Press ESC to close

Riset Cukai dan Rokok Ketengan, Kampanye Pengaburan Kewajiban Pemerintah

Dalam berbagai penelitian tentang rokok, kerap kali produk konsumsi berstatus legal ini mengalami stigmatisasi. Stigma tersebut bertolak dari paradigma kesehatan moderen yang mendiskreditkan rokok dan tata niaganya termasuk soal rokok ketengan. Dikait-kaitkan dengan persoalan kesehatan yang dialami masyarakat moderen.

Rokok selalu dikaitkan dengan ancaman penyakit yang kerap disertai data hasil penelitian sekelompok ahli. Publik dunia terus dicekoki oleh hasil studi yang sebetulnya tidak bebas dari kepentingan tertentu, bukan hal baru lagi pada akhirnya untuk mendiskreditkan tembakau. 

Catatan terkait itu, ditandai pada tahun 1962, ketika para ilmuwan Pharmacia yang mulai mencoba mengembangkan nikotin alternatif yang dilatarbelakangi oleh laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan.

Sejak saat itu, mulailah ada pemikiran bagaimana merebut pangsa pasar rokok yang merupakan bisnis yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar. Frasa ‘kecanduan’ digunakan sebagai siasat untuk menggeser perhatian masyarakat dunia. Sementara, rokok sependek pengamatan saya berada di wilayah habituasi bukan adiksi.

Pasca temuan itu, beragam penelitian lanjutan yang didanai industri farmasi terus melakukan upaya untuk mengguncang eksistensi industri rokok, termasuk di Indonesia. Diguncang melalui naiknya tarif cukai tiap tahun, isu simplifikasi yang di dalamnya meragukan efektivitas kenaikan harga rokok dapat menekan angka perokok, yang kemudian disambut dengan agenda yang mendorong isu larangan menjual rokok ketengan untuk segera diwujudkan.

Salah satu agenda yang belakangan mencuat melalui forum bahasan antirokok terkait isu rokok ketengan, dimana inti dari patgulipat data yang disampaikan forum Diseminasi Hasil Riset CHED ITB-AD berujung pada klaim untuk menggoyang sektor devisa negara yang selama ini menjadi pesaing berat bagi industri farmasi global yang membidik paten nikotin.

Menurut riset mereka, kenaikan cukai dan harga rokok kurang efektif dalam menekan prevalensi. Padahal, jika kita balik cara melihatnya, justru ketika rokok ketengan disetop, maka rokok bungkusan niscaya tambah laris. Tetap mampu terbeli oleh masyarakat. Para perokok yang dituding rata-rata dari kalangan miskin akan punya siasat lain, yakni dengan cara patungan. Sangat mungkin anak di bawah umur pun mampu melakukan itu.

Sementara, jika kita tilik pada aturan yang sudah ada, yakni PP 109/2012, poin-poin di dalam nya sudah cukup ketat mengatur tata niaga rokok. Bahkan sejak berlakunya PP tersebut, sudah ribuan pabrik rokok terpukul dari sisi produksi.

Di dalam konteks desakan antirokok terhadap isu rokok ketengan, kita menengarai betapa hipokritnya gerakan antirokok yang kerap menggunakan isu populis untuk memuluskan tujuan politik ekonomi industri kesehatan. Sebagaimana kita tahu, aktor-aktor besar di balik industri kesehatan adalah bohir farmasi.

Baca Juga:  Budidaya Tembakau Lokal di Kabupaten Bangli

Mestinya, para akademisi dan peneliti ini memiliki fokus akan data bersifat evaluatif terhadap kinerja pemerintah, dimana sejauh ini belum optimal dalam menjalankan aturan (PP 109) yang ada. Mengingat penegakan dan pengawasannya yang masih lemah. 

Tetapi, gerakan antirokok justru memelintir fakta dengan memojokkan industri dan masyarakat pra sejahtera yang rentan secara ekonomi sebagai korban, bahkan terkesan dikomodifikasi oleh kepentingan absurd mereka.

Bukankah persoalan mendapatkan akses kesejahteraan yang merata termasuk soal gizi, kesehatan dan lapangan kerja, itu merupakan kewajiban negara. Masyarakat menjadi miskin karena negara melanggengkan mesin pemiskinan lewat sistem yang tidak berpihak. 

Ya bukan antirokok namanya kalau jurus memelintir isu tidak mereka mainkan. Beberapa hal urgensi yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam hal kesehatan, digeser arah pandangnya melulu ke soal rokok. Hih.

Suksesi dalam melabeli rokok sebagai musuh dunia memang tidak dikerjakan dalam waktu yang sebentar. Upaya untuk memukul industri terus dimainkan, baik melalui skema pengendalian tembakau global yang didukung oleh rezim kesehatan dunia melalui traktat FCTC. Termasuk memanfaatkan lembaga-lembaga otoritatif untuk turut mendukung upaya pemberangusan rokok.

Nuansa kepentingan ekonomi politik pada isu rokok semakin terasa saja ketika beberapa tahun terakhir ini produk alternatif tembakau semakin masif menggunakan klaim berbasis narasi; ‘lebih sehat dari rokok”. Seiring waktu, dari sisi disparitas harga produk alternatif semakin masuk akal bagi perokok untuk beralih, alih-alih berhenti merokok.

Inti dari gerakan antirokok, di antaranya melalui riset dan forum-forum yang menggaungkan kampanye kebencian terhadap rokok. Itu merupakan bagian dari strategi demarketing yang bermain di ceruk kontroversi.

merokok

Banyak fakta yang telah diungkap, bahwa banyaknya penelitian tentang rokok dan kesehatan tak lain produk junk science yang membawa motif kotor dari industri farmasi. Dapat kita tilik dari beragam data yang diungkap melalui tesis Wanda Hamilton; Nicotine War (Perang Nikotin), dimana isu negatif rokok hanyalah tameng untuk memuluskan target penguasaan pasar perokok. 

Tahun lalu, terdapat fakta temuan yang diungkap jurnalis Amerika, Marc Gunther yang menyebutkan, bahwa terdapat intervensi Bloomberg yang turut mendukung kampanye antitembakau di 112 negara dengan fokus pada populasi perokok terbesar di dunia, termasuk Tiongkok, India, Indonesia, dan Bangladesh. 

Baca Juga:  Perang Nikotin Di Balik Isu Kesehatan

Lembaga ini memberikan pendanaan kepada berbagai lembaga nirlaba yang mendorong pemerintah setempat untuk menegakkan kebijakan eksesif terhadap tembakau. Mulai dari pelarangan iklan dan kenaikan tarif cukai rokok tanpa mengindahkan kondisi ekonomi, serta unsur budaya yang melekat pada konsumsi tembakau di negara-negara tersebut.

Bukan lagi hal baru bahwa gerakan antirokok di Indonesia ini mendapat sokongan dana dari Bloomberg Initiative. Di antaranya yang dilakukan Anies Baswedan melalui isu Jakarta Bebas Asap Rokok, terdapat temuan surat berisi dukungan terhadap agenda politik Bloomberg. Termasuk pula jika kita tilik kepala dari rezim fiskal di Indonesia, yakni Sri Mulyani Indrawati, yang juga punya hubungan politik fiskal berkaitan dengan gerakan antirokok

Data yang ada terkait sokongan dana gerakan antirokok di Indonesia, terhitung kurun tahun 2008 hingga 2010, Bloomberg telah menggelontorkan dana untuk kampanye antirokok melalui Lembaga Demografi UI sebesar 280.755 Dollar. Atau sekitar Rp 2.807.550.000 miliar. Di tahun 2009, digelontorkan pula dana sebesar Rp 406.540.000 untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan pajak dan harga rokok. 

Dari agenda diseminasi riset CHED ITB-AD, tercium aroma donasi untuk gerakan antirokok di Indonesia yang masih berlanjut. Terakhir yang saya ketahui pada masa Anies menjabat sebagai Gubernur terkait KTR, dapat dipastikan ke mana arah pukulannya.

Dari sini, dapat kita petik kesimpulan bahwa para peneliti maupun akademisi yang bicara soal efektifitas regulasi ini sebetulnya mereka sedang mengaburkan fokus publik. Bahwa bicara problem kesehatan dan kebobrokan di masyarakat tidak sepenuhnya disebabkan rokok, jika itu benar, pastinya sejak dulu sudah  diberangus semua pabrik rokok oleh negara. 

Seperti halnya kerja kekuasaan pasca Soekarno memberangus partai yang dicap berbahaya bagi ideologi Pancasila. Mudah saja toh bagi negara. Tetapi faktanya tidak. Negara terus menjadikan industri rokok sumber devisa yang bergizi bagi APBN. Dan para peneliti maupun aktivis antirokok tetap punya penghasilan toh dari mengkampanyekan isu kesehatan dan rokok.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *