Press ESC to close

Meninjau Ulang Kebijakan Cukai Rokok di Indonesia

Rokok Indonesia memiliki keunikan dan keragaman dari sisi komposisi serta corak industrinya. Di negeri kita, populer disebut sebagai kretek. Produk kretek ini lebih dulu dikenal sebelum munculnya rokok putihan yang kemudian masif di pasaran.

Sejak Indonesia belum merdeka, produk yang dikenal rokok rempah ini sudah mencuatkan kegemilangan ekonominya. Aroma cuan dari sektor ekonomi rumahan yang berbasis di desa-desa di Pulau Jawa ini diendus oleh pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga kemudian menjadi pemasukan yang menguntungkan bagi mereka.

Pajak rokok menjadi salah satu andalan pendapatan bagi pemerintah kolonial di masa itu. Bahkan, mampu menyelamatkan Belanda dari krisis yang menerpa di tahun 1930-an, dimana semua sektor usaha milik Belanda mengalami bangkrut. Sektor kretek tidak. Gambaran ini terjadi serupa, ketika Indonesia mengalami krisis 98.

Pasca reformasi 1998, wajah industri kretek berangsur mengalami perubahan tak menentu. Ini disebabkan sejak munculnya gerakan antitembakau global, melalui lembaga kesehatan dunia WHO yang menerbitkan suatu traktat pengendalian tembakau (FCTC) berbasis isu kesehatan.

Pemerintah Indonesia sejauh ini memang belum meratifikasi traktat tersebut, termasuk Amerika Serikat. Namun, dari sisi regulasi di dalam negeri, pemerintah kita sudah mengaksesi keseluruhan dari poin-poin traktat tersebut.

Di antaranya dengan menjadikan kebijakan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok. Tak ayal kemudian, komoditas strategis kretek menjadi salah satu komoditas yang paling banyak melahirkan regulasi.

Di tengah tekanan regulasi, pasar rokok dalam negeri diusik pula oleh munculnya bisnis nikotin. Yakni produk tembakau alternatif yang disponsori oleh industri farmasi dan MNC rokok.

Kebijakan cukai yang dijadikan instrumen pengendali, tidak hanya membuat tarif CHT (Cukai Hasil Tembakau) naik terus setiap tahun. Termasuk halnya isu simplifikasi tarif. Sejak 2009, isu simplifikasi ini dilesatkan.

Semula pada 2009 terdapat 19 layer cukai, kemudian berangsur ramping hingga menjadi 8 layer di tahun 2022. Ada kepentingan apa di balik ini semua, sehingga perkara cukai terus mengalami perubahan?

Mari kita tinjau kebijakan cukai kurun 5 tahun terakhir, memeriksa rangkaian jejak penting agar dapat menemukan gambaran lain dibaliknya. Pasca 2016, porsentase kenaikan tarif CHT sudah sangat tak wajar, yakni di atas 10%.

Jika dihitung mundur dari 2022, maka diawali tahun 2018, melalui PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, persentase kenaikan tarif cukai rokok untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 10,9%, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 13,5% karena merupakan pabrikan besar dan merupakan industri padat modal.

Sementara, kenaikan tarif untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebagaai industri padat karya ditetapkan hanya sebesar 7,3%, bahkan untuk SKT golongan IIIA tidak ada kenaikan tarif.

Baca Juga:  Belajar Bijaksana Dalam Merokok dan Menegur Perokok

Pada 2018, pemerintah juga mengeluarkan Roadmap Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau. Roadmap simplifikasi tersebut ditetapkan selama periode tahun 2018 sampai dengan 2021.

Selama periode 2018—2021, skenario penyederhanaan berturut-turut dipetakan menjadi 10 layer, 8 layer, 6 layer, dan 5 layer. Alih-alih untuk menghindari modus pelanggaran salah peruntukan atau switching serta menciptakan iklim usaha yang sehat

Pemerintah juga berencana melakukan penggabungan jumlah produksi untuk pabrikan yang memproduksi rokok berbasis mesin SKM dan SPM. Rencana tersebut berlaku pada awal Januari 2019, sebagai tahapan proses simplifikasi di tahun 2020.

Perlu diketahui lagi, melalui kebijakan PMK 2017 itu, diatur pula porsentase Harga Transaksi Pasar (HTP) per merek rokok minimal sebesar 85% dari harga jual eceran yang tercantum di pita cukai. Dalihnya, agar anak di bawah umur tak mampu membeli rokok.

Jika pada tahun sebelumnya (2017), setoran  dari cukai mencapai Rp 149 triliun, pada 2018 meningkat sampai 153 Triliun. Artinya, meski cukai digunakan sebagai instrumen pengendali konsumsi. Angka penerimaannya justru tidak menunjukkan fakta penurunan konsumsi.

Pada tahun 2018 pula, presiden Jokowi meneken Perpres baru terkait pemanfaatan pajak rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan BPJS yang mencapai Rp10 triliun.

Kemudian, memasuki tahun politik 2019, kebijakan tarif cukai tidak mengalami kenaikan. Secara politik, tahun 2019 dijadikan ajang cari muka oleh para politisi, untuk mendulang simpati dari stakeholder pertembakauan. Tak terkecuali pula Joko Widodo.

Presiden berdarah Solo ini adalah presiden dengan beban janji politik paling besar dalam sejarah Indonesia. Hampir di seluruh basis pendukungnya, Ia menjanjikan sesuatu jika menang. Siapapun yang berniat mencalonkan diri ke dalam pemerintahan menjadikan tembakau isu dagangan politik pada tahun 2019 itu.

Merujuk sumber media, pada tahun 2019, penerimaan cukai rokok telah mencapai Rp 164,87 triliun. Pada tahun Pemilu tersebut, masyarakat pertembakauan semacam diumpani ilusi dengan tidak adanya kenaikan cukai rokok.

Namun, dua tahun setelahnya, angka kenaikan cukai menjadi tinggi sekali. Sangat gila-gilaan sekali, tahun 2020 dan 2021 adalah tahun terburuk yang dialami stakeholder pertembakauan. Implikasi dari kenaikan cukai yang gila-gilaan ini membuka peluang bagi maraknya peredaran rokok ilegal. Diperkirakan lonjakan angka rokok ilegal mencapai 10-15%.

Isu kesehatan terus menjadi dalih yang direpetisi pemerintah untuk menaikkan cukai di tahun-tahun setelahnya. Perlu dicatat, pada tahun 2020 penerimaan cukai mencapai Rp 170,24 triliun dan pada tahun 2021 mencapai Rp 188,81 triliun. Kemudian target yang ditetapkan untuk penerimaan tahun 2022 menyentuh angka Rp200 triliun. Pemerintah mengaku optimis akan melampaui target tersebut.

Baca Juga:  Solusi agar Rokok Ilegal Hilang dari Peredaran

Harga rokok terus dikerek naik dari tahun ke tahun. Kenaikan tarif cukai terhitung tiga tahun terakhir sudah begitu eksesif memukul industri. Kondisi IHT di negeri ini tidak sedang baik-baik saja.  Apabila digabung, kenaikan rata-rata terhitung selama tiga tahun itu mencapai 48 persen. Bahkan, untuk SKM golongan I, kenaikannya mencapai 56,5 persen.

Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa dari sisi produksi dan penerimaan sampai Mei 2022 lalu IHT masih dianggap tidak bermasalah. Dalam konteks ini, Ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Selain paket kebijakan cukai yang eksesif, pandemi sebagai salah satu variabel penurunan daya beli dan pelambatan ekonomi, oleh Kemenkeu tidak dibaca memberi dampak serius terhadap IHT.

Pada situasi yang tidak bagus dialami industri kretek, beberapa pihak menyebut harga rokok di Indonesia digadang-gadang masih murah dan belum memenuhi target pengendalian. Dari tahun ke tahun  kelompok antirokok protes soal harga rokok yang dianggap masih terlalu terjangkau.

Esok pemerintah merespon dengan mengeluarkan paket kebijakan yang berujung menaikkan tarif cukai dan membebani IHT. Begitu diberlakukan, kelompok antirokok bertepuk tangan, mensyukuri ‘kemenangan’ mereka seraya mengapresiasi kebijakan pemerintah.

Seturut waktu, antirokok memainkan tamplate yang sama merongrong kebijakan cukai. Begitu terus, sampai industri penopang ekonomi negara ini ambruk. Karena memang itulah tujuan antirokok: membunuh IHT. Termasuk mendorong isu simplifikasi yang sangat berdampak ke pabrikan kecil.

Secara modal, tentu saja pabrikan kecil-menengah tidak akan sanggup mengejar kekuatan yang dimiliki pabrikan besar Multy National Corporate. Inilah kondisi mengerikan terkait masadepan industri kretek dalam negeri.

Pada rentang tahun menuju tahun politik 2024 ini, paket kebijakan cukai yang mengacu pada RPJMN 2020-2024 menguat, disusul dengan munculnya Perpres Nomor 98/2022, target CHT dinaikkan menjadi Rp209,9 triliun.

Hal ini semakin menjelaskan watak pemerintah memaknai cukai, yang tak lain menjadikan cukai rokok bagian dari kepentingan politik fiskal. Seperti yang sudah-sudah, menyebalkan!

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *