Press ESC to close

Kenapa Rokok Ilegal Tidak Bisa Diberantas?

Korupsi dan rokok ilegal mungkin sepadan disebut momok kebudayaan yang tidak bisa diberantas. Pasalnya, praktik koruptif dari zaman pra Indonesia Merdeka juga sudah ada. Rokok pun demikian, bahkan bagian dari kebutuhan layaknya nasi.

Hanya bedanya, di era industrialisasi dua hal itu berkait-paut dengan skema ekonomi-politik. Banyak aktor industri yang berinvestasi untuk tujuan penguasaan. Berbagai siasat penguasaan itu dimainkan untuk memelintir dominasi di dalam mata rantai global.

Saya kasih ilustrasi dari ekosistem laut yang kompleks. Dimana paus sebagai raksasa laut bergantung hidup dari udang krill. Populasi udang mini  ini adalah sumber makanan utama mereka.

Posisi krill sangat krusial bagi keseimbangan laut. Dalam sehari, seekor paus bisa mengonsumsi 16 metrik ton krill, yang setara dengan 17.6 ton. Ironisnya, jumlah krill cenderung menurun, ini bukan melulu akibat aktivitas penangkapan krill manusia. Sebaliknya, salah satu penyebab utama penurunan populasi krill adalah berkurangnya jumlah paus

Kita sebagai manusia memiliki peran signifikan dalam menyebabkan penurunan jumlah paus, baik melalui perburuan liar, pencemaran laut, dan faktor lainnya. Sekilas, mungkin terlihat aneh bahwa ketika pemangsa alami krill, yaitu paus, berkurang, mengapa jumlah krill justru menurun?

Lompat ke dunia Industri Hasil Tembakau (IHT), ada 3 isu utama global dalam upaya penguasaan sektor strategis; rokok, kesehatan, regulasi. Regulasi digunakan untuk menekan populasi rokok konvensional. Namun di Indonesia; tarif cukai dinaikkan tak berarti perokok berhenti. Kenaikan cukai untuk pengendalian konsumsi selalu menjadi dalih andalan pemerintah. Selain untuk kas negara.

Justru yang terjadi sebaliknya, kenaikan cukai selalu dibarengi dengan maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok bagian dari kebutuhan masyarakat, terlepas itu legal ataupun ilega. Kemudian, negara mengklaim mengalami kerugian dari sisi kas akibat rokok polosan itu. Iya, termasuk dampak atas tidak berfungsinya mekanisme pengawasan.

Baca Juga:  Jangan Ngomong Negatif Soal Kretek Kalau Tidak Tahu Siapa yang Berkepentingan

Walaupun ada alokasi dan target dalam upaya pemberantasan produk ilegal. Populasi angkanya tidak signifikan menurun. Karena ada praktik koruptif yang dimainkan oleh oknum. Selain pula hulu regulasi yang tidak berpihak pada hajat hidup ekonomi dalam negeri.

Rokok gelap ini terus saja marak dari tahun ke tahun, sulit diberantas. Sementara, tekanan global melalui FCTC terkait isu rokok dan kesehatan di Indonesia terus merongrong. Indonesia memiliki sektor strategis berupa ekonomi kretek. Ekosistem kretek ini yang terancam dalam ranah kebudayaan kita. Brengseknya, pemerintah kerap memainkan teori fake dilemma lewat berbagai media.

Melalui kampanye kesehatan, citra rokok dibangun sebagai biang kerok kesehatan, sehingga harus ditekan industrinya. Sementara persoalan kesehatan yang kompleks juga membutuhkan sumber tambalan (DBHCHT) dari industri rokok (IHT). 

Faktanya, persoalan tata kelola yang buruk kerap terabaikan. Misalnya yang berkenaan dengan isu polusi udara di Jakarta. Dimana industri batubara, pula PLTU, mestinya dikontrol secara saksama terkait emisinya. Lucunya, perokok dan aktivitas ekonominya sering kali dijadikan tameng atas ketidakbecusan pemerintah dalam hal tata kelola, alih-alih menyingkirkan industri kretek yang dianggap tidak kompatibel dengan zaman.

Pada dasarnya, gambaran fenomena ini adalah hasil dari keterkaitan yang kompleks. Kompleksitasnya merupakan problem struktural. Pemerintah butuh cuan banyak untuk melumasi beban pembangunan, tapi pemerintah juga tidak mau kesehatan publik bobrok, pemerintah juga butuh devisa dari industri rokok sebagai bantalan. Siasat formal deh yang dimainkan. Di aspek informalnya (ranah abu-abu), ada oknum yang pula bagian dari rantai makanan. Hehe.

Nah, kembali ke fenomena dalam ekosistem laut yang dikenal sebagai “paradoks krill.” Setelah paus mengonsumsi krill, mereka membuang sisa-sisa dalam bentuk pup a.k.a kotoran alias produk buang hajat. Di wilayah ini, rokok ilegal dan budaya korupsi punya andil menstimuli ekonomi pertembakauan. Bagaimana tidak, bahan baku rokok yang tidak terserap pabrik, selain diecer untuk tingwe mau dikemanakan? Itu.

Baca Juga:  Sanksi Merokok dan Ketidakmampuan Pengelola Mengurus Asian Games

Seturut ilustrasi itu, pup paus ini mengandung nutrisi yang penting, dan nutrisi ini kemudian menjadi makanan bagi fitoplankton, mikroorganisme fotosintetik kecil. Keberadaan fitoplankton dalam rantai makanan laut sangat vital. Namun, ada satu lagi twist menarik: siapa yang memangsa fitoplankton? Jawabannya adalah krill. Gambaran ini sebangun dengan persoalan di dalam industri kebudayaan. 

Katakanlah, rokok ilegal tuntas diberantas, alokasi penindakan dalam skema DBHCHT tentu tidak lagi diperlukan. Mengingat lagi, cukai menjadi instrumen fiskal penting untuk menambal kebocoran fiskal negara, di situ kuncinya. Termasuk rasionalisasi kinerja perangkat di dalam mekanismenya. 

Dengan kata lain, krill tidak hanya menjadi santapan utama paus, tetapi mereka juga menjadi konsumen dari fitoplankton yang pertumbuhannya dihasilkan dari kotoran paus. Oleh karena itu, keterkaitan antara pausfitoplankton, dan krill membentuk lingkaran yang rumit. Kompleksitas ini terjadi pada persoalan pemberantasan korupsi. Pula pemberantasan rokok non cukai.

Dalam ekosistem ini, paus dan krill saling mempengaruhi kelangsungan hidup satu sama lain. Dinamika dari mata rantai makanan di laut ini merupakan ilustrasi dari dua momok yang saya awali di paragraf pertama. Korupsi dan rokok ilegal setara dengan fenomena krill paradox.

Negara seumpama laut selalu terikat pada arus (global), lalu ekosistem kebudayaan di dalamnya bagaimana? Jelas butuh keseimbangan; regulasi. Bukan stigmatisasi.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *