Press ESC to close

Kebijakan Tembakau Harus Bersih Dari Intervensi Asing

Desakan terkait Kebijakan tembakau kerap kali memicu beragam reaksi. Tak hanya dari stakeholder pertembakauan. Representasi dari institusi Kemenkumham pun turut angkat bicara menyoroti isu kebijakan yang berkaitan dengan rokok ini.

Rokok sebagai produk legal menjadi entitas yang paling banyak menanggung beban regulasi. Mulai dari soal tata niaganya, produksinya, sampai pada konsumennya pun demikian terikat. Mengonsumsi rokok tak lagi dipandang hal wajar layaknya kita mengonsumsi es krim.

Berbeda dari produk konsumsi lainnya, tembakau sebagai salah satu bahan baku rokok, pada era milenial ini dibingkai sebagai momok kesehatan global. Melalui terbitnya traktat global tentang pengendalian tembakau pada 21 Mei 2003 silam.

Regulasi yang dikeluarkan WHO itu menjadi lonceng kematian bagi industri rokok. Di konteks Indonesia, regulasi pengendalian tembakau telah menggerus keberadaan sektor kretek. Hukum internasional ini mengatur berbagai hal terkait produk tembakau di seluruh dunia atas dalih kesehatan publik global. Tembakau digadang-gadang sebagai sumber utama dari beberapa penyakit mematikan.

Namun, di balik agenda tersebut, industri farmasi dan industri rokok asing justru terus gencar berinvestasi di sektor produk berbasis nikotin, sebangun dengan yang dijelaskan dalam skema perang nikotin berdasar buku Nicotine War. Bermunculan produk-produk pengganti kebiasaan merokok, penetrasinya terpola dengan membuat standarisasi terhadap kadar nikotin dan terus mendiskreditkan rokok. Produk senyawa nikotin kemudian dipasarkan secara masif di negara-negara peserta FCTC.

Sementara, keberadaan industri rokok lokal terus ditekan oleh kebijakan yang eksesif. Mulai dari menaikkan tarif cukai rokok, kebijakan cukai ini, termasuk di dalamnya adalah strategi untuk mengubah struktur cukai dengan dalih simplifikasi. Tercatat sejak 2009, struktur cukai terdapat 19 layer, kini menjadi 5 layer. Antirokok terus mendorong simplifikasi hingga puncaknya menjadi single tariff.

Termasuk pula strategi membatasi promosi rokok, mengatur penjualan dan membatasi ruang bagi konsumen dalam mengonsumsi rokok. Di Indonesia, sebagian besar aturan tentang rokok mengadopsi skema FCTC, terlihat sejak munculnya PP 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Berkali-kali regulasi tentang rokok mengalami revisi, hingga diterbitkannya PP 109/2012 yang berinduk pada UU Kesehatan No.36/2009.

Baca Juga:  Puntung Rokok Jadi Formula Pembasmi Hama

Peraturan Pemerintah berbasis pengendalian itu sejatinya telah sangat ketat mengatur produk tembakau, bahkan terbilang melampaui induk hukumnya. Dampak dari agenda pengendalian ini demikian terasa pada kian menurunnya serapan bahan baku rokok. Juga dampaknya dirasakan langsung oleh pabrikan.

Aturan tentang rokok selama ini tak dapat dihindari oleh pabrikan, hingga semakin bertambahnya beban produksi serta aturan standarisasi. Ini kemudian berakibat pada penurunan jumlah pabrikan rokok, dimana pada tahun 2007 jumlahnya terdapat 4000-an pabrik kini menjadi tinggal ratusan pabrik saja.

Kenaikan tarif cukai yang terus terjadi tiap tahun, menjadi salah satu instrumen pengendalian yang telah berakibat pada menurunnya daya beli konsumen terhadap rokok legal. Di tengah kondisi yang serba menekan itu, peredaran rokok ilegal semakin marak di mana-mana terjadi. Ini imbas yang sangat kontraproduktif dan menunjukkan bukti kegagalan pemerintah memainkan isu pengendalian konsumsi.

Upaya gerakan antitembakau dalam menekan industri rokok dalam negeri terus saja berlangsung. Tiada henti berupaya memainkan manuver politik dengan menggunakan beberapa lembaga. Antirokok terus bersikeras mendorong pula agenda revisi kebijakan, salah satunya terkait PP 109 yang dinilai belum efektif.

Upaya ini terasa sejak tahun-tahun pemerintahan Jokowi berkuasa, antirokok menilai industri rokok masih dipandang leluasa dalam hal perdagangan rokok. Pada praktiknya, industri sudah taat asas dan konsisten. Namu, stigma negtaif terhadap rokok lewat berbagai narasi kerap saja ditebalkan, bahwa Industri Hasil Tembakau adalah pihak yang bertanggung jawab atas meningkatnya prevalensi perokok anak, dan seterusnya.

Sejak munculnya agenda revisi PP 109 ini, berbagai elemen pertembakauan terus mewaspadai dan memprotes segala dalih revisi PP yang didorong antirokok. Termasuk yang belakangan ini ditegaskan oleh Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Mengingat, aktivitas ekonomi rokok dan aktivitas konsumen mengonsumsi rokok adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang.

Baca Juga:  Tar Pada Rokok Dianggap Berbahaya, Kenapa?

Bahwa, negara memiliki kewenangan penuh dalam mengatur kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional dalam mengubah suatu kebijakan, pihak Kemenkumham menegaskan, bahwa selama ini di dalam kebijakan tentang rokok terdapat intervensi melalui tekanan atau keinginan asing, hal itu tidak boleh menjadi pertimbangan utama.

Hal tersebut kembali diperkuat olehnya terkait agenda revisi PP ini yang sarat dengan intervensi kepentingan asing. Pihaknya menjelaskan lagi bahwa ada tiga parameter dalam proses pembentukan peraturan. Pertama, masyarakat harus didengar semua masukannya, terutama mereka yang terdampak langsung dari kebijakan tersebut. Masukan masyarakat juga harus dipertimbangkan, apakah bisa diterima atau tidak. Yang terakhir ada hak (masyarakat) untuk menerima penjelasan.

Dari penjelasan itulah, pihak konsumen yakni perokok, dalam menyikapi wacana revisi yang didorong oleh para pihak yang mendaku peduli akan kesehatan masyarakat. Tentu saja harus dilibatkan dalam perumusannya, sebagaimana kita ketahui, perokok adalah pihak yang selama ini terdampak pula oleh berbagai regulasi tembakau.

Maka itu, terkait isu revisi PP 109/2012, ini tidak akan relevan dan akan terus menemui jalan buntu jika hanya mengakomodir kepentingan lain di luar kepentingan dalam negeri. Sebagaimana kita tahu juga, kepentingan asing dengan dalih pengendalian hanyalah isu politik dagang yang dibungkus dengan isu normatif kesehatan.

Artinya, desakan menyangkut aturan tentang rokok haruslah berpihak kepada sektor industri dalam negeri, berpihak pada target pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintah tidak harus membenarkan semua dalih yang dibangun ke dalam narasi kesehatan yang melatari isu revisi tersebut.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *