Search

Ekspor Rokok Indonesia, Meski Turun Angkanya Tetap Optimis

Industri Hasil Tembakau (IHT) terus nestapa dihimpit regulasi, meski data ekspor rokok Indonesia, tetap optimis angka pemasukannya. Mencapai S$855,43 miliar dengan volume 91.634 ton pada 2021. Walaupun angka ini menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar US$864,41 miliar dengan volume US$93.915 ton.

Indonesia dengan keragaman produk tembakaunya, di antaranya ada kretek, klobot, tembakau iris, cerutek. Kesemua produk yang berasal dari sektor pertanian ‘emas hijau’ yang tersebar di Pulau Jawa ini memberi pemasukan tidak kecil setiap tahunnya.

Untuk tahun 2022 ini Penerimaan cukai hasil tembakau sepanjang Januari-September 2022 mencapai Rp153,05 triliun.  Pemerintah melalui Menteri keuangan menargetkan penerimaan cukai rokok tahun ini sebesar Rp193 triliun. Angka ini setara 10 persen penerimaan negara sepanjang tahun depan.

Sementara, merujuk pada keuputusan kenaikan tarif cukai rokok yang disampaikan Sri Mulyani untuk 2023 sekligus 2024. Angka kenaikannya sebesar 10 persen. Pemerintah menargetkan pendapatan cukai pada 2023 sebesar Rp 245,45 triliun. Target ini naik 11,6% dibandingkan yang ditetapkan dalam Perpres 98/2022.

Ditilik dari indeks kenaikan tarif CHT kurun tiga tahun terakhir, angkanya terus meningkat dan memberi pendapatan yang mampu menyelamatkan kondisi fiskal negara. Dapat kita tengarai, produk tembakau yang selama ini di bawah kuasa skema pengendalian, setiap tahun tetap cuan untuk menambal persoalan JKN dan kesejahteraan masyarakat.

Dapat kita lihat melalui penjelasan Sri Mulyani pada tahun lalu, selama ini rokok dan perokok dicap sebagai beban bagi keuangan negara. Menteri Keuangan mencatat, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Bah.

Baca Juga:  Ketika Kopi Ikut Dimusuhi Anti Rokok

Isu repetitif kesehatan terus saja mendiskreditkan rokok, melulu rokok diklaim sebagai biang kerok kesehatan. Sedangkan, jika ditilik dari sisi faktor konsumsi, yap pola hidup intinya. Ada berbagai variabel lain sebetulnya yang patut dikaitkan dengan masalah kesehatan.

Namun, isu kesehatan sebagai tameng pengendalian konsumsi rokok dipandang sebagai cara efektif oleh pemerintah. Dimana ujungnya tak lain memeras industri rokok. Pada gilirannya akan menyingkirkan dominasi IHT dalam negeri.

Pemerintah terus memelihara ambivalensi terhadap produk tembakau. Iya sayang karena nilai ekonominya yang terus menjanjikan. Apalagi, investasi berbasis produk senyawa nikotin yang dimainkan antirokok turut pula memberi proyeksi sumber ekonomi dari pengganti rokok. Nah tuh.

Inilah fakta problematik yang dihadapi masyarakat, bahwa pemerintah sejatinya tidak sedang bersungguh mengangkat derajat kesehatan masyarakat. Jika memang bersungguh, pastinya terjadi pembenahan yang prinsipil. Mulai dari pembenahan sistem BPJS, pemerataan gizi, akses untuk masyarakat mendapatkan layanan yang inklusif.

Tetapi, selama ini pemerintah tidak menyasar searah perbaikan sistem. Melainkan, sibuk menjadikan rokok sebagai bantalan. Dijadikan kambing hitam untuk mendulang dua kepentingan, satu penerimaan, kedua, target pengendalian yang terus ditekan oleh kepentingan (investasi) global.

Baca Juga:  Konsumsi Rokok Meningkat di Masa Pandemi

Jadi, jika memang benar tembakau adalah musuh bagi kesehatan, seharusnya sejak dulu saja produk tembakau dilarang beredar. Faktanya tidak. Melalui sektor tembakau ini pemerintah memanfaatkan pula Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk keperluan pembangunan. Bahkan, pada beberapa kasus, terjadi beberapa bentuk penyimpangan dalam praktik penggunaan DBHCHT.

Berdasar data penerimaan ekspor yang angkanya cukup fantastis tiap tahun, ditambah dengan pemasukan pasar rokok di dalam negeri, kelangsungan pembangunan di Indonesia terselamatkan oleh sektor tembakau.

Brengseknya, atas penerimaan yang begitu besar ini, pemerintah tidak bersunguh-sungguh memberi perlindungan terhadap sumber penghidupan masyarakat dari tembakau. Jika kita tilik lebih lanjut soal ekspor tembakau, banyak daerah di Indonesia yang bertumpu terhadap penjualan tembakau skala besar ke luar negeri. Bojonegoro salah satunya.

Perlu diketahui lagi, sebagian besar permintaan ekspor tembakau ini masuk ke pasar-pasar negara tetangga. Katakanlah negara Asean. Ini membuktikan, bahwa tembakau Indonesia, termasuk produk olahannya telah diakui telah mengisi kekurangan yang tidak dimiliki oleh negara-negara tetangga. Di titik inilah, kita sebagai konsumen produk tembakau patut berbangga.