Search

Kena Denda Rp 7,5 Juta Sembarangan Merokok di Kota Yogyakarta?

Merokok di Kota Yogyakarta secara sembarangan bakal dikenai sanksi denda Rp 7,5 Juta. Bahkan kabarnya, tak hanya sanksi denda. Bagi perokok yang melanggar di Kawasan Tanpa Rokok, Malioboro salah satunya, kedepan bakal dikenai kurungan juga.

Dengan adanya sanksi semacam itu, ini artinya aktivitas mengisap rokok tak ubahnya melakukan perbuatan kriminal. Sedangkan, rokok sejauh ini adalah produk legal yang bisa diakses di mana saja. Katakanlah di kawasan Malioboro, ada sejumlah ritel yang juga menjual rokok. Tetapi, perokok terlarang untuk mengonsumsinya di kawasan yang tergolong KTR.

Perokok jika mau mengosumsi rokok mau tak mau harus cari area yang disediakan, yakni area merokok. Sialnya, keberadaan area merokok itu tak semudah mengakses warung makan atau angkringan.

Biasanya yang pula terjadi, penyediaan smoking area itu posisinya terpencil dan kurang terawat. Seperti dibuat seadanya saja. Tidak ada tanda arah yang mendukung perokok untuk mengarah ke lokasi merokok yang disediakan Pemkot.

Ini opini saya sebagai perokok yang sering berkunjung ke kota Istimewa, namun kini nilai istimewa dari kota yang menjunjung marwah luhungnya budaya Jawa ini menjadi tak lagi seelok dulu. Terlebih sejak isu rokok menjadi perhatian pemerintah kota Yogya.

Di banyak titik di Malioboro, kita akan menemukan bentangan tanda penegas KTR. Spanduk-spanduk yang memampang informasi bahwa kawasan Malioboro sebagai area terlarang untuk merokok, termasuk keterangan tentang sanksi denda/kurungan tercantum di dalamnya.

Sejak tahun lalu wacana untuk membuat jera pelanggar KTR sudah diagungkan, salah satunya wacana untuk memajang foto pelanggar. Tindakan mempermalukan warga yang secara konstitusi hukum dijamin haknya, hal ini seakan-akan diabaikan oleh Pemkot Yogya.

Pada jelang akhir tahun ini, wacana yang mendiskreditkan perokok kembali mencuat. Kabarnya, dalam waktu dekat ini akan dikeluarkan aturan Perwali, diinisiasikan sebagai Peta Jalan Penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok.

Baca Juga:  Ketika Dana Cukai Diselewengkan Oleh Pemerintah

Peraturan walikota yang akan diterbitkan tersebut merupakan turunan dari produk hukum berupa Perda  No.2/2017 tentang KTR menetapkan area bebas rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, sarana pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum atau tempat wisata, termasuk di Malioboro.

Upaya untuk menyingkirkan perokok dari ruabg bersama di Yogya, akan lebih dintesifkan dengan adanya penilaian mandiri terhadap wilayah-wilayah RW yang sudah berkomitmen dalam penegakan KTR. Ada sebanyak 272 RW yang sudah mendeklarasikan sebagai wilayah bebas rokok.

Di dalam konteks ini, gerakan antirokok yang bermain menggunakan tameng isu kesehatan telah meningkatkan gerakannya untuk dalam memposisikan perokok layaknya ‘hama’ yang harus disingkirkan. Sementara, secara aturan yang berlaku, aktivitas merokok juga dilindungi Undang-undang.

Ada amanat konstitusi yang harusnya dikedepankan menyangkut keharusan menyediakan ruang merokok. Asas ini ada untuk memberi rasa keadilan terhadap semua golongan masyarakat, baik yang perokok maupun bukan perokok, hal ini sudah diatur secara jelas melalui regulasi.

Namun, pada praktiknya, upaya antirokok dalam mendiskreditkan perokok semakin masif dan menekan saja. Tidak pernah ada upaya Pemkot untuk mengevaluasi, bahwa penyediaan ruang merokok harus menjadi priorotas penting. Bukan ruang yang sekadar diada-adakan dan dijadi-jadikan saja. Perlu ada rumusan bersama, antar para pemangku kepentingan. Iya dalam hal ini masyarakat perokok pun perlu diajak rembug.

Hal ini pe nting dilakukan tentunya, agar tidak semakin menimbulkan bias negatif di masyarakat dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Jika memang, pemerintah masih mengedepankan asas keadilan bagi semua lapisan masyarakat.

Artinya, pemerintah daerah maupun pemerintah kota mesti lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat. Jangan hanya demi mengejar target citra tertentu saja, misalnya hanya demi mendapatkan gelar kota bebas rokok, lantas mengabaikan makna kota ‘berhati nyaman’. Nyaman bagi semua golongan seharusnya.

Baca Juga:  Negara Ingin Inflasi Tidak Meningkat? Jangan Naikkan Cukai Rokok!

Sebagaimana kita ketahui, agenda antirokok terusyang  bergulir dengan beberapa tahapan yang bertolak dari skema pengendalian tembakau. Mulai dari mendorong munculnya kebijakan yang membuat semakin sulit masyarakat mengakses rokok, termasuk di dalamnya upaya mendiskriminasi konsumen rokok dari ruang bersama.

Sudah bukan lagi rahasia, bahwa agenda pengendalian yang selama ini digaungkan melalui kampanye kesehatan, di baliknya terdapat kepentingan tertentu yang ingin memonopoli pasar. Sejurus itu, kita dapat menengarai juga, ada sejumlah kota yang sangat galak menekan perokok.

Para kepala daerah  tersebut memiliki kepentingan politik tertentu yang tak sejalan dengan semangat Nawa Cita, terkait kemandirian ekonomi bangsa. Para kepala daerah yang antirokok ini memiliki komitmen terhadao penyokong dana kampanye anti tembakau. Selalu ditargetkan untuk membuat kotanya bebas dari rokok, produk yang didesain sebagai musuh bersama oleh global.

Boleh jadi, ada desakan politis terhadap Pemerintah Kota Yogya yang menjelang akhir tahun ini demikian getol mendorong isu rokok dan KTR, bahkan menargetkan roadmap KTR untuk 2022—2027 untuk lebih optimal. Bagaimana tidak, masyarakat pun sudah mencurigai sejak jauh hari kalau di balik isu rokok dan KTR ini tak lain hanyalah isu politik kepentingan dari pendonor gerakan antitembakau di Indonesia.