Press ESC to close

Merayakan Hari Kretek, Merayakan Produk Budaya Bangsa

Jika ada pertanyaan tentang mana produk budaya bangsa kita yang otentik, jangan Anda jawab korupsi. Sebab korupsi katanya kelakuan iblis, itu kata manusia yang pintar bikin kambing hitam. Hal itu terjadi pula pada produk kretek. Nasibnya terus saja dikambing-hitamkan oleh rezim kesehatan. Senyampang itu, praktik korupsi sering terjadi di dalam pengelolaan dana dari industri rokok. Tilik beberapa tulisan di sini berdasar katakunci DBHCHT, pula dalam terminologi cukai sebagai pajak dosa. Bukan main. Itulah menjadi catatan penting dalam perayaan hari kretek tahun ini

Aktivitas ngudud tergolong perbuatan berdosa alih-alih paradigma eksternalitas negatif atas kandungan nikotin dan asap rokok yang diklaim jahat bagi lingkungan serta manusia lain. Sejarah peradaban sigaret ini memang tak lepas dari tarik ulur kepentingan ekonomi dan politik.

Adapun istilah ‘uang rokok’ ya itu bagian dari afeksi kolektif yang dimaknai dari konsepsi terima kasih dan kasih sayang. Sebagian pihak mungkin menuding istilah ‘uang rokok’ itu salah satu bentuk gratifikasi a.k.a suap terselubung. Serampangan betul orang-orang yang logikanya tak tertib itu. Perlu diingat, Indonesia adalah bangsa yang etos komunikasinya high context culture.

Contoh gampangnya, itikad berterima kasih kepada leluhur saja masih berlaku serangkai ritual berisi sesajen alias suguhan. Untuk berkomunikasi dengan tubuh sendiri pun bangsa ini memaknainya ke dalam laku hidup melalui jamu, dimana bahan bakunya berasal dari kekayaan hayati Indonesia. Namun laku hidup bernilai budi pekerti itu dibingkai sebagai budaya tradisional.

Produk Kretek Bukanlah Produk Biasa

Produk kretek pun semakna etosnya dengan jamu. Hadir sebagai entitas kultural yang menegaskan keluhuran laku hidup bangsa kita. Berbeda dengan segolongan bangsa lain yang etos komunikasinya low context culture. Merokok dinilai sebagai aktivitas mengisi kekosongan.

Produk tembakau yang dilahirkannya hanya gulungan tembakau saja. Beda dengan konten kretek yang melibatkan rempah-rempah. Sebagai produk budaya, kretek dibingkai sebagai budaya tradisional. Sedangkan praktik pemutakhiran atas habituasi mengunduh nikotin, sehingga muncul produk bergenre non pembakaran; nicotine patch, snus, dissolvables tobacco, dan lain sebagainya.

Kretek memang bukan produk budaya asli kita, tetapi ia (kretek) jelas otentik. Berangkat dari kreativitas dan daya adaptif masyarakat atas anugerah tanaman endemi (rempah-rempah) yang berlimpah. Ada cengkeh, kapulaga, adas, akar manis, jinten, dan sekian jenis rempah lainnya.

Dari produk budaya kretek, maka ada serangkai kode kultural di dalam ekosistem industrinya. Di luar Indonesia mana kenal istilah golongan tembakau nasi, tembakau lauk, dan tembakau sayur. Di negara dunia lain, mana kenal istilah uang rokok. Mana akrab mereka dengan ritus among tebal sebagaimana orang Temanggung menekuninya sebagai bentuk pemuliaan tembakau.

Masih banyak lagi kide kultural yang lazim berlaku di Indonesia ini. Pada kegiatan panen cengkeh misalnya, ada budaya pilih cengkeh. Pada bentuk pemuliaan cengkeh pun melahirkan penggunaan minyak cengkeh. Budaya industri di sektor cengkeh sama majemuknya dengan kultur pertembakauan. Di sini kita punya esoterical value, tak hanya pada ranah eksoterisnya saja.

Baca Juga:  Bagaimana Media Membahas Rokok dan Perokok

Perlu diketahui, masyarakat agraris kita mendudukkan etos bercocok tanam semakna dengan laku ibadah. Kalau ada yang bertanya, apa amalan terbaik manusia Indonesia, ya jelas mengamalkan pengetahuan agraris untuk kelangsungan masa depan bumi. Tak heran jika hutan-hutan di bumi Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Jawa, Papua, adalah sektor penghasil cuan dari sisi bisnis karbon hutan.

Jangan salah kira loh, perdagangan karbon di Indonesia diperkirakan bisa mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.290 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) per tahun. Itu baru dari sisi karbon.
Betapapun itu, jelas di sini amalan manusia Indonesia yang senantiasa menanam faedah secara turun temurun.

Pemaksaan Alih Tanam

Ada faedah pada tembakau, faedah pada rempah-rempah, palawija, faedah pada hutan dan pohon-pohon yang dipagari narasi angker dan seterusnya. Inilah kekayaan konkrit pada kehidupan manusia agraris. Namun kini seiring pemutakhiran zaman, kian hari kian terdampak oleh sistem yang memperdaya.

Terjadilah praktik perampasan nilai. Lahan hidup rakyat diperdaya oleh rezim investasi. Alih-alih pembangunan ekonomi dan slogan mengangkat derajat hidup masyarakat, faktanya, banyak petani yang menjadi korban. Orang-orang yang berkat pengetahuan agrarisnya memiliki kepakaran soft skill dan hard skill yang terlatih itu justru digusur. Budaya yabg dilabeli tradisional dianggap tidak kompatibel dengan zaman.

Aktivitas budaya kretek pada gilirannya kena pukul jurus diversifikasi. Dipaksa beralih tanam beralih kerja beralih konsumsi. Gairah puber intelektual terjadi di berbagai lini. Khazanah kesastraan kita yang sebangun dengan kultur agraris dan maritimnya didorong untuk memenuhi kuasa narasi global. Penyebutan-penyebutan baru mempengaruhi dunia kebahasaan dan kekaryaan kita.

Bangsa yang dulunya dikenal sebagai produsen pengetahuan, kini menjadi konsumen pengetahuan. Kebanggaan kita atas situs sejarah & budaya digeser untuk membanggakan produk yang bukan kita. Inilah yang menimbulkan berbagai bentuk gegar di masyarakat. Oleh sebab, negara tak hadir sebagai aktor. Melainkan figuran belaka.

Orang-orang yang paham bahwa negara ini butuh dialektika budaya serta political will yang kuat dan sinergis . Namun, pada gilirannya orang-orang yang paham menjadi tersandera ke dalam terma silent majority. Apa sebab? Ya ada kuasa pemiskinan yang masif. Ada rezim bahasa yang bekerja meneror nyali perubahan. Ada lidah pragmatis yang twrbawa arus global untuk mengubah warna produk budaya kita yang high context culture. Budaya yang dianggap tidak efektif, kebanyakan bumbu, bangsa pelestari basa-basi, dan sekian framing lainnya yang tertuju ke hidung kita.

Merayakan Hari Kretek

Untuk itulah, para kretekus sebagai penekun budaya kretek yang terhimpun di Komunitas Kretek dan Komite Nasional Pelestarian Kretek tanpa bosan berkreasi. Salah satunya melalui peringatan Hari Kretek. Secara sejarahnya sudah dirumuskan dan diperingati sudah 13 tahun.

Baca Juga:  Ramadhan di Tengah Pandemi dan Pelajaran Saling Menghargai

Sampai tahun ini, Hari Kretek belum pula diakui secara sah oleh pemerintah. Beda perlakuannya terhadap budaya jamu dan batik yang tiap tahun mendapatkan atensi seremonial.

Jangankan pengakuan atas peringatan Hari Kretek, upaya mendaftarkan produk kretek sebagai kekayaan tak benda saja enggan serius. Pemerintah dibayangi risiko dari memfasilitasi etos budaya kretek ini, oleh sebab Indonesia adalah salah satu negara peserta FCTC, pengendalian tembakau. Indonesia terus menjadi sorotan global dalam mengejar target-target politik FCTC.

Atas dasar itulah, teman-teman kretekus terus menggelar perhelatan yang tergolong ‘mengusik’ perhatian pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, rezim Jokowi tengah terkonsentrasi pada target penuntasan infrastruktur fisik. Baik itu ibukota baru dan sejumlah proyek strategis nasional. Mungkin bagi mereka apalah budaya kretek ini, tak seberapa prestisius dibanding proyek imperium yang akan mengubah wajah Indonesia.

Padahal sejatinya, komoditas kretek adalah sektor strategis yang mengongkosi roda pembangunan ekonomi. Selain disebut-sebut sebagai sektor padat karya karena menyerap tenaga kerja banyak. Begitipula dari aspek pajak dan cukai yang dihisap dari Industri Hasil Tembakau, nilai ratusan triliun masuk secara intensif ke dalam APBN, turut pula menambal proses IKN. Selain menambal defisit BPJS kesehatan dari tahun ke tahun.

3 Oktober 2023 di Sleman

Merayakan Hari Kretek yang digelar di Sleman pada 3 Oktober, kiranya seperti seremonial pada umumnya. Iya memang, jika dilihat dari para pengisi acara. Baik Iksan Skuter dan Jason Ranti. Namun yang perlu digaristebalkan di peringatan bersejarah ini, ada laku hidup dan semangat memperjuangkan keadilan atas nasib para penekun budaya kretek.

Para penekun budaya ini kerap dipragmatisasi sebagai konsumen dan angka-angka belaka. Brengseknya lagi, dilabeli pesakitan oleh regulasi bahkan oleh praktik normatif yang diintrodusir pemerintah.

Kretekus di dalam peringatan ini membawa suara keadilan atas hak hidup masyarakat tani, buruh linting, pedagang rokok, pekerja iklan, entitas kreatif yang turut andil menghidupi kelangsungan APBN melalui pajak-cukai yang negara kantongi.

Disadari atau tidak, merayakan Hari Kretek acap dinilai bernuansa subversif bagi mata sosial yang tepenjara narasi normatif. Sedangkan di konteks keadilan sosial, sudah semestinya tak ada lagi diskriminasi teehadap warga negara atas pilihan merokok. Merayakan produk budaya bangsa ini, bukanlah perayaan hidup yang sakit. Ini justru menjadi salah satu upaya menggedor pintu nalar pemerintah yang selama ini hanya mau uangnya saja dari industri kretek. Selamatkan kretek selamatkan budaya bangsa.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *