Search
Toko Wiwoho Jogja

Harga Rokok Naik Sebelum Cukai Baru Berlaku

Harga rokok naik pasca pengumuman kenaikan cukai 2023 dan 2024 telah menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Pasalnya, PMK belum dikeluarkan, cukai yang baru juga belum resmi berlaku, ini di beberapa minimarket harga rokok sudah naik.

Kondisi ini  tentu saja memberi efek psikis di masyarakat. Mengingat harga rokok yang naik secara gradual atas cukai 2022 saja sudah cukup mengejutkan. Ditambah munculnya fenomena pedagang maupun ritel yang menaikkan harga rokok sebelum waktunya.

Konsumen dibuat tak habis pikir dengan fenomena yang berulang dari tahun ke tahun ini. Tahun 2022 saja belum tuntas, harga baru kok sudah berlaku. Ini satu bukti dari salah urus pemerintah atas persoalan ekonomi di masyarakat.

Seperti yang juga kita tahu, pengumuman kenaikan tarif cukai untuk tahun depan, biasanya disampaikan sebelum tutup tahun. Seperti yang minggu lalu diumumkan. Sebagai isyarat alias aba-aba kepada industri. Sedangkan, di pasaran masih beredar rokok berpita cukai 2022 yang harganya sesuai dengan kenaikan harga untuk 2022, rata-rata di angka 12%.

Jika pada tahun lalu harga sebungkus Djarum Super di kisaran Rp19.000, kemudian di tahun 2022 merangkak naik mencapai Rp 22.000, tentu masih  masuk akal secara hitung-hitungan.

Tetapi berdasar hasil temuan media, ada warung yang sudah menaikkan harga rokok berkisar Rp 500-1.500 dari sebungkus rokok. Rokok Gudang Garam misalnya, dari harga Rp 22.500 sudah dijual seharga Rp 23.000, begitu juga dengan harga Marlboro juga naik menjadi Rp 38.000 per bungkus dari Rp 36.500.

Kenaikan tarif cukai yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 3 Mei yang lalu, ternyata telah mendorong reaksi beberapa ritel rokok menjual rokoknya dengan harga yang naik tipis. Mungkin bagi sebagian masyarakat itu hal wajar, naiknya tipis ini.

Baca Juga:  Meniadakan Industri Tembakau

Tetapi jika ditilik berdasar ketentuannya, berlakunya harga rokok untuk 2023 baru akan dilaksanakan setelah menginjak tahun 2023. Bisa jadi, memang ada pedagang yang tidak terliterasi dengan baik soal kaidah kenaikan tarif cukai, atau memang sebetulnya banyak yang paham tapi berusaha memanfaatkan kondisi psikis konsumen.

Umumnya masyarakat kita, terutama perokok, tidak pernah mau ambil pusing soal fenomena di pasaran pasca pengumuman kenaikan cukai. Bahkan, mungkin sebagian besar perokok tahunya ya kalau sudah diumumkan naik, otomatis harga rokok langsung naik juga. Padahal tidak begitu.

Perlu diketahui, rokok yang masih beredar pada periode bulan ini sampai bulan Desember nanti, sejatinya adalah rokok produksi di bulan sebelumnya. Dengan pita cukai 2022, dan biasanya masih beredar rokok yang diproduksi pada kwartal 3, kisaran Oktober dan November yang masih akan beredar sampai awal tahun depan.

Itulah kenapa, setiap rokok memiliki masa freshness diukur berdasar bulan produksinya. Umumnya berkisar 3 bulan. Untuk mengetahuinya bisa dilihat dari angka yang tercetak di bagian belakang bungkus rokok.

Di tengah lesunya daya beli, tak ayal itupun berpengaruh terhadap stok rokok yang masih beredar di pasaran. Tak heran, ada rokok-rokok yang sudah lewat periode freshness-nya belum juga terjual dan masih terdisplay di etalase ritel. Soal rasa memang tidak berubah. Namun, jika harganya sudah naik meski itu tipis, jelas ini tidak fair. Dalam konteks ini bisa menimbulkan kekacauan.

Bahkan, pada beberapa kasus dapat menimbulkan percekcokan kecil antara konsumen dan pedagang. Atau setidaknya menimbulkan tudingan kurang sedap dari konsumen yang dalam kondisi tidak siap.

Artinya, ketika konsumen tidak siap secara keuangan, katakanlah sudah membawa uang pas, di luar perkiraan kok harganya sudah naik. Sementara, tahun belum berganti yang artinya sang konsumen paham bahwa cukai rokok baru dan harga baru semestinya berlaku di tahun depan. Ini dapat menimbulkan preseden buruk bagi psikologi konsumen.

Baca Juga:  Pedagang Tembakau di Temanggung Juga Jadi Sasaran Vaksinasi

Di dalam konteks ini, ada yang pemerintah tidak pahami atau mungkin enggan peduli, bahwa ada variabel sosiologis yang harusnya dipertimbang untuk tidak menimbulkan kekacauan harga. Pemerintah mesti bertanggung jawab atas kondisi yang disebabkan oleh regulasi yang mereka keluarkan.

Sebagaimana kita ketahui, banyak pelaku usaha tengah beranjak untuk pulih dari hantaman badai pandemi. Begitupun warung kecil yang selama PPKM diberlakukan pada tahun lalu, telah berakibat pada merosotnya pendapatan mereka.

Lalu di masa pemulihan ekonomi tahun ini, pemerintah telah menaikkan harga BBM yang mengerek inflasi pada sekian harga kebutuhan pokok. Biaya produksi bagi para pelaku usaha bertambah, biaya hidup yang harus dikeluarkan seturut itu pula. Ini tentu memberi beban ekonomi di masyarakat.

Tak ayal, jika kemudian ada sejumlah pedagang yang berusaha mencari keuntungan lebih di kondisi yang serba sulit ini, semacam jurus aji mumpung. Salah satu contoh perkara harga rokok yang walaupun naik tipis, tetapi ini sangat tidak relevan dengan yang seharusnya diterima konsumen.

Dan sudah barang tentu, kekacauan harga ini kontraproduktif dengan tugas pemerintah dalam upaya menciptakan iklim ekonomi yang sehat. Atau jangan-jangan, memang kondisi semacam inilah yang memang diinginkan atas produk yang kerap dicap negatif(?)