Press ESC to close

3 Catatan tentang UU Kesehatan yang Baru

Tidak ada kata tembakau yang terlontar dari mulai pimpinan sidang rapat paripurna pembahasan RUU tentang Kesehatan hingga para penolak anggota sidang. Pembahasan RUU tentang Kesehatan tampak berlangsung cepat. Semuanya berlalu begitu saja sampai, pada akhirnya, Puan Maharani selaku pimpinan sidang sekaligus Ketua DPR RI mengetok palu sebagai tanda persetujuan RUU tentang Kesehatan menjadi UU Kesehatan. 

Pergolakan yang terjadi di luar rapat sidang sejak beberapa bulan lalu dan bahkan sampai H-1 tentang penolakan RUU Kesehatan, sekali lagi, hanya dianggap angin lalu. 

Seakan-seakan, sejak pembahasan RUU tersebut menyeruak ke publik pada April 2023, berjalan mulus tanpa hambatan. Gelombang penolakan mulai dari beragam organisasi seperti dokter hingga petani tembakau hanya sebagai pengejawantahan ruang demokrasi. Menyampaikan aspirasi dan pendapat di ruang publik. 

Selanjutnya, hanya tinggal menunggu waktu dan tidak seperti RUU lainnya, misal RUU Perampasan Aset yang masih berlarut-larut, RUU tentang Kesehatan seakan membawa semangat yang sama. Semangat Omnibus Law dalam bentuk kesehatan. 

Lalu, apa catatan yang perlu dikritisi tentang RUU Kesehatan?

Catatan tentang UU Kesehatan

Setidaknya ada tiga catatan mengenai UU Kesehatan yang baru saja disahkan pada 11 Juli 2023. 

Salah satu pergolakan yang cukup kencang dan alot dalam perundang-undangan tersebut adalah pasal 157. Dalam usulan pasal tersebut, kelompok antirokok berusaha menghilangkan kata “wajib” sehingga frasa tersebut hanya menjadi menyediakan ruang merokok. 

Pada akhirnya, dalam UU tersebut memang tidak terjadi perubahan. Pengelola tempat umum wajib menyediakan tempat khusus merokok. Hal ini memang benar adanya dan sesuai putusan MK pada tahun 2012 yang menyatakan kata “dapat” menuai polemik. 

Kemudian, Ketua MK, Moh Mahfud MD pada saat itu pun telah menjelaskan bahwa merokok itu hak asasi setiap orang. Dalam perjalanannya, UU Kesehatan sebelumnya sudah menambahkan kata “wajib” untuk menyediakan ruang merokok. 

Baca Juga:  Bukti Kenaikan Cukai Rokok Kontraproduktif

Hal tersebut memang sudah seharusnya. Rokok adalah produk legal, yang dalam perjalanannya dianggap memberikan bahaya kesehatan sehingga wajib dikenai cukai, dan ketersediaan ruang merokok jadi jalan tengah agar perokok tetap menikmati hak asasinya. 

  • Pengaturan Standarisasi Kemasan

Selanjutnya, pasal 156. Pasal ini juga menuai polemik karena standarisasi kemasan, yang usulannya hendak diambil dan diatur oleh Peraturan Menteri, kini tetap pada semula. Jika usulan tersebut justru disahkan, yang terjadi adalah Peraturan Menteri tampak berhasrat mengatur itu semua. 

Semestinya sudah diatur dalam Peraturan Menteri. Sudah jelas, seperti yang ditulis pada catatan pertama, rokok barang legal yang dikenai cukai. Oleh karena dianggap membahayakan kesehatan maka harus diberi peringatan kesehatan. Dan memang, UU-nya tertulis demikian. 

Lalu, urgensi seperti apa sehingga harus menggantikan Peraturan Pemerintah menjadi Peraturan Menteri? Apakah hendak mengatur ulang standarisasi kemasan? Namun, pada akhirnya, peraturan tersebut memang sesuai seperti sebelumnya. Standarisasi kemasan memang diatur oleh Peraturan Pemerintah.

  • Lagi-lagi Tembakau dalam Pasal 154 hingga 155

Sepintas tidak ada yang berbeda dalam pengesahan RUU tentang Kesehatan menjadi UU Kesehatan di pasal 154-155. Kata demi kata dalam penjelasan ayat masih sama. Tidak ada perubahan dari sigaret menjadi rokok, tidak ada kata hasil menjadi produk, atau tidak ada ubahan tentang pengaturan hasil tembakau. 

Namun, justru di situ ada masalah yang tidak terlihat. Mengapa tembakau masih diletakkan sejajar dengan zat psikotropika dan narkoba sebagai zat adiktif? Penyamaan seperti ini seperti mengulang UU Kesehatan sebelumnya. 

Baca Juga:  Menghapus Kebencian Pada Perokok

Seharusnya, dibedakan karena tembakau adalah barang legal sedangkan psikotropika dan narkotika adalah barang ilegal. Semestinya kata tersebut dikeluarkan dan dibentuk peraturan tersendiri dan terpisah. 

Apalagi, hanya tembakau yang diatur dalam UU tersebut, bahkan sampai empat pasal dari 155-158. UU Kesehatan tampak memiliki hasrat untuk mengatur segala tindak tanduk tembakau dan turunannya sehingga sebenarnya tumpang tindih aturan. Semestinya tentang pertembakauan cukup diambil alih pertanian, perkebunan, perindustrian, dan perdagangan. 

Bukan lebih fokus psikotropika atau narkotika yang jelas-jelas produk ilegal. Malah produk legal yang diberi sederet frasa dan seakan-seakan berbahaya bagi seluruh pihak. 

Masih Ada Usulan Revisi PP 109/2012

UU Kesehatan sudah disahkan. Mari segera beralih fokus kepada usulan revisi PP 109/2012. Adapun usulannya mulai dari iklan rokok hingga standarisasi kemasan. Tampak hal tersebut akan menjadi perdebatan yang cukup panjang. 

Aturan yang semestinya dapat ditegakkan dan diimplementasikan tampak ingin diganggu dan digugat sehingga usulan tersebut menjadi relevan. Padahal, usulan tersebut yang menjadi berbahaya. 

Industri Hasil Tembakau (IHT) masih akan terus diserang sana dan sini. Namun, percayalah jalan perjuangan masih ada. Seperti penerimaan cukai rokok yang turun untuk pertama kalinya dalam lima tahun. Alhasil, negara yang selalu mengedepankan ego akhirnya menuai karma yang tidak terbantahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *