Setiap daerah memiliki kejayaan atas anugerah alam yang dimiliki dan dikelola masyarakatnya. Termasuk para petani tembakau Madura yang pernah merasakan keuntungan yang didapat dari menanam tembakau. Tanaman golongan sayur-sayuran ini pada masanya memiliki angka ekonomi yang luar biasa menggembirakan.
Jejak kejayaan itu dapat kita cermati dari banyaknya pesohor atau yang dikenal sebagai juragan tembakau dari Madura. Mereka adalah para petani yang berdedikasi pada segala yang mereka kelola dengan baik. Terbukti pula pada bangunan rumah yang mereka miliki.
Sebut saja dua desa di Sumenep. Desa Kapedi dan Desa Prenduan. Pada bangunan rumah bergaya ‘jengki’ yang sohor dalam istilah arsitektur pada periode 1960—1980. Ekspresi arsitektur erat kaitannya dengan kondisi sosial, ekonomi, teknologi, nilai bahkan ideologi pada suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu.
Bangunan rumah bergaya khas pada masa itu adalah milik para pengusaha lokal yan memproduksi beberapa merek rokok kretek. Pada sekitar tahun 1977 tercatat setidaknya 60 juragan yang tersebar di seluruh Madura. Dan 15 di antaranya para juragan yang tinggal di dua desa tersebut, setengah diantaranya merupakan keturunan tionghoa dan sisanya merupakan pribumi.
Pendekatan dari sisi kemampuan membangun rumah dengan gaya bergengsi dan kualitas bahan yang mumpuni. Tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ya, pada masa-masa menggembirakan itu, harga tembakau sangat menguntungkan petani. Harga satu kilogram tembakau seharga 1 gram emas pada masa itu. Tak heran jika tanaman tembakau kemudian berjuluk emas hijau ataupula daun emas.
Namun, kesemua yang dirasakan manis pada masa-masa tembakau menjadi tumpuan utama ekonomi masyarakat, tak selamanya dapat dirasakan. Seiring waktu, pada gilirannya makna kejayaan itu luruh akibat regulasi pengendalian tembakau yang diterapkan pemerintah, salah satunya melalui kebijakan cukai. Kenaikan cukai yang eksesif, telah memberi dampak luar biasa pada anjloknya harga tembakau, itu merupakan imbas dari pembatasan kuota produksi yang diambil pabrikan sebagai langkah efesiensi.
Menurut data Disperindag Jawa Timur, pada tahun 2019, produksi tembakau di provinsi ini menyumbang 35 persen kebutuhan tembakau nasional. Madura menjadi wilayah dengan produksi tembakau tertinggi dibanding daerah lain di wilayah bekas jajahan Mataram ini. Secara umum, tembakau Pamekasan adalah ikon tembakau di Madura.
Sekilas pandang, sejarah tembakau di Madura tak bisa dilepaskan kaitannnya dengan sejarah tebu. Pada masa lalu, tebu di Madura merupakan simbol kapitalisme. Tahun 1870 menjadi penanda masuknya kapitalisme di Indonesia. Dokumen-dokumen Belanda menyebut tebu telah masuk ke Madura sejak 1835 atau 35 tahun sebelum tebu meluas di pulau Jawa. Tebu pertama diperkenalkan satu kongsi pengusaha dari Eropa.
Hingga suatu ketika, bisnis tebu tak lagi manis, tiga usahawan Belanda memperkenalkan tembakau pada 1861. Penanaman pertama di Desa Pradopo, Pamekasan, kini desa itu bernama Proppo. Tidak seperti tebu yang menggunakan sistem tanam paksa, tembakau menggunakan sistem kerja kontrak, dimana perusahaan menyediakan bibit dan buruh mendapat upah.
Tidak ada catatan berapa luas lahan yang ditanami tembakau tahun itu. Namun, nampaknya meluas karena selain di Pradopo, Belanda juga meneken kontrak dengan petani di wilayah kota Pamekasan dan Desa Bunder. Produksinya tercatat meningkat, pada tahun 1863 sebanyak 264 pikul, tahun 1864 sebanyak 320 pikul dan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Pada masa itu, tembakau mulai ditanam juga di Sumenep dan Sampang. Dalam perkembangannya, produksi tembakau Sumenep melampaui Pamekasan. Ketika pecah Perang Dunia I, itu menjadi momen bagi tembakau Madura menembus pasar Eropa. Namun, kemudian rusak karena produsen tembakau di Surabaya tak bisa menjaga mutu sehingga ditolak pasar Eropa.
Meski tembakau Madura telah rusak reputasinya di pasar Eropa, namun tetap berjaya di pasar lokal. Pengiriman tembakau di Waru, Bunder dan Ambunten di Sumenep bertambah ramai. Sebaliknya tebu makin ditinggalkan, pada 1922 di Pamekasan misalnya sudah tak ada lagi tanaman tebu sementara ladang tembakau mencapai 2.804 bau (1 bau setara 0,74 hektar).
Menurut buku bertajuk Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 yang merupakan desertasi dari kelulusan Prof. Kuntowijoyo. Beliau adalah Seorang Guru Besar Universitas Gajah Mada, mengambil gelar PhD di Universitas Columbia Amerika. Menurut catatan tersebut, “pada tahun 1919, hanya tersisa satu produsen yang bertransaksi ekspor tembakau Madura dengan Eropa”.
Kejayaan tembakau Madura juga dipengaruhi oleh tren pasar kretek di Indonesia, yang pada masa 1970-an mendapatkan masa prestisiusnya. Pada periode ini produk kretek mesin mulai populer di pasar penikmat rokok khas Indonesia berkomposisi tembakau dan cengkeh.
Babak kejayaan tembakau dari daerah yang menyandang julukan Pulau Garam itu berangsur mengalami degradasi akibat dari munculnya regulasi yang mengatur produk tembakau. Ditandai dengan munculnya PP 81/1999, tahun yang sama atas munculnya Undang-undang perlindungan konsumen.
Kemudian Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengamanan rokok bagi kesehatan tersebut direvisi dengan PP 38/2000. Disusul dengan munculnya regulasi berikutnya, hingga puncaknya adalah PP 109/2012.
Poin-poin pada regulasi tersebut merupakan bentuk aksesi pemerintah atas traktat pengendalian tembakau FCTC. Sebuah perjanjian yang mengikat negara-negara pesertanya untuk mengatur sektor pertembakauan, dengan berpijak pada isu kesehatan. Isu kesehatan yang dijadikan tameng kepentingan industri farmasi dan rezim kesehatan di balik traktat tersebut, telah membawa dampak yang sangat serius terhadap IHT dalam negeri.
Upaya yang dilakukan gerakan antitembakau dalam mendelegitimasi Industri Hasil Tembakau terus dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dapat ditengarai dari berbagai isu di luar isu kesehatan, termasuk pula isu kemiskinan, isu pekerja anak, perokok anak, termasuk stigma negatif yang dialamatkan kepada perokok melalui berbagai media dan kampanye antirokok. Sehingga, cukai rokok sebagai isntrumen pengedali menjadi terkesan rasional untuk terus dikerek naik setiap tahun.
Walhasil, itu semua berpengaruh terhadap sektor hulu industri rokok. Petani tembakau meradang panennya tak semua terserap, angka permintaan pabrikan menurun tajam. Lantaran pabrikan sendiri banyak yang terbebani oleh bertambahnya beban produksi akibat cukai yang terus naik di atas 10 persen dalam tiga tahun terakhir.
Pada kondisi yang demikian, petani tembakau harus dihadapkan pula dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dan tidak menguntungkan. Petani tembakau di banyak daerah banyak yang mengeluhkan hal senada, anjloknya harga jual tembakau dan menurunnya serapan tembakau, yang juga diakibatkan meningkatnya kuota kebutuhan impor tembakau.
Kejayaan dari komoditas yang sudah berbilang abad mencukupi ekonomi masyarakat Madura, kian hari kian merosot dari sisi penghasilan. Bahkan, jika diukur dengan beban biaya produksi petani tidak lagi berimbang, untuk tidak menyebut tak lagi menguntungkan sebagaimana pada masa jayanya dulu.
Dari sisi kritis ini, lalu bagaimana peran pemerintah dalam memberi jaminan perlindungan terhadap sumber penghidupan masyarakat di sentra tembakau Madura? Ini yang patut terus dipertanyakan kepada pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab akan nasib rakyatnya.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply