Press ESC to close

Ketika Ahli Kesehatan Jadi ‘Marketing’ Industri Rokok Elektrik

Kerja pengendalian yang diemban pemerintah dalam menekan angka perokok kian terbantukan industri rokok elektrik. Berangsur, tabir skenario dagang yang dimainkan gerakan antirokok semakin menampakkan tujuan utamanya. Berdagang.

Isu kesehatan yang selama ini dikampanyekan, pada akhirnya hanyalah dalih untuk menggeser pasar. Sejurus ini, dari waktu ke waktu upaya untuk memasarkan produk berbasis teknologi  yang dipanaskan ini terus dilariskan ke dalam berbagai kesempatan.

Sebetulnya sudah banyak pihak otoritatif yang secara terselubung menjalankan skenario pemasarannya. Tak terkecuali, pemerintah kita sendiri turut memberi karpet merah untuk investasi IQOS di Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah para ahli kesehatan, birokrasi, ilmuwan maupun akademisi.

Skema untuk merebut pasar perokok sejatinya telah dimainkan sejak era 60-an, dengan menebar benih kebencian terhadap produk tembakau melalui entri ‘ketagihan’ dan stigma buruk terhadap industri rokok. Bahwa rokok maupun tembakau dapat menimbulkan efek ‘kecanduan’ yang merugikan kesehatan. Industri rokok dirisak lewat beragam isu.

Siasat soft selling yang dihembuskan melalui diskusi dan aktivitas di media daring demikian mengemuka pada kurun waktu terakhir ini. Sejumlah nama otoritatif di bidang kesehatan, terlibat menjadi juru marketing yang bias kepentingan dagang. Tak lagi hanya bicara kesehatan.

Upaya mempromosikan rokok elektrik yang disandingkan dengan rokok konvensional, menjadi satu upaya yang menawarkan posisi normatif atas industri vape. Tak tanggung-tanggung, pihak yang bicara di dalam diskusi daring itu adalah seorang Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tikki Pangestu.

Ia menyebutkan terkait bahaya rokok yang telah memberi dampak merugikan kesehatan di masyarakat. Namun, di sisi lain, Tikki juga menawarkan produk vape yang digadang-gadang ‘lebih aman’ dikonsumsi. Inilah era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.

Yap. Abad post truth. Dimana data yang dinarasikan terkait kesehatan, berimplikasi menjajah bawah sadar konsumen. Disadari maupun tidak, terperangkaplah konsumen ke dalam nalar yang dimainkan bisnis nikotin.

Dari upaya promotif ini, kita sebagai perokok tentu dapat menilai adanya kepentingan dagang di balik isu kesehatan yang dinarasikan. Bahwa, konsumen terus didorong untuk percaya pada label normatif yang disematkan pada produk tandingan rokok.

Baca Juga:  Perokok Positif Covid-19, Apa Bisa Sembuh?

Sosok otoritatif ini berusaha menggeser makna komoditas strategis dari industri kretek yang selama ini hidup dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sebagai penopang ekonomi negara dan masyarakat luas. Menyisipkan terminology inovatif dari vape yang diulungkan dapat menjawab kebiasaan merokok.

Tak hanya Tikki Pangestu, di dalam forum tersebut turut angkat bicara pula Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (RSUPP) dan Dokter spesialis onkologi dari Inggris, Peter Harper.

Di dalam upaya para ahli ini mengulungkan pilihan hidup sehat, tak segan-segan didesakkan juga kepentingan dagang yang demikian sublim. Sehingga semakin menguatkan bahwa agenda pengendalian tembakau dan pengendalian konsumsi rokok yang ada di Indonesia bukanlah satu gerakan murni.

Suatu gerakan yang hanya mendalilkan kesehatan, namun tujuan utamanya bukanlah untuk mengangkat derajat kesehatan masyarakat. Mengingat, persoalan kesehatan yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh ketimpangan akses kesehatan serta buruknya pengelolaan sistem yang dikawal pemerintah. Mestinya, perhatian pemerintah tak melulu hanya menyoroti isu rokok yang kian hari makin absurd.

Pemerintah terus saja disibukkan oleh agenda politik yang jauh dari akar persoalan di masyarakat. Misalnya terkait cukai rokok yang hanya dijadikan sumber andalan pendapatan setiap tahun, namun nasib industrinya tak pernah mendapatkan jaminan perlindungan yang nyata dan menyeluruh.

Sebagaimana kita ketahui juga, cukai rokok menjadi salah satu instrumen pengendalian yang menjadi desakan para aktor yang bermain di dalam isu tembakau. Bukan lagi rahasia, kalau di balik semua gerakan antirokok ada kepentingan industri farmasi, yang pada gilirannya semakin tampak tujuannya dalam merebut pasar perokok di Indonesia.

Dapat kita tilik dari skema bisnis nikotin yang dimainkan seturut munculnya traktat pengendalian tembakau global yang diperantarai badan kesehatan dunia (WHO). Korporasi farmasi level dinosaurus yang ada di balik agenda dagang berbalut isu kesehatan itu semua.

Baca Juga:  Rokok Elektrik, Bisnis, dan Kesehatan

Termasuk pula skema soft selling yang dimainkan melalui diskusi online yang melibatkan para ahli kesehatan yang diselenggarakan Alomedika, alih-alih membantu pemerintah dalam menekan konsumsi rokok. Faktanya, tak lain upaya promotif belaka.

Gambaran skema perebutan pangsa pasar perokok di berbagai belahan dunia, dapat kita tilik dari munculnya beberapa produk NRT (Nicotine Replacement Therapy) yang didesakkan kepada negara peserta FCTC, sebagai pasar potensial dari produk tersebut. Indonesia termasuk di dalamnya.

Sejak diproduksinya permen karet nikotin pada 1971 dan pada 1978 Smith Kline Beecham mulai memasarkan permen karet itu dengan merek “Nicorette” di Swiss.  Tidak hanya itu, banyak perusahaan farmasi lainnya turut bermain di bisnis produk pengentas kebiasaan merokok

Munculnya produk Nicoderm dari Smith Kline dan produk Nicotrol dari McNeil Consumer Products, anak perusahaan Johnson & Johnson. Konferensi dunia tentang Tembakau dan Kesehatan, membahas studi kasus tentang pengenalan rokok ringan dan berisiko rendah ke pasar konsumen.

Siasat pemasaran produk yang didasarkan pada terma Nicotine Replacement Therapy (NRT) ini digelar setiap tahunnya. Lembaga-lembaga kesehatan tingkat dunia seperti American Medical Association, American Cancer Society, dan Robert Wood Johnson Foundation.

Tak ketinggalan American Heart Association, American Lung Association, U.S. Centers for Disease Control and Prevention, dan National Cancer Institute. World Health Organization (WHO) dan United Nations Foundation. Adalah lembaga-lemaga yang menjadi penyokong agenda-agenda yang berkaitan dengan pengendalian tembakau. Dan tak terhindarkan, promosi rokok elektrik yang dibalut dengan isu kesehatan membawa tujuan untuk memonopoli pasar perokok.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *