Press ESC to close

Third-Hand Smoker, Pengulangan Cacat Logika Antirokok

Third-hand smoker atau disebut juga perokok ketiga telah menjadi isu turunan dari perokok pasif yang kerap dimainkan antirokok. Istilah ini sejak lama telah menambah entri kengawuran dari cacat logika kampanye kesehatan dalam mendiskriminasi perokok.

Rokok sebagai produk legal yang dikonsumsi masyarakat semakin mengerikan saja terkesannya. Bukan apa-apa ini sih, logika dari istilah yang disematkan kepada orang yang tidak merokok itu menjadi terkesan dipaksakan.

Jika perokok pasif adalah orang yang terpapar asap rokok, kemudian ada pihak lain yang juga dituding terdampak bahaya yang dikandung rokok akibat bersentuhan dengan benda yang digunakan perokok, katakanlah pakaiannya maupun benda-benda di ruangan saat perokok itu berada. Kengawuran tingkat dewa sih ini.

Artinya, ketika berhenti dari aktivitas merokok pun, perokok dikesankan sangat jahat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dampak asap yang menempel pada ruangan. Waduh. Ngawur banget logika ini. Nyaris seperti logika terkait penyebaran virus covid. Perokok dicitrakan sebagai penyebar ‘virus’ yang menakutkan akibat aktivitas merokoknya.

Kampanye kesehatan terkait isu third-hand smoker ini telah ditunjang beberapa hasil studi yang disebarluaskan untuk membuat masyarakat dunia semakin membenci rokok dan perokok.

Padahal, jika kita bantah dengan logika penjual sate yang sehari-hari terkena asap dari aktivitas bakar-bakaran. Tentu saja tidak lantas akan membuat keluarga si penjual sate jadi berpenyakitan, lain halnya jika si penjual sate juga perokok. Pasti saja aktivitas merokoknya yang dipersalahkan, bukan aktivitas sejenis yang menimbulkan asap.

Oleh antirokok hal ini akan disanggah dengan bantahan bahwa asap rokok jauh lebih berbahaya dari asap bakaran sate. Lalu bagaimana dengan asap kendaraan yang siapapun menghirup udara yang sudah terkontaminasi polusi tersebut?

Banyak orang juga sudah memiliki kesadaran, bahwa tidak ada produk konsumsi yang tidak berisiko. Perkara mana lebih berisiko adalah perkara siapa yang mempersepsikan, biasanya akan persepsi ini akan didukung oleh argumen-argumen tentang kerugian ataupula penyankit yang ditimbulkan.

Dan antirokok selalu saja membangun narasi-narasi mengerikan terkait bahaya rokok melalui penelitian terkait asap rokok, yang kemudian disebarluaskan dan diulang-ulang untuk mengobrak-abrik kewarasan publik.

Baca Juga:  Perokok Sehat, Apakah Mungkin?

Ya, kalangan pembenci rokok ini isunya seputar itu itu saja, alias pengulangan, salah satu isu yang kerap direpetisi adalah kampanye hoaks perokok pasif (secondhand smoker dan thirdhand smoker).

Ya, antirokok memang mengklasifikasikan perokok ke dalam tiga jenis: firsthand smoker adalah perokok aktif; secondhand smoker adalah perokok pasif atau orang yang tidak merokok namun terdampak asap rokok; dan yang terakhir adalah thirdhand smoker, yaitu orang yang tidak merokok, tidak terpapar asap rokok, namun terdampak akibat dari perokok melalui berbagai media.

Oleh haters rokok, istilah perokok ketiga ini dialihbahasakan menjadi perokok tersier. Selain istilah perokok pasif yang ganjil alias aneh di logika kita, kemudian muncul lagi istilah perokok tersier yang lebih aneh lagi untuk dinalar.

Para pembenci rokok terlalu memaksakan keterkaitan rokok dengan berbagai penyakit, caranya sangat beragam. Bayi atau anak kecil adalah orang-orang yang sering dijadikan contoh korban third-hand smoker oleh antirokok.

Ada narasi yang dibangun bahwa racun dalam rokok akan mengendap di pakaian dan semua medium di sekitar perokok. Nah, racun yang mengendap inilah yang kemudian dihirup oleh bayi dan anak dari perokok. Kurang lebih begitulah logika yang ditelusupkan antirokok ke dalam benak masyarakat.

Upaya hegemoni (penjajahan bawah sadar) antirokok melalui narasi yang dibangun untuk membuat masyarakat terbelah, artinya kemudian timbul golongan pro rokok dan antirokok. Jika sudah terbelah begini, maka nilai-nilai bermasyarakat yang berasaskan Pancasila akan mengalami disrupsi. Inilah yang sejak dulu terbaca oleh kita sebagai ancaman bagi kedaulatan dan asas bermasyarakat.

Terminologi third-hand smoker maupun perokok tersier, jelas bukan pengetahuan yang diproduksi oleh bangsa yang memiliki kearifan seperti Indonesia.

Perlu diketahui lagi, isu antirokok yang didukung oleh berbagai studi ilmiah itu sejatinya telah menuai banyak kritik dan terbantahkan logikanya. Sebelum menguji konsepsi tentang perokok tersier ini, konsep secondhand smoker alias perokok pasif sudah lebih dulu tidak lulus uji.

Baca Juga:  Haram Hukumnya Perokok Masuk Masjid, Benarkah?

Konsepsi secondhand smoker atau perokok pasif–kadang disebut perokok sekunder–merupakan kebohongan kampanye anti rokok.

Istilah ini populer setelah adanya penelitian dari Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat. Dalam laporannya, mereka mengklaim perkara perokok pasif merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, yang membunuh sekitar 3.000 non perokok Amerika setiap tahun akibat kanker paru-paru.

Lebih lanjut, riset dari EPA ini menuai kritik yang sangat menohok. Salah satunya oleh Congressional Research Service (CRS) USA. Pada November tahun 1995, CRS merilis laporan analisis kritis terhadap metode dan kesimpulan EPA setelah melalui studi selama 20 bulan. Kemudian pada tahun 1998, hakim federal menyatakan riset EPA batal dan tidak berlaku.

Terdapat juga satu jurnal penelitian pada 2003, dari British Medical Journal menyoal perokok pasif dan kematian akibat kanker paru. Bahwa tidak ditemukan hubungan statistik yang signifikan antara paparan asap rokok terhadap orang yang tidak merokok dan kematian akibat kanker paru-paru.

Artinya, ketika konsep perokok pasif saja terbantahkan logikanya, kemudian muncul lagi hasil penelitian yang mengungkap tentang perokok ketiga. Jelas ini menampakkan watak antirokok yang pantang menyerah dalam mendiskreditkan rokok. Hanya memproduksi ketakutan di masyarakat saja.

Bukan lagi rahasia, selama rokok merupakan produk strategis yang bernilai ekonomi menggiurkan, tentu produk ini akan menimbulkan kontroversi dan melahirkan opsi-opsi produk tandingannya, mengingat korporasi farmasi global sudah sejak lama ingin memonopoli pasar besar dari rokok.

Bukan lagi rahasia, bahwa penelitian-penelitian ilmiah antirokok ini pada akhirnya tergolong junk science, selain tidak murni dilakukan demi amanat pengetahuan, hasil penelitiannya pun terlalu memaksakan logika yang didasarkan pada kebencian terhadap tembakau dan rokok.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *