Isu rokok dan kesehatan sering kali dikaitkan dan didorong para pemerhati anak yang tengah berupaya menekan angka prevalensi perokok anak. Belakangan ini, ada 42 organisasi yang fokus pada advokasi anak berhimpun mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai yang lebih menekan IHT. Ini kemudian yang kembali menimbulkan pertanyaan.
Seperti yang kita ketahui, lembaga yang fokus pada perlindungan anak ini kerap menggunakan logika normatif untuk menjadikan rokok sebagai musuh bersama. Mengatasnamakan anak dan kesehatan agar industri dalam negeri semakin kehilangan pijakan ekonomi dan budayanya. Sebagaimana kita tahu, tembakau dan produk olahannya merupakan komoditas strategis yang memberi devisa ratusan triliun rupiah tiap tahun bagi negara.
Namun, kerap kali saja suara orang-orang dari lembaga perlindungan anak itu kerap seragam dalam mendiskreditkan rokok searah pengendalian. Terlihat dari poin-poin desakan yang mengemuka di media, terkait kebijakan cukai rokok. Dimana tarif cukai rokok harus terus dikerek setinggi mungkin agar semakin sulit diakses anak, bahkan pada larangan menjual ketengan,
Perlu diketahui, jika tarif cukai dikerek tinggi maka beban produksi industri rokok akan tambah berat, akibatnya industri harus melakukan efesiensi. Dampaknya jelas ke ekonomi petani dan stakeholder yang berkaitan dengan ekosistem kretek. Tentu pula akses dari kondisi itu berimbas pada anak-anak petani yang juga butuh biaya pendidikan, dan biaya hidup masyarakat sehari-hari.
Sementara, terkait rokok yang kerap dicap sebagai biang kerok persoalan kesehatan, menjadi isu yang terus direpetisi dan menimbulkan kontroversi. Bukankah ada banyak persoalan prioritas yang lebih nyata mengancam anak-anak, dibanding mengurusi yang bukan fokus advokasi. Padahal, jika dicermati dari data kasus yang dialami anak-anak, bukanlah pula kabar yang menggembirakan.
Di antaranya terkait kasus kekerasan pada anak, perundungan, eksploitasi, dan problem akses pendidikan yang layak bagi anak. Sekian persoalan tersebut tentu tidak ada kaitannya dengan rokok. Namun, jika jurus advokasinya berbasis teori ‘asal bikin senang donatur, logika advokasi bisa diatur’. Haelah, ini sih jadinya bukan demi mengatasi kasus anak dong.
Mari kita tilik fakta dari suatu agenda yang menyoroti kasus anak, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings, pada suatu kesempatan berbicara menyoroti angka maraknya kasus kekerasan terhadap anak selama pandemi.
Valentina menyebutkan berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020, bahwa telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Menurutnya, angka ini tergolong tinggi. Terhitung 6 bulan, itu statistik kasusnya meningkat tajam.
Dari gambaran angka kasus tersebut, tentu dapat ditengarai, ada sekian problem krusial dialami anak-anak yang mestinya menjadi prioritas advokasi. Saya percaya, bahwa para pemerhati anak yang mengatasnamakan anak di dalam kerja advokasinya itu bukanlah orang-orang bodoh.
Ada banyak upaya yang telah ditempuh ataupula diwacanakan sebagai solusi untuk menyelesaikan beragam problem yang dialami anak-anak Indonesia. Misalnya pula terkait akses pendidikan yang layak bagi semua anak. Tanpa pula menihilkan, bahwa persoalan anak-anak merupakan tanggung jawab bersama.
Namun, jika kita mengingat lagi polemik yang mengemuka di berbagai media. Terkait tindak pelecehan seksual yang dilakukan seorang pendidik di sekolah Selamat Pagi Indonesia. Pelakunya seorang pebisnis cum motivator dan pendidik.
Pada kasus tersebut, ada dua aktivitis yang dikenal concern pada advokasi anak yaitu Kak Seto dan Arist Merdeka Sirait, keduanya justru sibuk berpolemik soal keberdaan masing-masing. Diawali dengan diketahuinya Kak Seto yang berada di gerbong terdakwa sebagai saksi ahli.
Selanjutnya Arist Merdeka Sirait menyatakan kegeramannya atas tindakan Kak Seto yang hadir sebagai pihak yang meringankan terdakwa. Melalui chanell Deddy Corbuzier, perkara polemic Kak Seto dan Arist disuarakan secara gamblang.
Keduanya justru berselisih yang ujungnya saling mengungkap persoalan yang tidak semestinya, di dalam polemik tersebut Kak Seto membeberkan perkara status lembaga Arist Merdeka Sirait yang tidak clear. Di berbagai media, Arist pun menyampaikan sanggahan atas upaya doxing yang dilakukan Kak Seto terhadapnya. Dari polemik ini, publik tentu dapat menarik keseimpulan.
Para pemerhati anak yang selama ini membawa marwah advokasi, ternyata lebih sibuk berseteru di perkara yang non substantif. Katakanlah, gerakan advokasi anak yang selama ini digawangi oleh dua tokoh tersebut, bukannya membawa angin perubahan yang lebih baik atas catatan kasus yang dialami anak-anak di Indonesia. Ini malah memperkeruh persoalan, bahkan, seperti ingin menjauhkan dari fokusnya pada proses hukum kepada predator yang kabarnya menanggung vonis 10 tahun penjara itu.
Kembali ke soal upaya lembaga-lembaga advokasi anak dalam memerangi rokok, maka wajar jika kemudian kecurigaan meruncing. Bahkan, bukan tidak mungkin menimbulkan public distrust terhadap upaya perlindungan anak yang dikaitkan dengan isu rokok. Katakanlah, sedikitnya 42 lembaga advokasi anak itu masya sih lembaga sebanyak itu tidak mampu serius menyelesaikan angka kasus kekerasan, paling tidak menekan angkanya.
Sebab begini, kalau mereka (aktivis pembela anak) sibuk mengurusi isu rokok, lalu abai pada kasus yang sejatinya jadi fokus. Tentu yang perlu dipertanyakan, apa prestasi yang bisa dibanggakan dari keberadaan aktivis pembela anak-anak. Apa karena sudah menemui jalan buntu dalam menekan angka kasus di atas, sehingga perlu mengalihkan kaca pandang isu ke yang lebih mendapat ‘dukungan’ global.
Pada prinsipnya, regulasi terkait pengendalian tembakau di Indonesia sudah ada dalam bentuk PP 109/2012 yang mengatur tata niaga rokok secara ketat dan menekan IHT, tak perlu lagi revisi. Ini kok para lembaga advokasi anak bukannya mendorong kebijakan yang memperkecil angka kasus kekerasan anak, kok ya malah sibuk menyasar kebijakan cukai. Ada kepentingan apa di balik itu semua?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply