Search
erempuan di industri rokok

Perempuan di Industri Rokok Harus Dilindungi

Perempuan di industri rokok adalah pionir dalam sejarah budaya kretek. Narasi tentang Roro Mendut maupun Nasilah, merupakan bukti dari kepeloporan budaya ngudud di masyarakat. Seiring perkembangannya, kretek sebagai simbol budaya tak bisa dilepaskan dari peran perempuan.

Industri kretek sebagai sektor padat karya, sejak era kemunculannya telah diisi oleh tangan-tangan kreatif dari kaum Roro Mendut hingga hari ini. Para pekereja perempuan yang disebut sebagai pekerja SKT (Sigaret Kretek Tangan) ini, berperan aktif memberi sumbangsih bagi ekonomi keluarga juga negara.

Tak hanya di pabrik, pada budaya kretek kita bisa temukan di ladang-ladang tembakau para ibu turut ambil peran dalam upaya mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan semangat jihad untuk keluarga, para ibu melakukan kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan dan ketrampilan khusus. Demikian pula di hilir industri, banyak pekerja promosi maupun ritel yang bergantung dari roda ekonomi Industri Hasil tembakau (IHT).

Bicara soal bertani di ladang tembakau tidak hanya soal bercocok tanam. Ada serangkaian aktivitas hingga tembakau menjadi komuditas siap jual, dapat kita temukan di sentra-sentra penghasil tembakau dan cengkeh, aktivitas perempuan memetik dan menyiangi bahan baku kretek sepanjang waktu begitu lazim terjadi.

Selain membantu proses di ladang, peran ganda perempuan dalam perkara domestik turut pula menyita energi. Hal ini adalah secuil gambaran, bahwa perempuan memiliki etos hidup yang tak kalah vital dalam menjaga kelangsungan hidup keluarga serta memutar roda ekonomi negara.

Beban ekonomi yang terus meningkat, akibat pelbagai perubahan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, mulai dari kenaikan BBM yang berpengaruh terhadap harga kebutuhan sehari-hari. Ditambah cuaca yang tak menentu, sehingga hasil panen pun tak selalu menguntungkan. Di hilir industri, daya beli menurun, peredaran rokok ilegal meningkat.

Kondisi faktual itu senantiasa harus terus disiasati masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini, para ibu tak kalah peningnya dengan Menteri Keuangan yang juga seorang ibu. Dimana ia berperan mengatur siklus anggaran, arus penerimaan dan pengeluaran demi masa depan ekonomi yang lebih baik.

Namun, tiap kali wacana kenaikan tarif dihembuskan pemerintah, halnya terkait cukai rokok 2023, yang kemudian menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Maka, sudah seyogyanya Bu Sri Mulyani sebagai perumus kebijakan dan pengambil keputusan  lebih berempati pada kondisi yang dialami stakeholder IHT, jangan melulu menghamba pada agenda titipan luar.

Baca Juga:  Menghajar Perokok Lewat Hari Tanpa Tembakau Sedunia

Sebagaimana kita ketahui, setiap tahun kenaikan tarif cukai terus saja terjadi, yang disusul dengan kenaikan harga rokok serta beberapa harga bahan kebutuhan. Hal ini tentu berimbas pada stabilitas ekonomi kretek. Sementara, dari sisi penerimaan, pemerintah terus menjadikan sektor rokok sebagai sumber devisa andalan.

Naiknya tarif cukai rokok justru akan menambah beban produksi pabrikan, sehingga mau tak mau langkah efesiensi pun diambil pabrikan. Mulai dari pembatasan kuota produksi, pembelian bahan baku yang lebih murah, sampai pada pengurangan jumlah pekerja dan jam kerja.

Pada titik ini kemudian, wajar jika banyak pihak menilai kondisi ekonomi kretek ini perlu dibela. Penegasan akan keberpihkan terhadap kondisi IHT ini turut disampaikan oleh Sekjen Koalisi Perempuan. Penegasan yang dialamatkan kepada pemerintah itu menjadi satu bukti keberpihakan perempuan akan nasib sesama yang mengalami ketimpangan dalam mendapatkan haknya untuk sejahtera.

“Pekerja SKT adalah aktor utama dari keberhasilan industri, yang menentukan hasilnya bagus atau tidak,” Tutur Mike Verawati Tangka, dalam satu keterangan tertulis, Sabtu, 22 Oktober 2022 lalu.

Mike mengatakan, para pelinting SKT ini seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai perempuan pencari nafkah tambahan, tetapi pencari nafkah utama. Menurutnya, perempuan di industri rokok seharusnya dipandang secara setara karena kecakapan dan kapasitasnya.

Mike menilai pemerintah perlu terus memastikan agar implementasi kebijakan perlindungan sektor padat karya dapat berjalan dengan baik. Di dalam konteks ini, kita konsumen rokok juga dapat menyimpulkan bahwa kebijakan terkait cukai selama ini memberi dampak serius terhadap eksistensi industri dan nasib pekerjanya.

Ditinjau lagi oleh Mike, bahwa para pekerja di sektor SKT sempat mengalami situasi yang tidak baik saat pandemi, di antaranya mengalami pengurangan jam kerja dan bahkan pemberhentian kerja. Selama pandemi, pekerja perempuan yang dirumahkan atau yang tetap bekerja mengalami beban ganda karena kebijakan pembatasan fisik dan sosial.

Kita sebagai konsumen rokok, dapat menengarai latar mengapa Sekjen Koalisi Perempuan demikian tebal menyuarakan kepeduliannya. Mengingat lagi, di dalam persoalan industri rokok ini, pabrikan kerap pula dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keinginan konsumen untuk merokok.

Iklan rokok dituding sebagai penyebab meningkatnya prevalensi perempuan merokok. Ibarat kita ketagihan makan nasi digadang-gadang iklan beras penyebabnya, ujungnya malah petani padi yang diisalah-salahkan. Jelas ini logika yang ngawur sekali.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik, Aktivis Anti Rokok Sudah Siap Gulung Tikar?

Tidak sedikit memang, dari kalangan perempuan sendiri meniliai sesamanya yang merokok sebagai tindakan ‘bodoh’. Rokok dan konsumennya dituding sebagai penghambat agenda kesetaraan gender. Logika yang absurd, kalau tidak boleh disebut serampangan.

Golongan mereka yang nyinyir ini sebagian besar adalah konsumen yang termakan kampanye kesehatan. Kampanye yang kerap kali mendiskreditkan rokok sebagai biang kerok penyakit. Padahal, jika bicara soal gangguan kesehatan masih ada sekian faktor lain yang perlu ditilik lanjut. Padahal jika diajak berpikira balik, bahwa tak ada produk konsumsi yang tak berisiko. Mestinya mereka dapat menilai lebih proporsional.

Untuk itu, sebagai perokok, saya menilai keberpihakan Koalisi Perempuan atas nasib sesamanya yang bekerja di industri rokok, setidaknya dapat menjadi penguat semangat sekaligus menjadi prespektif yang patut diperhatikan oleh kalangan lain yang termakan kampanye kesehatan versi antirokok.

Bahwa semestinya, sebelum jauh mendiskreditkan industri, yang hanya mengandalkan data-data berbasis kepentingan antirokok. Harus ada upaya lebih cermat lagi dalam menilai, jika keberadaan konsumen rokok terus dilabeli negatif atas produk yang dikonsumsinya. Hal itu dapat berakibat pada daya beli. Penurunan daya beli tentu berakibat ke pendapatan pabrikan dan ekonomi bagi pekerja serta ekonomi negara.

Untuk itu, kebijakan cukai yang dikeluarkan pemerintah dengan dalil kesehatan dan pengendalian, mestinya harus dapat diambil sisi obyektifnya, yakni dengan berempati pada kondisi ekonomi industri. Di konteks ini, yang perlu diingat adalah nasib para pekerja yang bergantung hidup dari sektor kretek. Industri tanpa pekerja tentu tidak akan berjalan baik ekonomi. Begitupun sebaliknya.

Maka, terkait kenaikan tarif cukai rokok 2023 seharusnya pemerintah jangan lagi membebani industri yang kian hari kian tergerus dan tak tentu nasibnya. Masyarakat bukan tidak paham bahwa pemerintah membutuhkan pemasukan dari rokok sebagai sektor andalan, namun kondisi sekarang ini perlu lebih peka terhadap nasib rakyatnya juga. Maka, jikapun ada kenaikan tarif, naikkan sekecil-kecilnya, bijak lagi jika tak perlu naik. Itu sudah.