Press ESC to close

Bukan Cuma Rokok, Kebanyakan Duit Juga Bisa Jadi Gerbang Menuju Narkoba

Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Nancy Dian Anggraeni menyatakan bahwa fenomena perokok anak perlu ditanggapi serius oleh berbagai pihak. Alasan yang disebutkan adalah karena merokok bisa saja menjadi pintu gerbang menuju penggunaan narkoba.

“Rokok ini bisa jadi pintu gerbang menuju penggunaan narkoba. Zat adiksi ini bisa menjadi gerbang adiktif lain,” ucapnya dikutip dari detikcom.

Kata kuncinya adalah: rokok bisa jadi gerbang menuju penggunaan narkoba. Seorang perokok sering dianggap sebagai kriminil. Awalnya pemabuk, pada level selanjutnya perokok akan mencoba-coba konsumsi ganja dan/atau jenis narkoba lainnya. Begitulah stigma yang dibangun oleh banyak orang untuk mendiskreditkan rokok dan perokok. Kita semakin sering dan akan terus mendengar label semacam ini. Kenapa? Ya karena anti rokok masih dan akan terus ada.

Sebelumnya, harus kita tekankan dulu bahwa rokok dan narkoba berbeda dalam banyak hal. Pertama, rokok (sebagai sebuah barang) itu produk legal, peredarannya diregulasi negara. Penggunaan rokok diijinkan, bahkan negara meraup untung dari rokok. Apakah aparatur negara menormalisasi peredaran narkoba? Apakah aparatur negara dapat untung dari peredaran narkoba? Tentu tidak begitu, kan? Kalaupun ada yang begitu, ya itu hanya oknum.

Kedua, merokok (sebagai sebuah perbuatan) itu bukan tindak pidana. Tentu berkebalikan dengan dengan nyabu, nyimeng, dan berbagai aktivitas mengonsumsi narkoba lainnya.

Iya, beliau memang tidak menyamakan rokok dengan narkoba. Yang dilakukannya adalah menarasikan rokok bisa jadi gerbang menuju narkoba. Atau, dengan kata lain, perokok bisa jadi adalah calon pemadat, calon pengguna narkoba. Ini tetap tidak bisa diterima.

Kalau mau berlindung di balik kata ‘bisa jadi’, ya ada banyak hal lain yang ‘bisa jadi’ gerbang. Siapapun boleh saja menyebut perceraian orangtua sebagai gerbang menuju narkoba. Atau, depresi karena putus cinta juga bisa jadi. Salah pergaulan karena kebanyakan duit dan punya bekingan kuat hingga merasa aman juga bisa jadi faktor yang membuat orang menggunakan narkoba. Bisa jadi, toh?

Baca Juga:  Mencoba Memahami Pegawai Kemenkeu yang Merokok

Memang benar ada sebagian perokok yang (pada akhirnya) juga mengonsumsi narkoba. Tapi banyak pula perokok yang tidak mengonsumsi narkoba. Vice versa. Ada pula pengguna narkoba yang dari lahir sampai masuk penjara tidak pernah merokok. Ada. Banyak. Lantas mereka menjadi pengguna narkoba lewat gerbang mana? Intinya, rokok tidak bisa serta-merta diasosiasikan dengan narkoba.

Alasan yang sering dipakai untuk menyamakan rokok dengan narkoba adalah faktor adiksi. Padahal, rokok tidak adiktif seperti narkoba. Dalam hal merokok, pola konsumsi seseorang dipengaruhi oleh faktor kebiasaan. Seseorang sering merokok karena terbiasa, bukan kecanduan. Kebiasaan dan kecanduan jelas dua hal yang berbeda.

Apapun barang konsumsinya, ketika sudah terbiasa dikonsumsi maka akan membentuk pola. Seorang yang terbiasa minum air hangat, akan sulit menerima air es. Demikian pula pada banyak hal lainnya.

Berbeda dengan penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pengguna narkoba akan merasakan efek langsung apabila tren konsumsinya terputus. Istilah umumnya adalah sakau. Mereka yang sakau biasanya akan merasakan sakit, gelisah, atau beberapa efek buruk lain ketika putus obat.

Apakah perokok akan mengalami hal yang sama? Jawabannya tentu tidak. Seorang perokok tidak akan menggigigil, kesakitan, atau mengalami dampak buruk lain apabila rokoknya habis. Efek yang paling maksimal ya merasa asem di mulut. Kalau sudah asem dan tidak punya rokok, ya minta rokok teman, tidak sampai menjual cincin ibu.

Kita sama-sama sepakat bahwa perilaku merokok pada anak perlu jadi perhatian berbagai pihak. Bahkan para perokok pun sadar kalau anak-anak bukan kelompok yang diwajarkan untuk merokok. Tapi, mengasosiasikan rokok pada narkoba itu perkara lain, itu opini yang kelewatan.

Baca Juga:  Yang Samar Dari Kawasan Tanpa Rokok

Regulasinya jelas, seseorang harus berusia minimal 18 tahun untuk bisa merokok di Indonesia. Apakah ada produk hukum yang menentukan batas usia untuk jadi konsumen narkoba? Tidak ada. Menyebut rokok gerbang menuju penggunaan narkoba itu berlebihan.

Satu hal lagi yang paling disayangkan adalah pernyataan tersebut lahir dari otoritas pemerintah. Pemerintah yang melegalkan dan menerima manfaat dari rokok, pemerintah pula yang mendiskreditkan rokok. Aneh.

Sebelumnya, penyataan senada juga lahir dari eks Mensos RI, Juliari Batubara. Narapidana kasus korupsi dana bansos yang sekarang menjadi warga binaan Lapas Klas 1 Tangerang ini pernah mengusulkan agar harga rokok dinaikkan setinggi mungkin, kalau bisa hingga Rp 100 ribu per bungkus, katanya. Alasannya apa? Agar anak-anak tidak bisa mengakses rokok dan terhindar dari bahaya rokok. Usul ini lahir saat Bang Napi Pak Juli masih menjabat menteri.

Bahaya apa yang dimaksud?

“Harus diingat pengenalan narkoba dari rokok. Lama-lama nyobain ganja lalu sabu. Begitu masuk ke narkoba ya sudah habis. Mau rehab seperti apa pun, kalau sudah narkoba sejak dini itu sudah sulit,” kata Bang Napi Pak Juli saat itu.

Keduanya sama-sama membangun narasi peduli anak. Keduanya juga memposisikan rokok dan narkoba pada garis linear. Semoga keduanya tidak berperilaku sama. Semoga.

 

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *