Press ESC to close

Apa Yang Salah Dari Rokok Murah?

Mahal atau murah itu soal perspektif. Di hadapan orang berduit, harga sebungkus 8 ribu dapat disebut rokok murah. Namun, sebaliknya, di hadapan orang berkantong cekak, sebatang rokok seharga 8 ribu menjadi sangat mahal.

Bagaimana mengukur mahal-murahnya suatu produk secara objektif? Ada sekian variabel yang melatari tentu. Beda halnya dengan antirokok yang serampangan menuding harga rokok di Indonesia itu murah dibanding dengan negara maju seperti Singapura atau negara maju lainnya.

Iya, jelas beda, dari sisi angka pendapatan per kapita lebih rendah dari negara maju. Modal kulturalnya saja sudah lain dalam memaknai rokok. Mana ada di negara lain rokok bagian dari tradisi kenduri atau tersuguh di gelas saat tahlil?

Jadi, jika selama ini rokok dan industrinya kerap dituding salah, justru yang salah itu ada di pemahaman antirokok. Tidak mampu memahami bagaimana sebetulnya kondisi ekonomi dan budaya bangsa ini.

Dalam konteks industri rokok, terutama jika kita bicara kretek, ada beberapa layer pungutan cukai berdasar golongan industrinya, ada SKT yang diproduksi secara manual dengan tangan. Ada golongan SKM (Sigaret Kretek Mesin,) pungutan cukainya berbeda nih dari golongan SKT.

Demikian halnya dengan golongan SPM (Sigaret Putih Mesin), harga rokok ini sebungkus rata-rata di atas 20-30ribu lebih. Cukainya masuk ke dalam golongan satu. Secara harga, rokok golongan SPM, bagi masyarakat dengan gaji UMR yang segitu-gitu saja alias tidak pernah naik. Jelas mahal. Sementara harga rokok setiap tahun naik terus.

Lain halnya dengan jenis rokok klobot, jenis ini pungutannya jauh lebih rendah dari SKM dan SPM, golongan layernya masuk golongan III, ada pula layer cukai TIS (Tembakau Iris Sigaret).  Nah, soal pembagian layer cukai berdasar golongan industrinya ini sebetulnya sudah mencerminkan asas keadilan.

Baca Juga:  Menteri Perindustrian Sebut Rokok dan Cerutu Sebagai Produk Kearifan Lokal

Asas keadilan itu kemudian menjadi tidak adil ketika kepentingan pengendalian tembakau dipaksakan melalui kebijakan tarif cukai yang naik terus tiap tahun, bahkan, angka kenaikannya melampaui batas kemampuan pabrikan.

Sementara, di tiap keputusan tentang angka kenaikan tarif cukai, harusnya turut pula mempertimbang faktor situasi ekonomi nasional. Di antaranya mempertimbang pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi, tak ketinggalan mempertimbang pula daya dukung industri. Daya dukung industri mencakup pula pasarnya.

Harga-gara rokok yang naik secara gradual dari waktu ke waktu, kemudian oleh perokok golongan pas-pasan dipandang mahal, bagi golongan banyak duit lain halnya, tentu bagi mereka harga bukan lagi masalah. Bagi orang berduit, biasanya asal produk itu memenuhi citra yang diyakininya, berapun pasti dibeli.

Jika saat ini kita lihat banyak inovasi produk yang diluncurkan oleh tiga pabrikan besar rokok di Indonesia. Itu semata-mata bagian dari upaya mencukupi kelangsungan produksi. Tidak selalu semata-mata soal mengejar keuntungan. Ada rumus bagi beberapa produk baru yang disubsidi oleh merek di atasnya. Ini hal lazim yang terjadi di industri untuk menjaga kelangsungan pasar.

Satu hal yang perlu dicatat, pabrikan tidak selalu menanggung untung dari setiap brand yang dilariskan. Mengingat, jika sebungkus rokok harga 20.000, sementara pungutan cukai-pajaknya yang terkena tiga lapis, jika dipukul rata mencapai 70% disetorkan untuk pemerintah. Sisanya yang 30% itu jatah pabrikan, itu belum dibagi-bagi untuk menutup beban produksi.

Artinya, jika antirokok terus menuding harga rokok di Indonesia ini murah ya jelas bebalnya, faktanya, pungutan (pajak-cukainya) yang disetorkan untuk pemerintah jauh lebih besar, itu pula yang bikin harga rokok di negeri ini semakin sulit dijangkau masyarakat kelas pas-pasan, rokok makin mahal.

Sebagaimana kita tahu, antirokok selama ini getol berkampanye mendesak pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok. Dengan dalih demi memperbaiki kesehatan masyarakat. Kok ya soal dalih kesehatan terarahnya melulu ke rokok yang selalu dicap negatif. Jelas, di balik kampanye mereka ada agenda tersembunyi dalam upaya menyingkirkan industri kretek dalam negeri.

Baca Juga:  Reino Barack Yang Masa Mudanya Pernah Jualan Rokok

Di tengah kondisi ekonomi yang mengalami pelambatan pasca pandemi kemarin. Dimana daya beli perokok pun terus menurun. Mengingat inflasi kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM sangat berpengaruh, semua serba naik harganya. Sedangkan pendapatan masyarakat tidak juga naik. Kondisi tersebut tentu memberi tekanan tersendiri bagi masyarakat. Bikin stress, Bos.

Tidaklah keliru, jika kemudian masyarakat memilih mengonsumsi rokok di level yang terjangkau kantong. Sementara, antirokok di tengah kondisi ekonomi yang suram ini menawarkan apa? Wacana kamuplatif belaka. Masih bagus konsumen membeli rokok bercukai, yang jauh lebih berbahaya jika sebagian besar konsumen beralih ke rokok non cukai itu loh. Serba merugikan jelas, bagi negara itu potensi kerugian, terlebih bagi masyarakat.

Bukan apa-apa, rokok non cukai itu tidak jelas komposisinya, Bos. Kita tidak tahu apa bahan bakunya, apalagi dari sisi harga sangat jauh dari harga rokok legal di pasaran. Kini semakin marak saja peredarannya. Jika tiga pabrikan besar mengeluarkan produk kelas murah sebagai upaya inovasi, ya sekali lagi itu masih lebih baik ketimbang pasar direbut oleh rokok ilegal yang tidak jelas.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *