Search
Iklan Rokok Di Internet

Menyoal Iklan Rokok di Internet

Larangan iklan rokok di internet kini mulai terdengar lagi. Sumbernya adalah sekelompok orang yang mengatasnamakan kepentingan kesehatan masyarakat, atau kepentingan anak, atau sebagainya. Iya, mereka adalah kelompok antirokok. Bagi mereka, iklan rokok di internet adalah suatu yang perlu diregulasi pelarangannya.

Melarang munculnya iklan rokok di internet dengan argumentasi perlindungan terhadap anak itu rasanya jauh panggang dari api. Iya, memang jaman sekarang anak pun sudah banyak yang mengakses internet. Tapi, kenapa iklan rokok yang jadi konsen mereka? Di samudera digital luas bernama internet, berbagai hal bisa ditemui. Video porno yang jelas-jelas sudah diblokir di jaringan internet Indonesia saja masih bisa diakses. Apalagi sekadar iklan produk.

Sebuah kelompok antirokok tengah mewacanakan dan mendorong pemerintah agar segera menerbitkan aturan larangan iklan rokok melalui internet.

“Demi hukum dan demi kepentingan terbaik bagi anak,” kata mereka.

Dalam argumentasi mereka mendorong pengesahan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Sebuah gerakan yang selama ini memang gencar dilakukan oleh kelompok antirokok. Maka sah rasanya jika mengkategorikan mereka ke dalam kelompok antirokok.

Begini. Ada banyak konten buruk di internet, dan tidak bisa dipungkiri bahwa anak menjadi elemen yang terancam oleh konten-konten buruk tersebut. Dalam konteks melindungi, rasanya pengawasan pada anak adalah instrumen yang paling penting, dan orang tua adalah pihak yang memainkan peran utama. Bukan dengan menyalahkan benda mati seperti rokok–atau bahkan iklan rokok di internet.

Sebagai informasi, terkait dengan kriteria konten dan pembatasan jam tayang di negara kita ini sudah diatur. Tidak ada iklan rokok yang tayang di televisi pada jam menonton anak, begitu ketentuannya. Perda KTR juga telah diberlakukan di berbagai daerah di Indonesia dengan ketentuan soal pembatasan reklame luar ruang; tidak ada papan reklame rokok di kawasan ramah anak termasuk sekolah. Bahkan, beberapa daerah menjadikan sanksi pidana sebagai ancaman bagi pelanggar.

Baca Juga:  Seniman Asal Jepang ini Mampu Menyulap Abu Rokok Menjadi Karya Bernilai Tinggi

Lalu, setelah itu semua, iklan rokok di internet juga mau dilarang? Apa kini rokok diposisikan sejajar dan selevel dengan narkoba? Rokok kan barang legal. Peredarannya pun diregulasi oleh negara. Bahkan, setiap tahun negara turut menerima manfaat materil yang besar dari rokok–juga iklan rokok. Kenapa yang diwacanakan justru melarang?

Kalau mau ditilik lebih dalam sekalipun, rasanya tidak ada korelasi langsung antara iklan dengan keinginan seseorang untuk merokok. Iklan rokok itu sekadar ajang pengenalan pada brand, bukan pada kegiatan merokoknya. Lingkungan adalah faktor yang paling mempengaruhi perilaku merokok seseorang. Misal, seorang anak yang menjadi perokok karena penasaran akibat sering melihat ayahnya merokok, atau bahkan disuruh membeli rokok ke warung.

Coba tanya diri kita masing-masing, lalu jawab dengan jujur, kira-kira, jika seorang non perokok melihat gambar Djarum Super di internet (hanya logo DJARUM SUPER, tanpa menampilkan wujud produknya apalagi adegan merokok), apakah akan secara otomatis muncul dorongan untuk merokok?

Adapun tujuan setiap brand melakukan iklan adalah hal biasa dalam mekanisme persaingan usaha. Mereka berlomba-lomba agar produknya lebih dikenal dan dipilih dibanding produk sejenis yang jadi pesaing. Artinya, yang menjadi target adalah orang-orang yang sudah menjadi konsumen produk yang diiklankan tersebut.

Memang benar bahwa negara bertanggung jawab untuk mengupayakan kepentingan terbaik bagi anak, pemenuhan hak hidup, hak tumbuh dan berkembang anak. Tapi, iklan rokok itu perkara lain.

Baca Juga:  Komnas PT Harusnya Berbuat yang Lebih Penting

Merokok adalah aktivitas penuh tanggung jawab. Dan rokok adalah produk konsumsi yang punya faktor risiko. Untuk itu, regulasi di negara kita telah menetapkan bahwa batas usia konsumen rokok adalah minimal berusia 18 tahun, atau bisa dikatakan harus orang yang sudah dewasa dan sadar akan sebuah konsekuensi. Seperti itu.

Selanjutnya, tanggung jawab terkait pengawasan agar anak-anak tidak merokok sepenuhnya diemban oleh orang tua dan juga orang-orang dewasa di sekitar si anak. Sebagai perbandingan, nyaris tidak ada anak-anak yang mengakses manfaat dari kondom meski televisi menayangkan iklan yang jauh lebih vulgar dari rokok.

Tidak ada anak di bawah umur (kurang dari 18 tahun) datang ke warung atau swalayan untuk membeli kondom. Kenapa? Karena fenomena anak membeli kondom adalah hal yang tabu. Dalam benak si anak pun ada rasa tabu yang sama, maka ia tidak berani melakukan. Dalam hal ini, jangankan anak, orang dewasa pun banyak yang masih enggan. Padahal, produk kondom dipampang di etalase, iklannya juga wara-wiri di televisi dan internet. Tapi nasibnya jauh berbeda dengan rokok.

Ada pun hal yang perlu jadi perhatian adalah bagaimana caranya orangtua menciptakan rasa tabu yang sama dalam konteks rokok. Berikan pemahaman pada anak anda agar mereka mengerti bahwa merokok hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah berusia 18 tahun.

Kira-kira begitu.