Press ESC to close

Prevalensi Perokok Jadi Alasan Kenaikan Tarif Cukai Rokok?

Prevalensi perokok kerap dijadikan alasan pemerintah dalam menaikkan cukai rokok. Faktanya, kenaikan cukai justru memukul pabrikan. Terbukti dari maraknya peredaran rokok ilegal dan penindakan dalam kurun tiga tahun terakhir yang meningkat.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu mendasarkan alasannya pada angka konsumsi rokok. Lebih lanjut, kenaikan cukai dijadikan cara untuk menekan angka produksi produk tembakau pabrikan.

Seturut itu, kenaikan cukai rokok untuk 2023, bahkan telah diumumkan sekaligus untuk 2024 dengan porsentase yang sama, yakni 10 persen. Ini menandakan pemerintah saat ini lebih fokus pada kepentingan penyelamatan fiskal yang dikemas melalui isu pengendalian.

Dengan begitu lesatnya angka rokok ilegal sebagai akibat dari kenaikan cukai tiap tahun, justru lebih menguatkan tujuan pemerintah hanya pada target penerimaan. Angkanya tiap tahun mengalami kenaikan. Laju inflasi di dalam negeri pun tak dapat ditekan.

Dari tiap tahun kenaikan cukai, selalu pula akan dibarengi dengan turunnya jumlah pabrikan rokok. Sebagaimana yang pernah kita temukan, naiknya tarif cukai rokok menambah beban produksi bagi Industri Hasil tembakau. Merujuk dara pada tahun 2007, terdapat 4.669 pabrik. Sedangkan pada 2016, hanya ada 754 pabrik.

Kemudian, ditandai pada tahun 2016, tarif cukai rokok mulai naik di atas 10 persen. Sejak tahun inilah, pemerintah kemudian menyiapkan skema mitigasi melalui upaya preventif. Para pelaku usaha rokok ilegal diberi kemudahan untuk dapat berbisnis secara legal melalui KIHT (Kawasan Industri Hasil Tembakau).

Hampir sebagian besar pasal-pasal yang memberatkan pada PP 109/2012, misalnya terkait luasan pabrikan yang ditetapkan 200 meter, akan diringankan melalui KIHT, perkara beban cetak gambar peringatan kesehatan, juga difasilitasi. Termasuk beban cukai yang bisa dibayar dengan cara dicicil nantinya.

Baca Juga:  Pemkot Tangsel Diam-Diam Masih Butuh Pemasukan Dari Iklan Rokok

Namun kesemua fasilitas kemudahan itu terjadi setelah ribuan pabrik tersisih dari asas ekonomi kretek. Setelah pabrikan terpukul bangkrut dan harus memilih jalur ilegal. Lalu, pemerintah hadir bak pahlawan bertopeng yang menyelamatkan.

Sebagaimana kita ketahui, sejak terbitnya PP 109/2012, banyak pabrikan kecil yang terpukul akibat kebijakan di dalamnyua yang tidak berpihak pada filosofi sektor industri kretek. Namun kemudian, setelah para pebisnis rokok yang mengambil jalur ilegal itu dirangkul dan dihimpun ke dalam agenda KIHT. Ini suatu kerancuan yang patut dipertanyakan.

Patut diingat lagi, bahwa munculnya PP 109/2012 adalah hasil adopsi dari kepentingan traktat FCTC. Traktat pengendalian tembakau yang dikeluarkan oleh WHO. Di balik traktat internasional tersebut disokong penuh oleh korporasi farmasi. Dapat kita tilik lagi fakta-fakta tentang politik dagang farmasi yang bermain melalui isu kesehatan itu melalui tesis Wanda Hamilton.

Bukan lagi rahasia, bahwa cukai rokok selama ini dijadikan sebagai instrumen untuk menekan sektor ekonomi strategis kretek, yang selama ini menjadi sumber devisa andalan negara. Lebih dari 10 persen laju pembangunan ekonomi negara disumbang dari sektor kretek. Sektor inilah yang ingin dimonopoli pasarnya oleh kepentingan korporasi farmasi asing.

Jika kita tilik lagi argumen pengendalian yang diungkap pemerintah, bahwa kenaikan cukai rokok dipandang efektif menekan konsumsi rokok. Namun faktanya, ketika harga rokok naik secara gradual, para perokok beralih konsumsi. Bukan berarti angka perokok menurun, melainkan perokok memilih turun kasta ke rokok yang lebih murah dan tak bercukai.

Di sinilah kerugian negara akibat kenaikan cukai yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Maraknya peredaran rokok ilegal ini ditengarai pula oleh pihak perwakilan pengusaha rokok, GAPPRI, sebagai suatu hal yang tidak relevan.

Baca Juga:  Refleksi Perokok Pada Hari Laut Sedunia

Sektor IHT legal yang tengah berjuang untuk tetap beroperasi  dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat. Ini pemerintah justru menambah beban produsen dengan menaikkan cukai yang beitu eksesif.

Diungkapkan juga data bahwa dalam 3 tahun terakhir terus naik eksesif, yaitu tahun 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%, tahun 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5%, dan tahun 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0%, sehingga selama 3 tahun tarif CHT telah naik 48% dan HJE naik 60%.

Dalam kondisi yang sangat memberatkan para pelaku usaha rokok, dengan terbuka Sri Mulyani mengungkap tujuan pemerintah dalam menekan angka produksi. Dari sisi ini, kita dapat mennagkap misi politik Sri Mulyani bukanlah misi yang berpihak kepada sektor ekonomi strategis kretek.

Dalil prevalensi yang ditargetkan melalui kenaikan cukai hanyalah jargon normatif yang menjadi bahasa politis pemerintah. Tujuannya tak lain demi suksesi politik dagang  korporasi farmasi global, yang dikemas melalui traktat pengendalian tembakau FCTC.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *