Press ESC to close

Apakah Benar Rokok Mild dan Kretek Berperisa Picu Bertambahnya Angka Perokok?

Upaya menyingkirkan kretek berperisa dari pusaran bisnis rokok terus mengemuka. Telah dua dekade setidaknya, produk budaya Indonesia yang khas ini digempur oleh beragam tekanan. 

Salah satunya berupa tekanan regulasi, yang sejak tahun 1999 melalui PP 81 menjadi pintu masuk mengeliminasi perokok dari ruang publik. Hingga poin-poin standarisasi produk yang berfokus pada kandungan tambahan (flavor) di dalam rokok.

Hal senada juga didukung dengan adanya penekanan standarisasi nikotin dan tar, dibarengi dengan munculnya gerakan antirokok yang bermain menggunakan isu kesehatan. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar tembakau di Indonesia memiliki kandungan nikotin di atas standar yang dibuat itu.

Munculnya peraturan demi peraturan tentang rokok, telah ditengarai mengandung agenda kepentingan politik dagang. Singkatnya, upaya masif dari pengendalian tembakau mengacu traktat global (FCTC), yang sekilas normatif demi kesehatan publik; mengatur cukai dan peredaran rokok.

Faktanya, isu kesehatan hanyalah topeng belaka, agenda pengendalian tembakau tidak bersih dari kepentingan dagang pihak yang mensponsorinya.

Fakta-fakta terkait pihak-pihak yang bermain di isu pengendalian itu, dapat kita cermati pada penelitian Wanda Hamilton melalui buku Nicotine War. Dimana sejak tahun 60an, kapitalisme farmasi sudah mengincar niche bisnis yang terdapat pada tembakau. Yakni nikotin.

Berbagai studi dan pertemuan-pertemuan skala internasional dibuat dan dibiayai. Tujuannya hanya untuk penguasaan nikotin, melalui upaya mematenkan nikotin pada tembakau. Dan itu tentu saja sulit. Dalam perjalanannya, gerakan pengendalian global kerap bermanuver untuk tujuan penguasaan pasar.

Dalam peta politik dagang, bisnis rokok merupakan batu sandungan besar bagi farmasi global untuk meraup cuan lebih besar dari perokok. Sebagaimana kita ketahui, produk kretek Indonesia memiliki pasar yang besar. Terbukti dari nilai devisa tahunannya yang masuk ke dalam kas negara, senilai ratusan triliun.

Tentu kita ingat bagaimana peredaran produk kretek di AS pernah dijegal, dibawa ke dalam proses sidang WTO pada tahun 2012. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) mengeluarkan kebijakan yang merugikan Indonesia.

Baca Juga:  Fenomena Dua Harga Rokok Merugikan Konsumen

Yakni dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang peredaran rokok beraroma, termasuk rokok kretek, namun mengecualikan rokok beraroma menthol. Terkait dengan hal ini, Indonesia berpandangan bahwa AS melakukan diskriminasi dagang dan melanggar ketentuan WTO.

Dari proses banding itu, gugatan kemudian dimenangkan Indonesia. Di mana hasil gugatan tersebut telah membuktikan kecurangan AS yang bernuansa diskriminasi kepada produk Indonesia. Brengseknya, di era post truth ini upaya senada masih pula dimainkan.

Indikasi untuk menyingkirkan produk kretek dari kancah bisnis rokok ini hadir lewat hasil riset Institute of Global Tobacco Control (IGTC) di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Menurut mereka, perisa rokok ini hadir dalam bentuk perisa kimia yang tinggi.

Sehingga rokok yang memicu berbagai penyakit kronis dari mulai kanker paru, serangan jantung, edema paru dan lainnya itu bersumber dari penggunaan perasa pada rokok.

Bagi studi mereka, hal ini berseberangan dengan misi Indonesia mengurang prevalensi jumlah perokok. Cenderung meningkatkan risiko bertambahnya angka perokok. Dari studi ini, jelas betul bahwa kretek atau  rokok berperisa diframing sebagai musuh dari agenda pengendalian.

Di dalam hal ini, kita mesti klir dulu memahami, soal kenapa kretek memiliki pasar yang loyal. Pasar yang terus dibidik oleh sponsor di balik studi tersebut.

Untuk menjawab hal itu tentu kita berpegang pada sejarah budaya Indonesia, yang dimana landscape kekayaan hayati di dalamnya termasuk varian rempah, terbukti sangat majemuk. Begitupun produk olahannya yang memiliki aspek holistik terhadap preferensi/selera, baik di sektor pangan dan sektor lainnya.

Kretek lahir dari kemajemukan tersebut. Lidah orang Indonesia relatif menyukai unsur aromatik dan citarasa yang dihasilkan rempah. Salah satu bukti yang masih bisa diakses, adalah kebiasaan merokok sepuh mencampur tembakau dengan wur dan cengkeh.

Baca Juga:  Vaksin COVID dari Tembakau Mulai Dikembangkan

Dari sinilah, produk kretek secara turun temurun memiliki pasar yang loyal, lantaran rokok putihan atau rokok yang hanya tembakau saja, tidak memenuhi selera kultural perokok di Indonesia. Studi yang menyebut kandungan pada kretek itu membuat angka perokok terus bertambah, jelas bukan itu penyebabnya.

Kalau pemerintah mau fair, mestinya upaya pengendalian rokok bukan hanya berfokus dengan menaikkan cukai rokok. Hingga kemudian memicu maraknya peredaran rokok ilegal dari tahun ke tahun. Rokok gelap itu terbukti terus berputar di pasaran tanpa melewati mekanisme BPOM, rokok polosan ini serampangan secara bahan baku maupun prosesnya. Itu yang berbahaya  bagi konsumen.

Peredaran rokok non cukai semacam itulah yang justru mempersulit pemerintah mengontrol angka perokok. Maka, meningkatnya angka perokok karena rokok gelap itu mudah diakses siapapun.

Sekali lagi, bukan pada kandungan yang ada pada cengkeh, yakni atsiri dan kandungan dari rempah lainnya. Bukan perasa itu yang membuat agenda pengendalian di Indonesia begitu paradoks. Pihak luar tentu akan terus memainkan tekanan sejurus target penguasaan pasar, di antaranya dengan memonopoli pengetahuan publik.

Nah tinggal pemerintah deh tuh, bagaimana menyikapi beberapa poin kekurangannya. Satu, dari sisi pengawasan dan penegakan, kedua, regulasi cukai harus adil dengan realitas di hulu industri. Jangan lemah diperbudak patron klien dengan pihak luar. Lantas bermain dua muka dengan realitas yang ada. Itu yang mesti dikoreksi. 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *