Data perokok anak sering kali dijadikan dasar Kemenkes untuk menjelekkan rokok. Jika tidak, pastinya datanya selaras dengan data BPS. Cermati saja, pada kesempatan apapun, kalangan kesehatan dan antirokok, kerap menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terkait prevalensi perokok di bawah umur.
Berdasar data angka yang menjadi dalih Kementerian Kesehatan, menunjukkan prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya. Kemenkes melulu menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di tahun 2030, bukan main deh ah horornya rokok. Data angka andalan semacam ini yang terus digunakan Kemenkes untuk menekan Industri Hasil Tembakau, alih-alih menekan prevalensi perokok.
Jurus untuk menggiring logika dan opini masyarakat untuk bersetuju mencap industri rokok ini jahat, harus terus diperah dengan dalil pengendalian, maka menaikkan tarif cukai setinggi-tingginya menjadi masuk akal. Banyak kalangan, termasuk netizen yang terbawa oleh pola yang digunakan otoritas kesehatan.
Iya memang rokok memiliki faktor risiko, biar bagaimanapun legal sebagai produk konsumsi. Perokok macam kita pun setuju adanya faktor risiko. Namun, otoritas kesehatan di negeri ini justru berlebihan betul dalam menilai rokok. Inilah kemudian yang selalu menimbulkan kerancuan dan kecurigaan di masyarakat.
Belum lama ini, Menteri Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok di Istana Bogor. Kenaikannya dipatok sebesar 10 persen untuk 2023, demikian pula untuk 2024.
Perlu diketahui lagi, angka kenaikan tarif CHT (Cukai Hasil Tembakau) ini belum disetujui DPR, belum ada diskusi dengan komisi XI. Lagi dan lagi, dalih pengendalian didasarkan pula untuk menekan angka perokok anak, dan beberapa dalil normatif lainnya.
Sementara, jika kita tilik data angka yang digunakan Kemenkes yang kerap dijadikan acuan perumusan dan pergunjingan seputar isu rokok. Jelas tidak selaras dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS.
Data BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes. Hal ini kemudian direspon oleh Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora menjelaskan mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data.
Perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, dimana terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.
Atas kerancuan pendekatan data Kemenkes dalam menilai prevalensi perokok anak, dikritisi lanjut oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah, Nur Rohim Yunus.
Ia menilai diskrepansi data perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun, dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.
Dari sini kesimpulan sederhananya, ditengarai otoritas kesehatan telah keliru dalam hal pendekatan data prevalensi. Dan mestinya dapat berlaku obyektif dan adil dalam isu rokok dan kesehatan. Memang apa sih yang mau dirasionalisasi melalui data Riskesdas, sebagai dalil penguat agenda revisi PP 109/2012 ? Terbaca sudah.
Sebagai masyarakat yang hidup di alam Post Truth, nalar kritis kita ya harus terus diaktivasi setiap waktu, jika tidak, bakal dicundangi terus deh oleh otoritas yang bermain menyoal isu rokok dan kesehatan melalui data-data pendukung kepentingan politik tertentu.
Bahwa, dalil kesehatan yang selama ini digunakan pemerintah dalam menjelekkan rokok ternyata melulu didasari data yang tak termutakhirkan. Lebih lanjut, ini akan semakin menguatkan kecurigaan publik, kok ya lembaga sekelas Kementerian Kesehatan merepetisi data angka yang berpotensi menyesatkan.
Leave a Reply