Press ESC to close

Produsen Rokok Kecil dan Peresmian KIHT Sidoarjo

Sidoarjo sebagai salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur memiliki beragam keunggulan. Tidak hanya dikenal berjuluk Kota Petis, penghasil udang dan bandeng. Produsen rokok di Sidoarjo juga tidak sedikit jumlahnya. Namun sayangnya, nasib para produsen ini kian hari kian terpukul oleh regulasi pengendalian tembakau.

Berdasar catatan tahun 2010, jumlah pabrikan di Sidoarjo sebanyak 283 produsen, kini tersisa 83 saja. Sebagaimana kita tahu, pabrikan rokok lokal di Indonesia berbasis industri rumahan. Ini merupakan karakter dari industri kretek yang sudah memiliki sejarah-budaya panjang sejak masa pra kemerdekaan.

Sebagaimana daerah lain yang dihidupi dari sektor pertembakauan, baik petani maupun pelaku bisnis rokok banyak yang terdampak oleh agenda pengendalian. Mulai dari kebijakan cukai yang eksesif, pembatasan tata niaga rokok, pembatasan luas minimal pabrik. Berdasar PP 109/2012, minimal luasan pabrik 200 meter dan terlarang berada di areal pemukiman.

Bagi pelaku bisnis rokok skala rumahan, regulasi yang terlalu menekan dan tak berpihak pada sektor kecil tersebut sangatlah memukul keberadaan usaha mereka. Sehingga tak ayal, dari sisi jumlah pabrikan setiap tahun semakin tambah berkurang.

Kenaikan cukai yang menekan serta pengetatan jumlah produksi yang menguat terakhir ini, itu menjadi isyarat yang akan terus berdampak kepada sektor rokok rumahan. Tidak ayal para pelaku bisnis yang tak kuat membayar beban cukai berpotensi merambah pasar ilegal.

Memproduksi rokok-rokok polasan yang tentu itu dinilai sebagai kerugian bagi negara. Untuk menyiasati kondisi kerugian akibat skema kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, beberapa langkah mitigasi sudah disiapkan sejak beberapa tahun lalu. Di antaranya melalui pembangunan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Sidoarjo.

Baca Juga:  Pendapat Yenny Wahid Soal Tembakau

Biaya pembangunan KIHT di Sidoarjo yang kabarnya akan diresmikan itu, sejatinya berasal dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau. Perlu diketahui, ada skema peruntukkan yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.07/2022. Salah satu di antaranya terkait alokasi penegakkan hukum, pengawasan dan pemberantasan rokok ilegal.

Upaya pemerintah melalui proses mitigasi akibat kebijakan cukai yang eksesif itu, kemudian disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Pemkab Sidoarjo telah menyiapkan target penggunaan DBHCHT yang diterima daerah dengan besaran berbeda-beda.

Pemkab Sidoarjo sendiri menerima besaran DBHCHT yang nilainya mencapai Rp 25 miliar. Berbeda dari tahun sebelumnya Rp 18 miliar. Sedianya peresmian KIHT tersebut akan berlangsung pada November nanti.

Adapun kabar penggunaan dana bagi hasil tersebut selain untuk mewujudkan upaya penegakkan hukum, nantinya sisa dari alokasi KIHT tersebut diarahkan untuk BLT bagi para buruh, tak ketinggalan dialokasikan juga untuk pemebelian mobil ambulans di dinas kesehatan.

Pihak Pemkab menyatakan, prioritas pemanfaatan dana tersebut harus mengikuti sejumlah ketentuan yang ada. Salah satu prioritas penggunaan dana adalah untuk pembangunan KIHT. Sejurus itu, areal KIHT yang kabarnya sudah dibangun di Porong Sidoarjo itu, sudah terkondisi dengan sejumlah fasilitas. Berupa mesin dan beberapa fasilitas lainnya.

Selayang pandang, menilik pembangunan KIHT di beberapa daerah, misalnya seperti yang ada di Lombok, Bondowoso, Pamekasan, Soppeng Sulawesi, termasuk Sidoarjo nantinya. Ini menjadi satu gambaran dari keseriusan pemerintah dalam mengondisikan akses dari kebijakan cukai yang menekan. Meski, pada praktiknya tentu saja ada banyak hal lain yang perlu dievaluasi dalam menyikapi persoalan yang dihadapi produsen rokok.

Baca Juga:  Surat Terbuka Seorang Perokok untuk Faisal Basri yang Termasyhur

Dari gambaran yang ada, kita sebagai konsumen rokok tentu dapat menarik kesimpulan atas upaya pemerintah dalam menjalankan agenda mitigasi tersebut. Bahwa, hal ini sebetulnya menjadi satu langkah yang bersifat persuasive. Dalam konteks penegakkan hukum, di antaranya pada pemberantasan rokok ilegal. Kita kerap menemukan banyaknya tindakan peredaran rokok ilegal demikian masif.

Namun, kerap kali saja pada praktik penegakkan terhadap produk konsumsi berbahan baku tembakau ini dikesankan seperti Narkoba. Dapat kita tengarai pula di sisi kampanye kesehatan yang digelorakan antirokok, dimana rokok selalu dikaitkan dengan anasir Narkoba.

Pandangan ini dari sisi perokok sebagai penyumbang devisa bagi negara, dimana kita melihat adanya upaya pengendalian dan pembatasan terhadap sektor pertembakauan di Indonesia tidaklah relevan. Tidak jarang juga bentuk-bentuk perlakuan diskriminasi pada perokok terjadi.

Kemudian, jika kita tilik dari sisi produsen rokok, sebagian besar mereka menghadapi satu dilema besar dalam memproduksi barang legal berbahan baku tembakau. Dilema yang dihadapi sebagian besar berasal dari kebijakan cukai yang merupakan hulu dari masalah peredaran rokok ilegal.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *