Gencarnya aparat dalam upaya menekan kerugian negara terus mengemuka. Razia rokok ilegal di berbagai daerah kerap tersiar di media, ini menjadi indikator dari upaya tersebut. Di sisi ini, masyarakat seperti disuguhkan bukti, bahwa pemerintah cukup serius dalam memerangi produk tembakau yang selama ini dikendalikan peredarannya melalui cukai.
Cukai rokok sebagai instrumen fiskal yang memberi devisa bagi negara semakin tampak bagai pedang bermata dua. Satu sisi menguntungkan sebagai pemasukan, namun di sisi lain memberi efek sebaliknya. Maka, dalam hal ini kinerja pemerintah benar-benar dituntut ekstra.
Di berbagai media, pemberitaan terkait jumlah penindakan rokok ilegal telah menampakkan angka yang tidak kecil. Mulai dari yang tersita ratusan ribu batang, hingga jutaan batang di Pulau Jawa, di daerah lain pun terjadi. Di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, upaya bea cukai dengan mengusung jargon Gempur Rokok Ilegal begitu gencar dilakukan.
Pada pemberitaan lainnya, agenda pemusnahan Barang Hasil Penindakan (BHP) pula dilaksanakan aparat. Informasi-informasi terkait penindakan rokok tak bercukai ini seperti saling berestafet mengabarkan suatu keberhasilan tersendiri bagi pemerintah.
Kalau kita tanya ke semua perokok terkait upaya aparat tersebut, belum tentu semua mau ambil peduli. Karena ada hal yang lebih penting menjadi perhatian masyarakat. Anggapan bahwa penindakan itu hanyalah bentuk pencitraan belaka, untuk sekadar melaporkan kinerja pemerintah, itu yang nyaris lazim terdengar.
Namun, terkait persoalan maraknya rokok non cukai di pasaran ini yang tengah digempur secara masif,an, masyarakat semua paham dari mana akar masalahnya. Yap. Sekali lagi ini semua hulunya bersumber dari kebijakan cukai.
Bahkan, masyarakat dapat menilai bahwa itu menjadi bukti atas kegagalan pemerintah dalam menyusun strategi pengendalian konsumsi. Kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif dari tahun ke tahun, adalah pemicu utama atas mencuatnya potensi kerugian negara atas peredaran rokok ilegal.
Produk ilegal itu sudah bukan lagi barang yang sulit diakses konsumen, di manapun daerah pasti ada. Jika dulu peredarannya lebih sering kita temukan di pelosok-pelosok. Kini semakin mudah saja ditemukan.
Di perkotaan, apalagi di desa-desa, mengonsumsi rokok tanpa pungutan itu semakin lazim saja. Bahkan, rokok ilegal sudah bisa kita dapati juga di jantung-jantung perekenomian negeri ini. Meski dijual secara tersembunyi, faktanya, pasarnya telah diafirmasi secara otomatis melalui data angka penindakan.
Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit akibat badai pandemi yang lalu, ditambah lagi dengan melonjaknya harga bahan pokok akibat naiknya tarif BBM. Di sisi lain, imbas resesi global yang tengah menjangkiti negara-negara dunia pertama yang turut beresonansi ke negara-negara berkembang.
Masayarakat perokok saat ini, meski tahu bahwa cukai rokok juga dijadikan cara untuk membantu penerimaan negara. Walhasil, strategi pengendalian dengan menaikkan tarif cukai rokok, hanya dipandang sebagai upaya pengemplangan. Cara untuk memerah industri rokok agar semakin tinggi meyetor duit ke negara.
Tilik saja, terhitung dari 2015-2020 di era pemerintahan Jokowi, yang dalam konteks ini Sri Mulyani sebagai pemegang kebijakan sekaligus marketing Bank Dunia, sudah menaikkan cukai hingga 63,49%. Ini jelas angka yang sangat tinggi.
Lebih lanjut data rincinya pada 2015 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 8,72%, pada tahun selanjutnya kenaikan menjadi di atas 10%. Yakni pada tahun 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54%, dan 10,4%. Tiga tahun tersebut, total kenaikan cukai rokok sebesar 40,49%.
Kemudian tahun 2019 yang disebut-sebut sebagai tahun politik, tidak ada kenaikan cukai rokok, sebab ada kepentingan besar politik di situ. Bukti bahwa kenaikan cukai rokok tidak efektif dalam menekan prevalensi merokok, telah ditunjukan melalui data yang dihimpun DataIndonesia.id.
Jelas data ini menunjukkan bahwa kenaikan cukai benar-benar dapat ditekan pada tahun 2019. Pada tahun ini, atau pada 2018 pemerintah tidak mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok.
Angka rokok ilegal hanya mencapai 3%. Namun pada 2020, dimana kenaikan tarif cukai rokok seperti seperti rindu dendam harus dibayar tuntas, rokok ilegal kembali melonjak. Pemerintah kerap berdalih sama, bahwa kenaikan tarif cukai rokok dapat menekan angka konsumsi orang merokok di Indonesia.
Padahal itu adalah strategi yang salah. Sekali lagi salah. Sudah tidak dapat menekan prevalensi, ditambah pula peredaran rokok ilegal yang merugikan negara, ini malah makin menjadi-jadi. Data ini diperkuat lagi dari jumlah Barang Hasil Penindakan sejak 2013-2020.
Kemenkeu mencatat ada 384,51 juta batang rokok ilegal alias Barang Hasil Penindakan (BHP) yang ditindak hingga November 2020. Sejak 2013, jumlah BHP terus meningkat.
Pada 2013 lalu, jumlah BHP yang tercatat ada 76,69 juta batang. Kemudian pada 2016 melonjak menjadi 269,5 juta batang. Lalu pada 2017, 2018, 2019, masing-masing jumlahnya menjadi 335,13 juta batang, 364,98 juta batang, dan 361,26 juta batang.
Padahal sederhananya jika memang bertujuan untuk menekan prevalensi merokok, khususnya pada anak di bawah umur. Indonesia telah memiliki perangkat kebijakan yang ketat melalui PP 109/2012, bahkan terbilang eksesif untuk mengatur tata niaga rokok di Indonesia.
Anehnya, dari sekian poin-poin kebijakan itu yakni PP 109, yang dilaksanakan secara jitu hanya beberapa poin saja, terutama soal kenaikan cukai rokok. Di lain sisi, pemerintah juga masih terkesan mengekor pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga-lembaga negara lain.
Padahal ya, kita ini punya kekayan kretek yang potensinya luara biasa memperkuat kemandirian ekonomi, memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Ini kok malah mengekor agenda (pengendalian tembakau) asing yang punya kekayaan berbeda.
Praktisya, jika pemerintah memang berpihak pada sektor strategis kretek. Seharusnya, kekayaan yang sudah ini ya tinggal dikelola dan dijaga dengan baik, termasuk dengan tidak membuat kebijakan cukai yang berdampak pada pelemahan industri. Sebab kenaikan cukai rokok setiap tahun, itu telah menjadi beban yang menyesakkan pabrikan serta membuat turunnya daya beli konsumen ke produk legal rokok.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply