Isu revisi PP 109/2012 yang mengatur sektor rokok kembali menjadi pembahasan pemerintah akhir-akhir ini. Termasuk soal jual rokok batangan yang akan dilarang penjualannya. Hal itu dilakukan atas dalih target pemerintah untuk mengurangi angka perokok anak di Indonesia.
Sejatinya, regulasi PP 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, sudah cukup ketat mengatur sektor rokok dalam negeri. Bahkan, lebih dalam lagi memberi dampak kontraproduktif bagi komoditas strategis kretek. Berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan serapan bahan baku rokok.
Mulai dari aturan terkait luas areal produksi yang diatur di dalam PP 109 secara ketat, luas pabrikan tidak boleh kurang dari 200 meter, dan tidak boleh berdekatan dengan pemukiman. Sementara, corak IHT di Indonesia terutama kretek berbasis industri rumah tangga. Berbasis etos padat karya, bukan padat modal.
Agenda pengendalian itu semakin terasa berkelanjutan saja, dengan adanya isu revisi dan kebijakan cukai yang demikian eksesif. Kenaikan tarif cukai yang terus meroket di atas 10% sejak tahun 2016, bahkan pada tahun 2020 kenaikannya mencapai 23%. Angka tarif cukai tertinggi di dalam sejarah Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia. Sungguh memberi pukulan yang luar biasa bagi ekosistem kretek.
Kondisi itu telah mengakibatkan banyak pabrikan kecil menengah bertumbangan. Beban produksi yang meningkat tiap tahun itu tidak hanya dari perkara cukai. Variabel pandemi covid 19 turut berpengaruh terhadap sektor distribusi dan penjualan. Daya beli konsumen menurun, pasar rokok ilegal meningkat.
Belum lagi, ketentuan soal gambar peringatan kesehatan dengan porsi 40% pada bungkus rokok, yang tentu saja menambah beban biaya cetak sejak PP 109 diberlakukan. Ditambah dengan adanya target penyederhanaan layer cukai, dimana pada tahun 2009 masih terdapat 19 layer, kini semakin ramping menjadi 8 layer dan akan menjadi 5 layer.
Kini pemerintah berupaya lagi untuk merevisi regulasi yang sudah demikian ketat itu. Terdapat 5 fokus yang akan direvisi pada PP 109. Yakni penambahan luas penampang gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok menjadi 90%, pelarangan iklan rokok di media sosial, pelarangan penjualan rokok secara batangan, penguatan pengawasan penjualan rokok, dan pengaturan penjualan rokok elektrik.
Pada pertemuan uji publik di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Pihak pemerintah yang diwakli oleh Agus Suprapto, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, yang menyatakan argumentasi atas revisi tersebut untuk menekan angka perokok anak. Termasuk halnya melalui pelarangan jual rokok batangan.
Dengan menekankan pada pelarangan tersebut jelas saja absurd langkah revisi yang diambil, kalau tidak mau dibilang ribet. Pasalnya, meskipun rokok tidak diketeng, anak-anak juga bisa membeli dengan cara lain. Misalnya dengan patungan untuk dapat membeli sebungkus rokok.
Lagipun, argumentasi pelarangan menjual secara ketengan sangat tidak memiliki dasar yang valid jika kita tilik pada data Susenas yang menunjukkan turunnya porsentase perokok anak.
Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR) yang menyatakan bahwa prevalensi perokok anak terus menurun. Dari 9,1% di tahun 2018, turun menjadi 3,87% di tahun 2019, turun lagi di tahun 2020 menjadi 3,81%, bahkan tinggal 3,69% di tahun 2021.
Selain itu, dokumen resmi pemerintah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023, halaman 87, menyatakan bahwa indikator kesehatan persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun turun. Di tahun 2013 sebesar 7,2%, kemudian turun menjadi 3,8% di tahun 2020.
Sebagaimana yang kita ketahui lagi, pemerintah sampai sejauh ini tengah menjadikan industri rokok sebagai tiang pemulihan ekonomi nasional. Artinya, dari sisi ekonomu juga mengandalkan pemasukan dari devisa cukai rokok. Dimana targetnya pada tahun 2022 ini meningkat menjadi 200-an triliun rupiah.
Kalau mau fair, harusnya dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja ini, pemerintah tak perlu melakukan revisi regulasi yang sudah ada. Dengan pelaksanaan PP 109/2012 itu saja sudah mampu mengurangi angka perokok anak. Artinya, upaya-upaya yang ditempuh sudah relatif tercapai.
Tetapi, jika memang pemerintah lebih mengamini dsemua desakan dari agenda pengendalian tembakau yang selama ini didorong oleh antirokok. Tanpa harus mengambil langkah revisi PP 109 yang hanya bikin ribet stakeholder.
Tinggal ambil jurus paling sederhana, tutup saja semua pabrik rokok. Kita lihat bagaimana dampaknya, apakah derajat kesehatan masyarakat pasca penutupan semua pabrik rokok membaik? Habis perkara.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply