Press ESC to close

Kretek Tidak Pernah dan Tidak Akan Mati!

“Kretek tidak pernah dan tidak akan mati!.”. Sekali lagi, “kretek tidak pernah dan tidak akan mati!”. Mungkin kalimat itu akan membuat alergi dan kelabakan pihak-pihak anti rokok. Tapi faktanya memang begitu. Sebab hingga hari ini, kretek memiliki umur yang tidak sedikit. Bukan satu atau bahkan puluhan tahun lagi. Melainkan barang ini sudah berumur ratusan tahun silam.

Dari situ saya menyakini bahwa apa pun yang bertahan lama pasti berguna dan bermanfaat. Sama halnya dengan kretek. Tidak terhitung jumlahnya berapa banyak orang yang ikut ambil andil dari manfaatnya kretek. Entah manfaat dari segi ekonomi, sosial budaya, atau lain sebagainya.

Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kretek selalu dihantam dengan godam dan dipojokkan oleh banyak hal. Dari mulai regulasi pemerintah dan konspirasi anti-rokok, Seperti cukai rokok yang terus dinaikan, narasi-narasi yang mengaungkan bahwa rokok dapat merusak kesehatan, dan hal-hal lain semacamnya. Walau demikian itu tidak membuat kematian dari kretek. Senjakala saja belum. Praktisnya sampai hari ini barang yang bernama kretek masih tetap eksis. Dan akan tetap eksis.

Baiklah saya kasih buktinya. Pertama, di tengah kenaikan cukai rokok yang menyulitkan sebagian masyarakat untuk bisa mengakesnya, produsen rokok memutar otak bagaimana mereka menghasilkan rokok kretek baru. Walhasil muncul rokok-rokok baru dengan harga yang relatif terjangkau. Bahwa dari segi rasa itu sedikit-banyak berbeda dari rokok-rokok premium atau golongan pertama itu persoalan lain. Tapi yang jelas, rokok-rokok baru hari ini terbilang cukup diminati oleh para masyarakat luas.

Baca Juga:  Kelompok Ritel Menolak Wacana Kenaikan Tarif Cukai

Merebaknya tingwe

Selain bermunculan rokok-rokok baru yang murah sebagai alternatif dari kenaikan cukai, para perokok hari ini dekat dengan tingwe (ngeliting dewe). Padahal sejauh pengamatan saya, dulu ketika saya masih umur belasan, tingwe hanya diminati oleh kakek-kakek saja. Tidak banyak orang yang memakai tingwe. Tapi ketika melihat hari ini anak-anak muda justru turut mengandrunginya.

Di tempat saya sendiri, tepatnya di daerah Temanggung, nyaris teman-teman saya yang perokok selalu membawa tempat kecil yang berisikan tembakau, cengkeh, dan papir kertas. Mereka masih membeli rokok-rokok bungkusan, tapi tingwe juga menjadi hal yang tidak kalah penting juga. Atau bahkan sebaliknya, rokok-rokok bungkusan dianggap sebagai nomor dua sedangkan nomor wahidnya adalah tingwe.

“Ah itu palingan cuma di Temanggung saja.” Tidak hanya di Temanggung saja kok. Faktanya ketika di Jogja pun saya lazim menemukan orang yang membawa bekal tingwe untuk bisa tetao berasap di tengah kenaikan cukai rokok yang tidak masuk akal. Tak ayal di Jogja yang notabene daerah perkotaan, toko-toko tingwe tersebar cukup masif.

Baca Juga:  Cukai Boleh Naik Tapi Jangan Signifikan Apalagi Pakai Simplifikasi

Kebiasaan masyarakat untuk melakukan tingwe itu tidak ada yang mengorganisir atau memproganda lho. Kebiasaan itu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Lahir secara organik. Tanpa ada yang menyuruhnya.

Itu hanya berbagai bukti yang saya temukan belakangan ini, ya. Belum yang dulu-dulu lagi. Pun apakah hal di atas belum cukup untuk membuktikan bahwa kretek tidak pernah dan tidak akan mati!?. Hanya caranya saja yang berbeda. Sebab masyarakat kita punya karakter kemandiriannya sendiri. Masyarakat kita punya cara sendiri untuk bisa bertahan dan terus menyambung hidupnya, termasuk dalam urusan kretek. Sebab kretek sudah menjadi warisan budaya Indonesia. Hanya ada satu di dunia dan itu di Indonesia. Oleh sebabnya hal itu mesti dipertahankan. Tabik!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *