Press ESC to close

Tidak Merokok Bukan Berarti Aman dari Kanker

Rokok kerap kali dikait-kaitkan sebagai biang kerok dari sejumlah persoalan kesehatan. Penyakit kanker salah satunya. Para perokok seperti dibayang-bayangi narasi yang mengerikan atas kebiasaannya itu, sehingga kadang terdorong untuk memilih tidak merokok.

Umumnya para perokok juga paham ada faktor risiko yang membayangi pilihan rekreatifnya itu. Ya salah satunya dengan mengambil sikap etik yang dilandasi kesadaran moral sosial, terkait kapan dan di mana pantas untuk merokok. Tidak melulu soal isu kesehatan.

Oleh karena itulah, menjadi perokok yang bertanggung jawab adalah keniscayaan. Biar bagaimanapun, pastinya tidaklah elok kalau ada pihak lain yang merasa dirugikan akibat paparan produk konsumsi legal itu.

Namun, isu kesehatan yang dikaitkan pada rokok kerap kali pula menimbulkan kontroversi. Ada beberapa fakta yang menunjukkan, bahwa penyakit kanker juga dapat menimpa orang yang bukan perokok.

Tentu saja berita semacam ini bukanlah hal baru. Mungkin bagi antirokok, akan didapat alasannya yang dikaitkan dengan lingkungannya yang terpapar perokok. Iya begitulah watak umum antirokok. Terus akan memproduksi alasan untuk mejelekkan rokok.

Meski, banyak kalangan mengamini sepenuhnya paradigma kesehatan modern yang kerap melabeli rokok sebagai penyebab tunggal dari beragam masalah kesehata. Rokok diklaim pembunuh jutaan orang setiap tahun. Sehingga kemudian menjadi dalil dari agenda pengendalian tembakau.

Namun, di lain kalangan, rokok tidak dipandai sekeji itu. Mengingat pula sejarah dunia mencatat, bahwa tembakau sebagai bahan baku rokok turut berkontribusi dalam peradaban medis. Bahkan, pada masa pandemi covid, ada beberapa hasil studi memanfaatkan tembakau sebagai bahan baku vaksin.

Baca Juga:  Melecehkan Kewarasan Publik, Seputar Kontroversi Gambar Pria Merokok di Bungkus Rokok

Terkait jejak kontribusi tembakau dan rokok pada peradaban medis, dapat kita ketahui dari koleksi museum Wellcome Collection di London, Inggris.

Sebagaimana saya nyatakan di atas, bahwa seseorang dapat terkena penyakit kanker tidak melulu disebabkan oleh rokok. Ada berbagai variabel lain yang menjadi faktor timbulnya suatu penyakit. Selain faktor genetik, faktor pola hidup juga punya andil atas gangguan kesehatan tertentu.

Seperti yang dialami sepasang suami-istri di Selandia Baru, yang terdiagnosa menderita kanker stadium 4. Semula, penyakit golongan tidak menular itu menjangkiti sang suami, Graham Brooke.

Graham harus melewati serangkaian proses pengobatan untuk menjinakkan penyakit yang dideritanya. Di tengah proses pengobatan berlangsung, istrinya juga diagnosis mengalami penyakit serupa dengan suaminya. Didiagnosa menderita kanker paru-paru stadium 4 beberapa bulan setelah suaminya.

Status stadium 4 artinya virus kanker sudah menjalari organ lain. Pada kasusnya kali ini, kanker paru-paru lebih agresif karena telah menyebar ke tulang belakang dan tulang pahanya sehingga membutuhkan pembedahan.

Dalam serangkaian proses pengobatan tersebut, keduanya tentu membutuhkan banyak biaya untuk mendapatkan kesembuhannya. Oleh karena itu, kerabat mereka menerima sumbangan yang diumumkan secara online melalui sebuah platform.

Di tengah usaha itu, Merry berhasil menjalani operasi untuk memperkuat tulang pahanya yang telah terkena kanker. Kini, ia mulai melanjutkan perawatan kemoterapi dan imunoterapi.

Dari gambaran yang dialami sepasang suami-istri ini setidaknya kita dapat mengambil kesimpulan terkait isu kesehatan yang selama ini didengung-dengungkan banyak pihak. Bahwa rokok tidak melulu seperti yang kerap digemar-gemborkan selama ini melalui kampanye kesehatan.

Baca Juga:  Betapa Kerdilnya Pikiran Antirokok yang Menuduh Anak Perokok Berisiko Kerdil

Tidak merokok bukan berarti terhindar dari ancaman penyakit kanker paru-paru. Bagi kita yang perokok, bukan berarti pula merokolk tidak memiliki faktor risiko. Di dalam konteks ini, kita dapat meninjau lagi, bahwa ketika ada suatu informasi yang mendiskreditkan produk konsumsi masyarakat. Ada baiknya kita gunakan juga nalar kritis untuk memahami kepentingan di baliknya.

Sebagaimana kita ketahui, data penelitian yang kerap digunakan di dalam kampanye kesehatan yang mendiskreditkan rokok, sebagian besar didapat dari penelitian luar. Tidak sepenuhnya diperoleh dari proses penelitian di dalam negeri.

Bagi Anda yang sempat membaca buku Nicotine War, sedikit banyak akan memiliki bahan penalaran dalam menilai kampanye gerakan antirokok yang kerap mendiskreditkan produk tembakau. Sebagaian besar tidak murni bicara tentang kesehatan yang dalilnya untuk mengangkat derajat kesehatan publik.

Tidak jarang lembaga akademik yang fokus menyoal rokok dan kesehatan berdiri di dua kaki. Dua kaki di sini artinya, kepentingan yang dibawanya didasarkan pada kepentingan politik dan ekonomi. Atas dasar dua kepentingan itulah kita dapat menangkap motif di balik agenda pengendalian, kenapa kemudian perka rokok dan kesehatan sering kali pula menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *