Peredaran rokok ilegal meroket tinggi angkanya. Pada tahun politik ini, bisa dikatakan Indonesia dalam kondisi darurat rokok ilegal. Di sekitaran dekat rumah saya contohnya, daerah Kabupaten, rokok polosan tak bercukai ini laris dinikmati para pedagang jajanan yang mangkal depan perumahan.
Tanya punya tanya, teknis membelinya mirip membeli barang terlarang. Yaiyalah, produk tanpa pita cukai ya tergolong barang gelap, alias tidak mendapat legitimasi dari otoritas. Tidak melewati uji mutu dan kelayakan BPOM. Harga per bungkus untuk isi 20 batang saja di bawah Rp10 ribu, loh, genk. Jiaah, semi ngiklan nih. Ehe.
Peredaran Rokok Ilegal di Indonesia Semakin Menggurita
Meroketnya angka peredaran barang non cukai ini dibuktikan berdasar angka penyitaan 15,8 juta batang per minggu oleh Dirjen Bea Cukai. Itu baru angka laporan yang diterima Sri Mulyani. Bagaimana dengan yang masih beredar, dan pastinya kontraproduktif dengan dalih pengendalian dong.
Angka itu mengacu pada jumlah 471 penindakan yang dilakukan Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC). Fakta ini diperkuat pula dengan menurunnya jumlah produksi IHT dari sektor rokok. Telah diungkap sejumlah pemerhati, bahwa ontraksi hebat terjadi dari sumber pendapatan di sektor pertembakauan karena angka produksi rokok turun drastis. Utamanya sigaret kretek golongan satu.
Fakta angka ini dapat ditengarai pula dari jumlah produksi cukai yang diterbitkan pemerintah. Hingga pertengahan tahun 2023 cukai sebesar 139,4 miliar batang. Jumlah tersebut menurun curam dibanding produksi tahun lalu yang mencapai angka 151 miliar juta batang.
Dari gambaran ini, fakta bahwa rokok ilegal di Indonesia semakin menggurita di masyarakat jelas bukan isapan jempol belaka. Secara porsentase mencapai 54%. Bisa kita tilik dari tidak tercapainya target penerimaan negara melalui laporan cukai pada semester I. Lalu apa lagi dalih pemerintah untuk menyedap-nyedapkan diri?
Meski Sri Mulyani berulang mengatakan kenaikan tarif cukai rokok adalah langkah efektif pengendalian konsumsi. Bahkan, jikapun ditanya kembali padanya, jawabannya berputar di dalih yang sama. Pemerintah dalam konteks ini hanya memainkan retorika pengendalian. Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu peserta FCTC, dimana kerap mendapatkan tekanan rezim kesehatan dan gerakan antirokok untuk memenuhi target-target FCTC.
Pihak pemerintah sudah barang tentu punya analisa & paham akan konsekuensi dari kenaikan cukai tiap tahun. Bahwa kenaikan cukai akan selalu dibarengi dengan maraknya peredaran rokok ilegal. Akses dari kebijakan cukai selalu linear memukul hulu produksi IHT, petani dan pabrikan kecil. Jika sektor industri kecilnya dihantam, tentu untuk tetap beroperasi hanya satu pilihan; kongkalingkong dengan oknum aparatur cukai.
Nasib Pelaku Usaha Kecil di Antara Rokok Ilegal di Indonesia
Terpukulnya para pelaku usaha rokok kecil akibat dihantam regulasi cukai, sudah sejak 2016 mengemuka di dalam pemberitaan. Kalaupun ada langkah-langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah, itu terbilang masih jauh panggang dari api. Jika memang sudah dijalankan dengan baik tak sekadar memenuhi target formalitas laporan, pastinya rokok gelap itu tiada mencuat ramai di pasaran.
Sebetulnya, kondisi itu sudah berulang menjadi sinyal buruk bagi pemerintah, artinya, pemerintah harus segera mengambil sikap korektif. Memperbaiki regulasi cukai, memberi jaminan perlindungan yang komprehensif; berpihak pada kepentingan nasib orang-orang yang hidup dari sektor IHT.
Namun sejauh ini, pemerintah bertumpu pada tujuan mengejar pendapatan dengan alih-alih pengendalian konsumsi. Wong faktanya, ketika harga rokok menjadi mahal, masyarakat punya pilihan untuk tetap bisa ngebul. Dari sisi inilah kita dapat melihat bahwa pemerintah hanya mengejar kepentingan kas negara bersembunyi di balik isu normatif kesehatan. Dan nasib IHT selalu pula menjadi sapi perahan.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply