Penerapan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) di banyak daerah kerap kali praktiknya menimbulkan kerancuan. Seperti yang pernah diulas terkait pelaksanaan KTR Bogor. Walikota Bogor lebih menekankan keinginannya untuk menyiksa perokok. Selain Kota Bogor, Depok, kota lainnya seperti Kulon Progo, Surabaya, menggunakan tafsir yang lompat dari asas KTR.
Sejatinya, jika ditilik berdasar asas penyelenggaraan KTR sebagai regulasi yang menciptakan rasa adil bagi semua masyarakat. Yakni dengan membagi wilayah mana yang boleh dan tidak boleh untuk merokok. Agar masyarakat yang tidak merokok tidak terpapar asap rokok, dan perokok juga dapat merokok sebagaimana haknya yang dijamin konstitusi.
Namun, dalam perkara penerapan Peraturan Daerah yang menyoroti akivitas perokok ini tidak pernah dilandasi keseriusan. Tafsir atas KTR melulu hanya soal pengawasan aktivitas perokok. Sebagaian besar menyasar pada wilayah pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Masyarakat konsumen yang berkontribusi lewat cukai ini seakan-akan diobjektifikasi sebagai pesakitan.
Sejak masuknya agenda pengendalian ke dalam perundangan di Indonesia, posisi rokok, bahkan kretek sebagai komoditas strategis mendapatkan beragam tekanan. Isu kesehatan yang dikaitkan dengan produk kretek membuatnya kian tersisih.
Baik melalui kebijakan cukai yang eksesif serta isu simplifikasi dan batasan besaran produksi yang terus dijalankan oleh Kemenkeu Sri Mulyani. Sementara pemerintah, dari sisi penerimaan cukai rokok terus menjadikannya sumber pendapatan andalan.
Pada beberapa waktu yang lalu, presiden Jokowi menerbitkan kembali regulasi berupa Perpres Nomor 98 Tahun 2022 tentang perubahan rincian APBN 2022. Target penerimaan cukai digenjot lagi, sebagaian besar penerimaan dari cukai ini diandalkan dari sektor produk tembakau.
Akibat banyaknya tekanan regulasi terhadap industri rokok dalam negeri, hal ini telah mengakibatkan penurunan jumlah pabrik. Ditengarai sejak 2011, sekitar 1.540 pabrik rokok, menurun drastis sampai sekitar 487 pabrik.
Rokok menjadi produk konsumsi yang paling banyak diatur oleh pemerintah. Mulai dari aspek tata niaga dan distribusinya, promosinya, pengelolaan cukainya, sampai pada aktivitas konsumennya dibatasi dengan ketat. Salah satunya yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok.
Penyelengaraan KTR di Surabaya salah satu yang belakangan ini mengemuka di media. Pemerintah Kota Surabaya tengah berupaya menjadikan Kawasan Tanpa Rokok yang berdasar ketentuan KTR terdapat 7 kawasan. Di antaranya fasilitas pendidikan, kesehatan, tempat bermain anak, rumah ibadah, kendaraan umum, tempat kerja dan tempat umum lainnya.
Di dalam konteks ini, Pemkot Surabaya berupaya memanfaatkan Dana Bagi hasil Cukai Hasil Tembakau pada pengedaan fasilitas kerja pengawasan, berupa sepeda. Perangkat kerja ini nantinya akan digunakan Satpol PP untuk mengawasi ketujuh tempat yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok.
Upaya pembelian sepeda itu sebetulnya di luar kebutuhan substantif KTR, bahkan terkesan artifisial belaka, demi menunjukkan kinerja perangkat. Bukankah seharusnya dalam upaya penerapan Perda KTR, Pemkot lebih menyasar pada penyediaan ruang merokok yang jelas-jelas menunjang hak masyarakat, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap KTR. Agar masyarakat lain juga tidak terpapar asap rokok.
Sejatinya, penyediaan ruang khusus merokok sudah menjadi suatu kebutuhan krusial untuk menciptakan KTR yang berkeadilan bagi semua. Jika Pemkot Surabaya memang serius ingin mewujudkan KTR sesuai asasnya, mestinya lebih perhatian ke penyediaan ruang merokok. Namun, di dalam pemberitaan yang mengemuka, justru lebih menekankan pada target sanksi/denda bagi para pelanggar.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya turut andil bicara dalam menebalkan sanksi denda tersebut. Perokok maupun pengelola gedung juga kena sanksi jika di wilayahnya kedapatan ada masyarakat melakukan aktivitas merokok.
Mestinya, kalau mau fair, yang didorong kepada peneglola gedung adalah soal pengadaan ruang untuk merokok. Bilamana tidak menyediakan ruang tersebut, ya berarti itu bentuk pelanggaran atas penerapan KTR.
Di dalam konteks penerapan KTR ini, memang kerap kali saja pemerintah daerah maupun kota, seperti menjauh dari tujuan menciptakan rasa nyaman bagi semua lapisan masyarakat. Ini yang sangat disesalkan dari para pelaksana amanat regulasi.
Ya, hampir di semua Perda KTR hanya berorientasi pada pelarangan-pelarangan dan merisak pelanggarnya. Adapun ketentuan yang membahas hak perokok, ya cuma ada di beberapa daerah saja. Stigma negatif perokok terus saja direpetisi melalui media yang digunakan para penggerak agenda pengendalian produk tembakau.
Di samping problematika KTR yang kerap rancu penerapannya, uang rokok terus mengalir. Maksudnya, pendapatan negara dari sektor cukai, tahun demi tahun didominasi oleh penerimaan cukai rokok. Ironisnya, untuk menjaring tindak pelanggaran perokok, Pemkot Surabaya justru menggunakan dana rokok (DBHCHT), untuk membeli sepeda yang non substantif. Jauh dari yang dibutuhkan masyarakat, Pak!
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply