Press ESC to close

Berhenti Merokok Dihadiahi Satu Juta? Lebay!

Memotivasi masyarakat untuk berhenti merokok dengan menghadiahi uang 1 juta, entah di mana nilai terpujinya. Kekocakan ini terjadi di Solok. Pemerintah Kota yang berada di Sumatera Barat ini seperti sedang berlomba menunjukkan kebodohan khas antirokok.

Masyarakat memang bukan sekali-dua kali ditunjukkan, betapa tidak mendidiknya gerakan antirokok dalam memainkan kampanye kesehatan. Misalnya, melalui kampanye menukar rokok dengan permen, jus, atau produk konsumsi lain. Padahal, persoalan setop dari merokok itu persoalan mudah saja.

Tanpa harus diiming-imingi layaknya gimmick yang dilakukan terhadap anak kecil, perokok dapat dengan sendirinya berhenti kok. Dan kali ini, teknik iming-iming ini juga dilakukan oleh Pemkot Solok dalam upaya membuat masyarakat keluar dari kebiasaan merokok dengan memberi uang satu juta bagi yang berhasil setop.

Dalam banyak hal, rokok kerap kali dituding produk super negatif. Rokok kerap diklaim sebagai salah satu alasan penyebab kemiskinan di masyarakat. Konsumsi rokok dipetakan sebagai salah satu yang membuat pengeluaran besar di masyarakat selain beras. Intinya, rokok dicap biang kerok atas kealpaan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan di masyarakat.

Contohnya dalam konteks gimmick yang dilakukan Bupati Solok, bukankah  uang satu juta itu akan lebih faedah dan tepat guna jika dipakai untuk membeli kebutuhan yang dapat menunjang kejahteraan. Gampangnya, petakan mana lingkungan yang kurang sehat di Solok, lengkapi yang perlu dihadirkan di daerah tersebut. Simple kan.

Dibanding uangnya digunakan untuk mengolok-olok masyarakat, ya bagaimana tidak olok-olok, di tengah tingginya beban biaya hidup, tuntutan yang meningkat, kok ada pemerintahan yang menjadikan masyarakat seperti kanak yang diiming-imingi duit untuk perkara yang bukan kebutuhan prioritas. Apa bukan pelecehan itu.

Baca Juga:  Kita Hanya Tiada Mengerti: Kampanye Kesehatan Anti-Rokok

Di lain sisi, himbauan untuk tidak lagi merokok itu rawan diakal-akali juga oleh pihak manapun dari sisi teknis. Ya bukannya kita tidak paham kalau jurus itu dilakukan sebagai upaya pencitraan belaka. Jika ada daerah lain meniru jurus tersebut, ya sama dengan merayakan kebodohan berjamaah. Sudahlah tidak mendidik, justru itu memicu kecurigaan aparat dan masyarakat terkait dari mana uang itu berasal.

Iya kita memang tidak sedang merayakan sifat buruk sangka pada manusia, kita sedang ingin mengevaluasi pola-pola yang dilakukan pemerintah daerah. Katakanlah ini bagian dari mendidik diri untuk tetap kritis. Terutama dalam mengkritisi isu rokok yang semakin hari semakin menampakkan cara-cara yang kontraproduktif.

Meski saya bukan berasal dari daerah Solok bukan pula warga Solok. Tetapi, sebagai perokok saya merasa perbuatan Pak Bupati bukan suatu hal terpuji yang menjawab kebutuhan publik. Seandainya, uang satu juta yang akan diberikan kepada 20 orang dalam setahun itu bersumber dari DBHCHT, jelas itu keliru. Walaupun alih-alih BLT, cara itu sangat kontraproduktif.

Sebagi perokok, kita sama-sama sepaham, merokok bukanlah cara untuk merusak diri seperti yang kerap ditudingkan antirokok. Sebagi produk legal, rokok kerap menuai label negatif dari sisi kesehatan bahkan dilekatkan sebagai indikator kemiskinan. Merokok bagi masyarakat dijadikan sebagai sarana rekreatif yang paling dekat dan realistis.

Apalagi di tengah situasi ekonomi yang serba sulit ini, semua kebutuhan serba mahal akibat kenaikan BBM. Ditambah lagi, rokok akan terus dibuat lebih mahal harganya melalui rencana kenaikan cukai rokok 2023. Di dalam konteks ini, masyarakat yang lagi terhimpit begini masih saja diperah.

Baca Juga:  Gerbong Kereta Khusus Merokok adalah Hak

Ditambah lagi, masyarakat kerap pula dipertontonkan perilaku pejabat publik yang tidak mendidik. Bahkan, kalau kita telisik lebih dalam, sebagian besar kepala daerah di Indonesia lebih mendukung kepentingan gerakan antirokok.

Kampanye kesehatan yang seharusnya dilakukan dengan cara yang tepat, tanpa harus mendiskriminasi masyarakat atas pilihan merokok, yang mestinya dapat dijalankan dengan baik, melalui praktik-praktik yang inklusif. Pada akhirnya hanya berisi pameran intrik belaka, nuansa intrik antirokok ini dapat kita tilik dari pola-pola kampanye yang terkesan simpatik, dapat ditilik melalui kepentingan apa dan siapa yang bermain di balik gerakan antitembakau global.

Namun, jika ada kepala daerah yang hanya ingin mengangkat citra atau karirnya dengan mengamini kepentingan antirokok, bagi saya itu sudah melenceng dari marwahnya. Bukan apa-apa, gampangnya, kalau mau citranya naik dan mengena di hati masyarakat. Ia harus dapat terjun ke lapangan dengan turut memfasilitasi kebutuhan penting di masyarakat.

Dan perlu diingat, berhenti dari rokok itu bukan bagian dari kebutuhan urgensi di masyarakat. Ada yang lebih prioritas dari sekadar berhenti. Sebab berhenti atau terus merokok pun, akar persoalan kesejahteraan ada di pemerintah sebagai penentu arah kebijakan. Kuban ada di rokok. Itu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *