Press ESC to close

Kontroversi Fenomena Anak Membeli Rokok

Logika antirokok seringkali ngawur menyoal perniagaan rokok. Terlebih ketika ada anak membeli rokok. Kemudian pihak pabrikan diharuskan pula kena sanksi atas perkara itu. Rokok sebagai barang legal menjadi seperti barang yang harus terus dilaknati, sementara produk legal ini dijamin secara hukum terkait peredaran dan bisnisnya.

Tudingan untuk memperkarakan produsen dalam kasus anak belanja rokok ini disampaikan oleh seorang berpendidikan, yakni koordinator dari lembaga End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT). Di dalam konteks ini, ia menuding kebijakan terkait perniagaan produk berbahan baku tembakau ini bersifat diskriminatif dan parsial.

Hal ini didasari argumen bahwa peraturan tentang larangan menjual rokok kepada anak hanya diatur di level Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya, pihak yang harusnya kena sanksi bukan hanya SPG sebagai penjual, pihak produsen juga harus dikenai sanksi.

Di sini level kewarasan antirokok yang patut ditertawai.

Sejatinya, terkait pembatasan usia konsumen rokok telah diatur di dalam induk hukum dari Perda tentang rokok, yakni PP 109/2012, Pasal 25. Begitupula terkait perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil

Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 telah mengatur secara ketat berbagai hal terkait tata niaga rokok, peredara dan promosinya, serta ketentuan-ketentuan bernuansa kesehatan yang wajib dipatuhi produsen.

Di antaranya pencantuman peringatan untuk tidak menjual rokok kepada anak, peringatan kesehatan, informasi produk. Semua aspek ketentuan itu telah ditaati dengan baik oleh produsen. Artinya, produk rokok yang sudah memenuhi ketentuan sudah lolos uji dan layak diakses konsumen.

Baca Juga:  Bapak-bapak Merokok Disindir Megawati, Memangnya itu Solusi?

Namun, ketika terjadi kasus yang berkaitan dengan isu perokok anak, tentu yang paling penting dikedepankan adalah aspek edukasi dan pengawasan. Penerapan sanksi terhadap ritel ataupula sales yang menyalahi aturan, pihak otoritas patut menjalankan amanat yang diatur di dalam PP 109/2012 bagian keempat, terkait perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil.

Bagi ritel ataupun sales yang melanggar ketentuan yang diamanatkan untuk tidak menjual rokok kepada anak, ya kembali pada pelaksanaan sanksi yang diatur melalui peraturan di bawahnya. Entah itu sanksi administratif berupa teguran atau sanksi denda.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memberi efek jera bagi pelanggar agar dapat bertanggung jawab atas produk yang dijualnya. Sebab produk tersebut terikat dan dijamin secara hukum. Lucu saja jika kemudian antirokok menggunakan logika bahwa pihak produsen perlu pula diberi sanksi atas kecerobohan yang dilakukan di level pasar.

Perkara yang muncul di tingkat ritel ataupun penjualan, ya tentu itu tanggung jawab pihak yang memperantarai dengan konsumen. Pihak ritel/penjual ataupun sales ini tentu adalah orang dewasa, yang ia harus bertanggung jawab untuk mematuhi amanat hukum yang ditetapkan.

Mestinya turut pula mengedukasi anak-anak di bawah umur untuk tidak boleh mengakses produk yang merupakan konsumsi orang dewasa. Logika antirokok yang memaksakan kepentingan politik pengendalian itu jelas bertubrukan dengan logika hukum yang berlaku.

Sebagai contoh, ketika ada seorang bapak dan anak makan durian yang dibeli dari penjual di pinggir jalan. Kemudian anaknya klenger setelah makan durian, apa lantas pemilik kebun durian turut pula kena sanksi? Si bapak dan si penjual sebagai orang dewasa yang harusnya punya kesadaran memahami itu.

Baca Juga:  Kota Solo yang Kian Tak Ramah Bagi Perokok

Sementara si pemilik kebun sudah mengurus kebun sebagaimana mestinya, merawat pohon-pohon duriannya dengan baik. Apa iya pohon durian yang berasal dari kebun nun di desa sana harus menanggung sanksi tebang?

Dari ilustrasi ini sebetulnya kita dapat menilik, ada politik kepentingan apa di balik desakan antirokok terhadap aturan yang sudah ada dan ditaati produsen. Bukankah saat ini yang diperlukan para pihak adalah upaya yang lebih konsisten dan taat asas atas segala aturan terkait produk tembakau. Misalnya soal pengadaan ruang khusus merokok yang sudah diatur secara konstitusi.

Jika ada pelanggaran atas amanat penyediaan ruang merokok, baik perokok maupun pengelola gedung, tentu saja perlu adanya tindakan yang dapat memberi efek jera. Bisa melalui teguran lisan maupun tulisan, artinya, jika langkah sosialisasi dan edukasi sudah ditempuh para pihak. Maka, barulah langkah selanjutnya diambil.

Jangan sampai, kepentingan antirokok yang kerap mempolitisasi isu di masyarakat ini jadi membuat masyarakat bingung dan mengaburkan kewarasan. Bahkan kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah sebagai pengawal regulasi.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *