Ekspor tembakau dari negeri kita telah dikenal mancanegara sejak jauh silam. Ini bukti, adanya kebutuhan negara lain akan tembakau Indonesia. Indonesia sebagai negara penghasil tembakau keenam selain Cina, Brazil, India, USA dan Malawi. Secara hitungan jumlah produksi kita sebesar 136 ribu ton atau sekitar 1,91% dari total produksi tembakau dunia. Inilah kenapa tembakau dipandang strategis.
Namun, dalam skala ekspor dengan Kamboja, angka ekspor kita mengalami penurunan cukup signifikan. Dengan capaian US$ 541,3 juta berdasar data per Desember 2020. Nilai tersebut turun drastis 12,48% dibandingkan ekspor tahun sebelumnya yang tercatat US$ 618,52 juta.
Selain mengekspor tembakau, ada beberapa produk yang juga diekspor dari negeri kita ke Kamboja. Mulai dari bahan bakar mineral, minyak mineral dan produk distilasi. Di luar itu ada ekspor produk untuk sereal, tepung, pati atau susu, mesin, peralatan mekanis, reaktor nuklir, boiler, stok kereta api atau trem, dan suku cadang dan aksesorinya.
Bila dilihat dari data Trademap, dari total 97 produk ekspor, produk di luar tembakau juga diekspor ke banyak negara lainnya. Secara angka capaian dan peringkatnya, tembakau menduduki peringkat pertama untuk ekspor ke Kamboja setiap tahunnya.
Ada ketergantungan negara tersebut terhadap tembakau yang didatangkan dari negeri kita. Ini artinya, ada pendapatan yang diterima negara secara konsisten dari sektor ekspor berbasis tembakau. Ini nantinya bisa kita komparasi dengan volume tembakau impor yang dibutuhkan oleh IHT dalam negeri. Tak dipungkiri, impor varietas virginia, oriental, burley, angkanya juga tidak kecil seturut permintaan pasar.
Terlepas dari itu, terpenting yang mau saya soroti di dalam tulisan ini adalah seputar menurunnya angka ekspor komoditas berjuluk emas hijau ini ke Kamboja. Tentu di dalam meniliki perkara ini ada sejumlah variabel penyebabnya.
Meski Indonesia dikenal paling banyak mengekspor tembakau ke Kamboja, produk hasil tembakau kita juga banyak menyebar ke sejumlah negara-negara Asia tenggara. Namun, dari sisi bahan baku, yakni tembakau, Kamboja menjadi salah satu yang terbesar menyerap bahan baku dari Indonesia.
Di pasar Eropa sendiri, Jerman terutama, tembakau dari Sumatera Utara yang dikenal sebagai tembakau Deli juga cukup tinggi angka ekspornya. Selain tembakau Deli, tembakau dari Jember juga bernilai ekspor yang tidak kecil.
Untuk tembakau Deli, total pada Januari-Februari 2016, nilai ekspor total tembakau Sumut mencapai USD58,590 juta dolar AS atau naik dari periode sama 2015 yang masih USD49, 031 juta. Kini pasar sasaran utama, tembakau Sumatera ini lebih besar ke Kamboja.
Seiring perkembangannya, jika kita tilik pada angka penurunan ekspor tembakau, kita melihat adanya beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Di antaranya terkait pengembangan budidaya tembakau dan insentif bagi IHT.
Pada perkara IHT di dalam negeri, kita kerap kali mendapati sikap mendua dari fokus pemerintah dalam memposisikan tembakau. Pertama, pemerintah menjadikan cukai tembakau sebagai andalan penerimaan. Kedua, pemerintah juga menjadikan tembakau sebagai objek pengendalian dari agenda kesehatan global. Dua fokus tersebut tentu saling bertentangan.
Jika fokus pada penerimaan, hal terpenting yang mesti menjadi perhatian adalah pada aspek pengembangan. Artinya, tembakau sebagai komoditas strategis harus diupayakan untuk mendapatkan perlakuan yang komprehensif.
Misalnya, pada aspek jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi petani tembakau. Setidaknya, pemerintah turut membantu di soal ketersediaan pupuk murah atau yang bersubsidi. Namun, belakangan sejaka Juli 2022, subsidi pupuk untuk tembakau malah dicabut. Selain itu, mestinya pemerintah juga memberi jaminan kesejahteraan dengan paling tidak memberi kemudahan bagi petani untuk mendapatkan modal produksi.
Jika perhatian pemerintah memang bersungguh dalam menjaga sektor strategis ini sebagai andalan penerimaan. Maka, dalam konteks Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang nilainya tidak sedikit itu haruslah tepat sasaran, tepat guna, dan tepat waktu. Bukan untuk dipakai manasuka oleh rezim keuangan maupun rezim kesehatan sejurus kepentingan penegendalian.
Selama ini yang terjadi, sebagian besar banyak yang mengalami bias pemanfaatan. Tidak terarah pada pengembangan dan pencapaian kesejahteraan bagi petani tembakau. Setidaknya dalam hal penyediaan bibit berkualitas, ini mestinya pemerintah ada andil untuk memudahkan para petani dalam mengkase bibit. Tidak sebatas kegiatan artifisial yang hanya mengejar eksposure media.
Dengan kata lain, harus ada keberpihakan yang total dari pemerintah, jika memang tembakau ini dimaknai sebagai komoditas strategis. Jangan hanya mengharapkan penerimaan, dengan sekadar membuat target-target tahunan, namun dalam praktik perhatiannya malah lebih condong ke pengendalian. Ini satu hal rancu yang menimbulkan beragam kontroversi dan polemik di masyarakat.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply