Press ESC to close

Betapa Bergantungnya Negara Ini Pada Cukai Hasil Tembakau

Lagi dan lagi, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa tarif Cukai Hasil Tembakau resmi dinaikkan lagi. Kali ini tak tanggung-tanggung, kenaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau langsung diumumkan untuk dua tahun ke depan yakni tahun 2023 dan 2024 sebesar 10 persen. Luar biasa.

Belum lama pemerintah menaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) hampir di semua kategori. Pertamax bahkan sempat mengalami kenaikan dua kali dalam jangka waktu yang singkat. Wacana kenaikkan tarif dasar ojek online (ojol) juga jadi kontroversi. Belum lagi harga-harga bahan pokok yang terdampak dari membengkaknya biaya distribusi logistik akibat kenaikan tarif BBM. Kini cukai rokok yang jadi pesakitan.

Sebagai informasi, Cukai Hasil Tembakau adalah salah satu sumber pemasukan negara yang besar. Angkanya adalah yang terbesar dari sektor cukai di APBN. Karena besaran pungutan dari sektor pertembakauan yang tidak main-main, cukai rokok memiliki peran penting dan strategis dalam pembiayaan program pembangunan di Indonesia.

Setiap tahunnya, penerimaan cukai rokok selalu meningkat. Sejak tahun 2013, penerimaan cukai selalu berada di atas Rp 100 triliun. Berturut-turut: Rp 103,6 triliun pada tahun 2013; Rp 112,5 triliun pada tahun 2014; Rp 139,6 triliun pada tahun 2015; Rp 141,7 triliun pada tahun 2016; dan Rp 149,9 triliun pada tahun 2017. Pada tahun 2018, sebanyak 8,92 persen dari penerimaan negara disumbang oleh pemasukan dari pungutan cukai rokok.

Baca Juga:  Menolak Narasi Rokok Gerbang Menuju Narkoba

Dalam perkara cukai, kebijakan kerap dibuat dengan tujuan mendapatkan dana segar untuk menjalankan negara–selain untuk kepentingan rezim kesehatan, yakni mengendalikan konsumsi tembakau. Memang ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk daerah penghasil cukai. Sudah diatur pula bagaimana cara mengalokasikan DBHCHT tersebut. Tapi pelaksanaannya di daerah tidak berjalan dengan baik.

DBHCHT sering kali tidak tepat sasaran. Sudah sejak lama sebenarnya politik anggaran di pusat dan daerah membuat tujuan dan keberadaan DBHCHT menyimpang dari manfaat dan peruntukannya. Bahkan, antirokok pun mengincar dana ini. Iya, antirokok mengincar dana segar dari industri rokok.

Sekali lagi, penyusunan kebijakan hasil tembakau cenderung mempertimbangkan aspek-aspek yang nyaris tidak menyentuh stakeholder pertembakauan, yaitu pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, dan pemberantasan rokok ilegal. Bahkan regulasi terbaru mengamanatkan alokasi minimal 50 persen dari cukai hasil tembakau untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sistem fiskal dengan orientasi semacam ini jelas tidak sehat. Apa yang dihasilkan oleh petani dan kalangan industri tidak dikembalikan untuk membangun pertanian dan industri itu sendiri. Uang-uang itu habis untuk membiayai hal-hal yang hampir tidak ada kaitannya dengan kemajuan produksi dan produktivitas nasional.

Baca Juga:  Industri Kretek Kritis, Jangan Buat Kebijakan Sembarangan

Ini jelas sistem fiskal yang tidak adil. Padahal jika pendapatan negara dalam bentuk cukai hasil tembakau dikembalikan kepada petani dan pembangunan infrastruktur industri, maka dapat dipastikan pertanian yang merupakan fondasi dari ekonomi dan industri yang merupakan tulang punggung ekonomi akan menjadi kekuatan yang mandiri.

Siapa bisa menyangsikan betapa bergantungnya negara ini pada industri yang memproduksi rokok? Terus diperas tahun demi tahun. Setelah itu semua, akan muncul narasi bahwa negara ingin menyelamatkan rakyatnya dari bahaya rokok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *