Search
jumlah perokok

Kenaikan CHT Tidak Menekan Jumlah Perokok

Jumlah perokok digadang-gadang oleh pemerintah mengalami penurunan. Hal itu dinyatakan berdasar pemberlakuan kebijakan cukai yang setiap tahun tarifnya dinaikkan.

Berdasar buku II Nota Keuangan Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023 pemerintah memproyeksikan kenaikan cukai mencapai Rp245,45 triliun. Secara porsentase naik 9,5 persen dari outlook tahun 2022 yang diperkirakan sebesar Rp 224,2 triliun.

Dari angka Rp 245,45 triliun tersebut, Pemerintah menargetkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sekitar Rp 232,6 triliun atau naik 10,8 persen dari tahun 2022 sebesar Rp. 209,9 triliun sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022.

Di tengah situasi ekonomi saat ini yang bisa dibilang tidak stabil, daya beli yang semakin lemah, apalagi setelah pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), inflasi pada tahun 2022 diperkirakan akan mencapai 6,3 persen-6,7 persen. Hal ini niscaya menyebabkan daya beli menurun.

Dari sisi harga rokok terlihat sekali dari gap harga antara rokok ilegal dan rokok legal yang beredar di pasaran yang terlalu lebar. Perebedaannya sangat jauh, sehingga mendorong perokok untuk membeli yang ilegal. Ini safu fenomena yang harus disikapi pemerintah.

Kenyataan senada di balik itu, dari sisi pabrikan, menurut Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, industri sebenarnya juga kelimpungan dengan tingginya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau.

Baca Juga:  Distribusi Tembakau di Kendal Terhambat Pungutan Liar, Tim Saber Pungli Kemana?

Selama ini, IHT legal selain dipungut melalui cukainya, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran.

Secara akumulatif, hitungan tersebut jika dijumlahkan, ketiga komponen pungutan langsung tersebut, mencapai sekitar 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual. Bukan main sekali ini lapid pungutannya. Tidak ada produk lain yang diperlakukan sebegitunya selain pada produk IHT.

Perlu diketahui lagi, masih ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh perusahaan rokok, yakni tanggung jawab CSR-nya. Apalagi ini semakin tinggi golongan industrinya, semakin tinggi pula pungutan yang harus diserahkan ke negara. Dengan beban tinggi itu secara hitung-hitungan, target penerimaan cukai untuk 2023 tidak akan tercapai.

Dari sisi peneliti kebijakan, selama ini kebijakan cukai justri tidak mengurangi angka perokok. Sebagaimana yang menjadi argumentasi pemerintah dengan menaikkan tarif CHT setiap tahun.

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof Candra Fajri Ananda menilai, kebijakan tarif ini hanya berhasil menekan secara signifikan penurunan prevalensi perokok anak sampai 3,81 persen pada 2021 dan capaian ini sudah sesuai target RPJMN 2019-2024.

Menurut pengamat kebijakan ekonomi ini, bahwa indikator prevalensi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007.

Baca Juga:  Simplifikasi Cukai, Satu dari 3 Setan Kebijakan Cukai

Dari sini membuktikan adanya kebijakan cukai melalui kenaikan tarif setiap tahun untuk menekan prevalensi, jelas kurang efektif. Justru memberi dampak kontraproduktif terhadap ekonomi.

Kebijakan cukai yang dilakukan selama ini justru lebih banyak menyebabkan trade off, dimana kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.

Merujuk data yang ada, jelas menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah pabrikan rokok. Terhitung dari tahun 2007 sampai 2021 ini hanya tinggal 1003 pabrik, dari sebelumnya 4.793 pabrik. Ini jelas angka penurunan yang signifikan dari sisi target pembangunan ekonomi.

Sebagaimana yang kita tahu, isu kesehatan selalu menjadi bantalan dan dalih yang direpetisi dalam agenda pengendalian. Pemerintah dan antirokok yang selama ini gencar kampanye kesehatan dalam mendiskritkan rokok, menjadikan isu pengendalian sebagai ilusi yang bertujuan lain dari yang digembar-gemborkan terkait prevalensi perokok.