Pendapatan negara kita saat ini sangat dimanjakan dengan cukai rokok. Bagaimana tidak, negara kita bisa kaya hanya dengan mencetak cukai. Di semester pertama pada tahun 2022 kemarin negara mendapatkan Rp 118 triliun, angka tersebut meningkat hingga 33.3% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada Januari awal tahun ini saja sudah mencapai Rp18,4 triliun, angka tersebut naik sekitar 5% secara tahunan atau year on year.
Melalui cukai rokok, negara mendapatkan sekitar 65% dari total penerimaan cukai nasional. Setelah itu baru diikuti oleh kinerja impor nasional melalui tingginya harga komoditas dan BBM.
Pemerintah telah menaikkan cukai rokok terhitung dari tahun 2009. Secara kumulatif, sejak periode 2011-2021 realisasi pendapatan cukai hasil tembakau meningkat 157% atau kira-kira 2,5 kali lipat. Angka tersebut akan terus meningkat jika melihat kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selama ini.
Sayangnya, kekayaan yang diterima negara dari cukai rokok ini tak sebanding dengan jerih payah stakeholder pertembakauan khususnya para perokok itu sendiri dan para petani penghasil tembakau. Negara boleh kaya, negara boleh senang, tapi kita yang menghasilkan itu tidak diberi ruang yang nyaman oleh pemerintah di negara ini.
Bisa dilihat dari berita terbaru dari RUU Kesehatan yang berencana menyamakan tembakau dan narkotika menjadi satu golongan. Komoditas tembakau memiliki peran yang cukup nyata dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Negara harus berpikir 100 kali jika ini disahkan.
Boleh dilihat juga dari penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau BLT DBHCHT, manfaatnya tidak bisa sepenuhnya dirasakan oleh penerima atau bisa dibilang tidak sebanding. DBHCHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 215/PMK.07/2021 dengan pokok pengaturan sebagai berikut:
- 40% untuk Kesehatan
- 50% untuk Kesejahteraan Masyarakat
30% Peningkatan Kualitas Bahan Baku, Peningkatan Keterampilan Kerja dan Pembinaan Industri
20% Pemberian Bantuan - 10% untuk Penegakan Hukum
Jika dilihat lagi, persenan pembagian dalam DBHCHT di atas juga tidak adil. Dana Bagi Hasil Cukai seharusnya bisa diberikan lebih banyak lagi kepada mereka para petani sebagai bagian dari stakeholder pertembakauan yang berperan utama dalam hal ini, kok hanya 20%. Harusnya angkanya bisa lebih tinggi lagi sebagai kembalian bentuk terima kasih untuk mensejahterakan mereka.
40% untuk kesehatan, angka yang paling besar dan tidak relevan. Apalagi, persenan dari kesehatan ini malah digunakan untuk kampanye anti rokok. Kok bisa uang dari rokok malah digunakan untuk kampanye anti rokok. Kampanye ini tidak penting.
Daripada digunakan untuk kampanye yang terkesan menghambur-hamburkan uang rokok itu, lebih baik kalau pemerintah bisa mengelola untuk pemberian pupuk kepada petani tembakau atau pembuatan ruang merokok di tempat umum yang lebih layak.
Lagian aneh sekali, negara yang kaya tidak hanya dari cukai rokok tapi juga dari kekayaan alam ini kok bisa-bisanya mengalami kelangkaan pupuk setiap musim tanam tembakau.
Sudah sangat bagus kalau cukai rokok itu lebih banyak kembali kepada petani tembakau dan kita para perokok yang setia memperkaya negara. Kita yang memberi nafkah kepada negara melalui cukai rokok, tapi mereka yang membenci rokok yang mendapatkan manfaatnya.
- 4 Oleh-oleh Rokok yang Cocok dari Kretekus untuk Teman Kerja - 14 April 2024
- 4 Rekomendasi Rokok yang Cocok untuk Sajian Lebaran - 13 April 2024
- 4 Waktu yang Tepat Menikmati Rokok saat Idul Fitri - 10 April 2024
Leave a Reply