Press ESC to close

Kala Satpol PP Mendukung Industri Rokok

Industri rokok sering dipandang sebagai sumber cuan bagi siapapun. Ya bagi pemerintah maupun haters rokok. Rokok sebagai salah satu produk fast moving setiap waktu bernilai ekonomis, dari sisi pungutannya saja menguntungkan pemerintah. Tak ayal, jika sifat oksimoron manusia muncul dalam upaya mencapai tujuan pragmatisnya. Rokok dibenci rokok juga sumber pengharapan.

Berangkat dari analisa itu kita dapat menilik bagaimana sikap aparat pemerintah. Gampangnya begini, jika selama ini rokok disugestikan sebagai pembunuh nomor satu. Pemerintah mestinya mengambil sikap tegas dong. Ilegalkan peredaran rokok. Tutup semua pabriknya. Ketimbang melulu bermain dua muka atas perkara kebijakan cukai, yakni menanggung persoalan maraknya rokok ilegal.

Namun, keputusan itu akan dinilai fatal tentunya. Sebab, pemerintah sendiri menempatkan rokok dan industrinya sebagai sumber devisa andalan. Ratusan triliun tiap tahun masuk APBN, Bos. Industri mana lagi yang mampu sekonsisten itu sumbangsihnya buat negara.

Di titik inilah, kita akan menemukan sifat-sifat yang saya maksudkan di atas. Ya dibenci ya diharapkan juga rokok. Yakali industrinya langsung dimatikan, sebelum ada penggantinya, Mas. Semoga keliru belaka pikiran skeptik ini.

Melalui tulisan ini, kita akan mendapati secuil gambaran sikap mendua (oksimoron) pemerintah dan perangkatnya dalam memaknai rokok. Jika sebelumnya melulu pandangan apresiatif yang linear terhadap upaya pemerintah yang peduli dengan nasib industri. Namun kali ini saya ingin menyisipkan nalar kritis atas sikap mendua pemerintah.

Sebagaimana kita temukan di berbagai media, perihal fungsi Satpol PP sebagai satuan keamanan di level bawah, dimana kerap kali digunakan oleh pemerintah derah dalam konteks KTR (Kawasan Tanpa Rokok) difungsikan untuk menindak perokok yang melanggar, jika tak mau disebut mengebiri hak perokok. Lantaran, kita tahu, selama ini banyak penerapan KTR tidak inklusif atau bersetara dengan landasan hak masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.

Baca Juga:  Benarkah Kebiasaan Merokok Termasuk Gangguan Kejiwaan?

Penerapan Kawasan Tanpa Rokok dan upaya sosialisasi berikut penindakan selalu untuk menyingkirkan perokok dari ruang bersama. Padahal, amanat aturan di atas Perda KTR yakni UU Kesehatan N0.36/2009 mengisyaratkan asas penyediaan ruang merokok di KTR sebagaimana ketentuan yang berlaku. Namun, pada pratiknya, para perokok kerap tidak mendapatkan hak atas ruang, kerap kali kena framing sebagai pelanggar. Semakin tebal saja stigma terhadap rokok dan perokok.

Boleh jadi, tujuan dari agenda pengendalian tembakau sebagai asas KTR dihadirkan memang bukan untuk mengakomodir semua hak. Baik perokok maupun bukan perokok. Dari sekian kasus yang pernah diangkat media, para jajaran yang kerap menindak masyarakat ini hanya terjebak kuasa regulasi yang dikendalikan oleh politik pengendalian.

Sudah bukan lagi rahasia, kalau selama ini agenda pengendalian tembakau yang produk populernya disebut rokok, tengah dalam kendali kuasa regulasi kepentingan aktor global. Narasi kesehatan yang selama ini digunakan untuk mengontrol rokok, pada akhirnya lebih terlihat sebagai ‘alat pukul’ saja. Demikian pula instrumen cukai yang terus dimainkan sebagai penyelamat fiskal negara.

Regulasi adalah bagian dari instrumen perang terhadap produk tembakau yang disponsori para aktor global, yakni lembaga kesehatan dunia dan industri farmasi di baliknya, dimana pada ujung dari sisat pengendalian adalah penguasaan pasar. Sebab pasar (konsumen rokok) di Indonesia ya memang paling menggiurkan. Industrinya solid, konsumennya elastis, pemerintahnya juga mudah disetir. Itu jelas serba menguntungkan bagi politik gerakan antirokok.

Nah, di level pemerintah sebagai pihak tengah antara industri dan pasar. Lebih sering memainkan siasat muka dua, atau lebih populer disebut standar ganda. Kiri kanan oke. Dari industri dapat dari kepentingan yang ingin menyingkirkan rokok juga dapat.

Baca Juga:  Segudang Manfaat Rokok dalam Kehidupan Berbangsa dan Bermasyarakat

Tak heran jika kemudian, pola semacam ini terlihat juga dari sikap-sikap perangkat yang menghamba pada jalur instruksional. The power of ‘siap bos’. Kuasa hirarkis. Atasan sedang butuh pemasukan dari sektor strategis, maka bawahan juga harus mendukung. Btw, apalagi ini sudah dekat tahun politik 2024 ya. Ditambah isu resesi global juga sudah menguat ke dalam negeri kita.

Menengarai lagi peran Dinas Satpol PP dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang turut suportif untuk melakukan pendampingan dan penguatan (motivasi) terhadap pengusaha rokok yang akan berinvestasi kembali di Kota Pasuruan. Bukan hal yang ajaib memang.

Bukan suatu hal yang mengejutkan jika para perangkat pemerintahan ini memberi dukungan, mengingat lagi dasar perwatakan pemerintah dalam memaknai isu rokok; standar ganda. Industrinya kerap diibaratkan bagaikan ‘sapi perah’. Dipungut keuntungannya dari pajak & cukai yang mencapai 70 persen dari tiap bungkus rokok.

Tentu saja itu nilai pendapatan yang tidak kecil, baik bagi daerah maupun pusat. Maka balik ke kalimat paling awal. Industri berbasis komoditas tembakau ini memang sangat strategis. Selain pula kerap diobjektifikasi sebagai dagangan politik bagi para aktor tingkat atas. Pertanyaannya, mau sampai kapan sikap mendua itu dipelihara, sampai industri penggantinya eksis dan solid?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *