung oleh berbagai argumen berbasis kesehatan. Traktat yang disebut FCTC (Framework Convention Tobacco Control) itu didorong atas dalih untuk menciptakan kesehatan dunia. Terdapat 172 negara peserta FCTC yang digadang-gadang mewakili 87,3% populasi dunia yang ambil bagian dalam mengkasesi traktat tersebut.

Berbagai kebijakan tembakau di Indonesia yang meyasar pada pembatasan rokok dan upaya deligitimasi industrinya, terus bergulir masif melalui kampanye kesehatan dan berbagai regulasi. Sejatinya, keberadaan mereka sebagai lembaga-lembaga akademik bukanlah satu gerakan murni untuk mengatasi isu normatif yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Namun yang terus terjadi adalah pengkambinghitaman rokok

Melalui hasil penelitian yang terangkum di buku Nicotine War, Wanda Hamilton, tak ayal publik luas dapat menangkap motivasi di balik semua gerakan antirokok. Isu kesehatan dan berbagai isu normatif hanyalah tunggangan dari skema politik dagang untuk menyingkirkan komoditas strategis di Indonesia, dalam konteks ini kretek.

Kebijakan cukai terkait kenaikan cukai rokok tiap tahun serta isu simplifikasi, menjadi salah satu instrumen yang digunakan gerakan antirokok untuk memukul sektor kretek. Pemerintah sendiri dalam upaya ini hanya menjadikan CHT rokok sebagai sumber pendapatan andalan yang terus diperah.

Belakangan ini, seorang jurnalis Amerika, Marc Gunther. Jurnalis kritis ini menyebutkan, bahwa terdapat intervensi Bloomberg yang turut mendukung kampanye antitembakau di 112 negara dengan fokus pada populasi perokok terbesar di dunia, termasuk Tiongkok, India, Indonesia, dan Bangladesh.

Baca Juga:  Menanggulangi Wabah COVID-19 Tak Bisa Hanya Andalkan DBHCHT

Lembaga ini memberikan pendanaan kepada berbagai lembaga nirlaba yang mendorong pemerintah setempat untuk menegakkan kebijakan eksesif terhadap tembakau. Mulai dari pelarangan iklan dan kenaikan tarif cukai rokok tanpa mengindahkan kondisi ekonomi, serta unsur budaya yang melekat pada konsumsi tembakau di negara-negara tersebut. Tak hanya pada rokok konvensional, dorongan perumusan kebijakan eksesif itu kini melebar kepada pelarangan produk tembakau alternatif.

Bagi teman-teman di Komunitas Kretek ini bukanlah suatu hal yang baru ditemukan, ada sejumlah data yang sudah diketahui sejak jauh hari, bahwa sebagian besar gerakan antirokok ini mendapat sokongan dana dari Bloomberg Initiative.

Pada kurun tahun 2008 hingga 2010, Bloomberg telah menggelontorkan dana untuk memodali kampanye antirokok melalui Lembaga Demografi UI sebesar 280.755 Dollar. Atau sekitar Rp 2.807.550.000 miliar. Di tahun 2009, digelontorkan pula dana sebesar Rp 406.540.000 yang didapatkan untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan pajak dan harga rokok.

Beberapa lembaga lain seperti Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, turut mendapatkan gelontoran dana milyaran rupiah untuk mendesak pemerintah dalam menerbitkan regulasi yang menghimpit industri rokok dalam negeri.

Michael Bloomberg juga pernah memberikan dukungan gelontoran dana kepada Badan Litbang dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dalam mengumpulkan data-data terkait pengendalian tembakau dan penggunaan termbakau dalam Global Adult Tobacco Surveillance pada 2011.

Pada masa itu, Nila Moeloek yang menjabat sebagai menteri kesehatan mendapatkan arahan dari Michael Bloomberg terkait agenda pengendalian rokok. Terakhir yang ramai direspon warganet, terkait aksi penutupan display rokok di Jakarta, publik dibuat ‘melek’ dengan terungkapnya surat Anies Baswedan kepada Micahel Bloomberg,

Dari sini dapat terbaca adanya intervensi Bloomberg menyoal larangan display rokok di Jakarta. Pasalnya, di dalam surat tersebut, Anies menyatakan komitmennya untuk berkolaborasi, menjadikan Jakarta 100% bebas asap rokok. Cara-cara yang ditempuh Anies dengan menutup sejumlah display rokok di Jakarta adalah tindakan yang mengangkangi semangat demokrasi ekonomi.

Beberapa poin yang diungkap Gunther, tidaklah melesat dari yang terjadi selama ini. Bahkan kemudian, dapat kita tengarai juga dari isu simplifikasi yang terus akan dijalankan Sri Mulyani. Simplifikasi cukai ini berpotensi memberi celah bagi pabrikan besar leluasa bermain dan yang kecil tersisih dari pasar rokok di Indonesia.

Jadi, dari gambaran fakta-fakta intervensi Bloomberg di balik agenda pembatasan rokok dan isu kesehatan. Adakah yang murni dari gerakan antirokok di Indonesia, kesehatan? Tidak. Landasan permusuhan terhadap rokok tak lain demi cuan dan cuan, ya, cuan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *