Press ESC to close

Melihat Polemik Iklan Rokok Gendong Anak

Apakah orang kecil di Indonesia ini harus sampai mengemis demi keadilan? Nampaknya begitu. Kita berenang di lautan fakta. Adalah Edi Santoso, sia-sia menunggu 19 tahun demi keadilan. Edi adalah laki-laki yang menjadi center of attention dari polemik iklan rokok gendong anak.

Orang kecil harus mengemis, mengiba. Namun, pada kenyataannya, belum tentu mendapatkan hasil yang mereka harapkan. Padahal, yang mereka harapkan adalah keadilan. Tidak lebih, tidak juga kurang. Sayangnya, di Indonesia, keadilan (dan kenyamanan hidup) hanya milik mereka yang mempunyai privilese.

Itulah yang tidak dimiliki Edi Santoso. Laki-laki asal Lamongan ini sudah berusia 46 tahun ketika mendapati laporannya kena Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3. Menuntut keadilan sejak berusia 24 tahun, berakhir dengan kekecewaan. Semuanya berawal dari iklan rokok gendong anak yang mewarnai bungkus rokok sebagai bentuk peringatan bahayanya merokok.

Awal mula konsep iklan rokok gendong anak

foto rokok gendong anak

Edi dan anaknya tak pernah menyangka liburan yang seharusnya menyenangkan berujung perjuangan sia-sia mencari keadilan. Saat itu, usia Edi baru 24 tahun. Sementara itu, anak yang dia gendong baru berusia sembilan bulan. Tepat di jangka waktu 2001, peristiwa itu terjadi.

“Tahun 2001 kan saya jalan-jalan itu sama anak saya gendong itu langsung dihentikan sama sales rokok buat minta foto. Tahun 2014 kok jadi banyak muncul foto saya di bungkus rokok,” kata Edi Santoso menceritakan konsep awal iklan rokok gendong anak yang viral beberapa tahun setelahnya. Cerita ini disampaikan Edi di kantor PWI Lamongan dan disiarkan oleh akun Story Rakyat via Instagram.

Pada 2014, Edi Santoso melapor ke Polres Lamongan karena merasa menjadi korban penipuan. Sayangnya, SP3 menjegal langkah Edi mendapatkan keadilan. Demi mendapatkan kejelasan perihal iklan rokok gendong anak yang problematik itu, Edi membawa kasusnya ke Mabes Polri.

Kali ini, Edi melaporkan kasusnya atas dasar menggunakan foto orang lain tanpa izin untuk keperluan komersial. Lagi dan lagi, kasusnya mentok di SP3. Namun, kali ini, dia harus menunggu sampai 19 tahun, tepatnya pada 2020, untuk mendapatkan kejelasan. Sebuah kejelasan bahwa orang kecil dipandang nihil di hadapan hukum.

Sales rokok yang seharusnya “diburu”

sales rokok sukun

Edi sendiri mengaku sangat heran lantaran kasusnya diputus secara sepihak. Padahal, kalau melihat ke aturan yang ada, aduan Edi sebetulnya valid. Pasal Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjelaskan semuanya. Pasal tersebut berbunyi seperti ini:

“Mengambil tanpa izin sebuah gambar atau foto dari internet untuk diunggah di media sosial untuk didistribusikan atau digunakan kepentingan komersial merupakan tindakan pelanggaran hak cipta.”

Baca Juga:  Potensi Tembakau Gayo Menembus Pasar Internasional

Izin memang sudah diucapkan oleh sales rokok yang mengambil foto Edi dan anaknya. Namun, tujuan pengambilan foto tersebut hanya untuk keperluan kenang-kenangan. Pada saat itu, Edi mengaku bahwa si sales rokok tidak pernah mengungkapkan niat bahwa foto tersebut akan dipakai untuk keperluan komersial.

Namun, pada 2014, fotonya sedang merokok bersama anak kecil yang masih berusia sembilan bulan muncul di bungkus rokok. Edi tidak pernah mendapatkan royalti dari pabrik rokok. Yang didapat Edi dari polemik iklan rokok gendong anak ini adalah rasa malu. 

Oleh sebab itu, si sales yang mengambil foto harus dimintai keterangan. Pihak kepolisian bisa memulainya dengan mengunjungi pabrikan rokok yang pernah menggunakan foto tersebut. Bukan malah memberikan SP3 untuk sebuah kasus yang menyimpan kesalahan besar.

Kesalahan yang lebih fatal

Iklan rokok gendong anak memang sangat kontroversial. Selain Edi yang tidak mendapatkan keadilan dan royalti, ada sebuah kesalahan besar yang tidak boleh sampai terulang lagi. Kamu sudah menemukan kesalahan yang dimaksud?

Masalah besar yang saya maksud adalah kenapa iklan rokok gendong anak bisa sampai menempel di bungkus rokok. Iya, foto tersebut memang bertujuan untuk mengingatkan para perokok untuk tidak merokok di dekat anak kecil. Namun, narasi yang tercipta di publik terbaca lain.

Saat iklan itu muncul, polemik juga mengiringinya. Banyak yang “secara nakal” menafsirkan bahwa iklan itu bertujuan untuk silakan saja merokok di dekat, bahkan sampai menggendong anak kecil. Apalagi, ekspresi si anak di sana tidak terganggu. Lebih fatal lagi ketika wajah di anak tidak disamarkan. Hal ini sudah pasti melanggar banyak UU, yang lucunya kok bisa menempel di bungkus rokok dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Siapa yang dulu bertugas melakukan kurasi poster bahaya merokok di bungkus rokok? Menurut saya, dia yang bertugas ini perlu diseret juga untuk dimintai keterangan oleh polisi. Meloloskan poster iklan rokok gendong anak saja sudah sangat salah. Apalagi sampai bertahan dalam waktu lama di pasaran.

Poster seram bahaya merokok yang tidak pernah efektif

Sejak poster seram muncul di bungkus rokok, saya langsung memandangnya dengan tatapan sinis dan pesimis. Saya memang perokok. Namun, melihat poster seram itu tidak lantas bikin saya ngompol lantaran ketakutan lalu berhenti merokok. Siapa sih yang punya ide bodoh seperti ini?

Gimana ya. Ketika merokok, pasti lebih asyik kalau disambi nonton Youtube, Netflix, scroll medsos, atau sambil ngobrol dengan teman. Mana mungkin saya merokok, klepas-klepus, sambil melototin poster seram di bungkus rokok. Saya belum segila itu. Maaf.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik, Konsumen Berkurang?

Bukan hanya saya yang merasa bahwa poster seram atau poster iklan rokok gendong anak itu akan efektif. Bahkan, bisa saya bilang, poster iklan rokok gendong anak dan kawan-kawannya itu sangat tidak efektif. Sebuah penelitian mendukung pernyataan sata.

Penelitian yang mendukung

Tahukah kamu, bahwa “Nicotine and Tobacco Research”, sebuah jurnal, menyatakan indikasi bila menggantungkan poster peringatan seram di dekat kasir malah mendorong anak remaja merokok.

“Dari data yang kami miliki, memasang pesan bergambar seram walaupun sekilas kebijakan masuk akal, ternyata tidak bisa disebut solusi terbaik,” kata William Shadel, ketua tim penelitian tersebut, seperti dikutip Vice.

Shadel adalah Direktur Asosiasi Program Kesehatan Masyarakat di RAND Corporation, merangkap peneliti senior bidang studi perilaku manusia. RAND sendiri merupakan sebuah lembaga think-thank nirlaba untuk mencari solusi terhadap perubahan kebijakan publik.

RAND melakukan penelitian yang melibatkan 441 anak. Usianya antara 11 sampai 17 tahun. Mereka diminta pergi berbelanja di laboratorium RAND yang diubah menjadi semacam minimarket dengan 650 produk. 

Kepada setengah jumlah peserta, para periset menggantungkan poster di dekat kasir. Poster tersebut mulut sariawan dan gigi rusak, lalu ditambahkan peringatan “Merokok dapat Menyebabkan Kanker.” Konon katanya, gambar tersebut dianggap paling menyeramkan oleh anak-anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa anak-anak sadar bahaya merokok. Namun, lantaran sudah kadung merokok, mereka tidak akan berhenti begitu saja hanya karena melihat poster seram seperti itu.

Sisa dari polemik iklan rokok gendong anak

Pada akhirnya, iklan rokok gendong anak tidak memberi manfaat yang seharusnya di bawa. Bahkan, hanya menyisakan luka di hati Edi Santoso, pria Lamongan yang gagal mendapatkan keadilan.

Tidak ada manfaat lainnya dari iklan rokok gendong anak itu. Sudah menyalahi banyak aturan perihal hal cipta dan memajang foto anak-anak secara komersil, pertumbuhan jumlah perokok pun gagal diredam.

Ini seharusnya menjadi pelajaran paling pahit untuk siapa saja yang punya kewenangan atas terbitnya foto iklan rokok gendong anak atau poster seram lainnya. Sudah terbukti kebijakan itu tidak bermanfaat, kenapa masih dilakukan?

Yah, begitulah Indonesia. Kalau nggak aneh, nggak bisa dianggap kearifan lokal bangsa Indonesia. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *