Press ESC to close

Benarkah Keluarga Perokok itu Boros?

Rokok di keluarga kami bukan barang yang melulu dilihat secara dikotomis. Meski tak sedikit orang yang melihatnya dari sisi ekonomi dan kesehatan, bahkan dikaitkan dengan mahalnya biaya rumah sakit akibat merokok, pula disanding-sandingkan dengan pengeluaran konsumsi lainnya.

Di rumah kami dengan anggota keluarga berjumlah empat orang. Dimana istri dan anak lelaki saya yang sudah dewasa juga merokok. Hidup dengan budaya saling melengkapi. Rokok bagi kami adalah sarana rekreatif, hanya disiplin merokok di antara kami berbeda-beda.

Ini gambarannya. Saya punya pendapatan tidak tetap sebagai acting coach. Pemasukan bersifat fluktutif. Praktisnya, ada pos-pos pengeluaran pokok dan tidak pokok. Pos belanja pokok tentu tidak akan saya usik hanya untuk merokok. Paling tidak, secara pribadi saya harus menyisihkan uang sekurangnya Rp350.000 untuk merokok dalam sebulan.

Berbeda dengan habit pengeluaran rokok istri saya. Dia seorang pengajar di sekolah swasta dengan gaji di bawah UMR Tangerang Selatan. Lebih dari 7 jam ia berada di sekolah. Dapat dipastikan ia tidak merokok saat sedang mengajar.

Istri saya tipikal perempuan mandiri, kerap membawa bekal makan sendiri serta membawa dagangan berupa cemilan untuk menambah penghasilan. Di sini menariknya, jarak tempuh dari rumah ke tempat kerjanya terbilang jauh. Variabel jarak dan waktu juga menjadi faktor yang mempengaruhi boros dan tidaknya suatu pengeluaran.

Baca Juga:  Menulis dan Urgensi Menghisap Sebatang Rokok

Untuk itu, dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, terkadang ia harus menepi dan merokok untuk sekadar mengendurkan penat dari kemacetan lalu lintas. Terkadang loh ya.

Kebiasaan mlipir untuk sebats itu tidak berlaku di rentang perjalanan pagi ke sekolah. Karena apa? Karena menurutnya, jika telat masuk kantor akan kena sanksi potong gaji. Itu artinya, ada uang pokok yang berkurang.

Ketika di rumah, jika pun terlihat merokok tak lebih dari dua-tiga batang. Kebiasaan merokoknya lebih terukur dibandingkan suaminya ini. Ia akan terlihat lebih kerap ngebul ketika akhir pekan di rumah.

Demikian pula dengan anak lelaki saya, dia memiliki kebiasaan merokok yang juga terukur. Sejauh pengamatan, untuk sebungkus rokok dapat dia habiskan selama dua atau tiga hari. Kebiasaan ini persis cara ibunya memperlakukan sebungkus rokok.

Lain halnya dengan saya yang tergolong perokok plural. Stok harian biasanya sebungkus rokok non filter. Dan syukurnya juga punya stok tembakau tingwe. Di sini pluralnya. Saya suka selang-seling dalam mengonsumsi produk tembakau. Sesimpel itu kok.

Sadar sebagai rakyat berpenghasilan pas-pasan, saya tidak menganut gaya hidup urban yang tamplate. Dimana setiap akhir pekan rutin ke coffee shop, bioskop, atau rekreasi lainya di luar rumah. Secara naluriah, kami membawa kesadaran untuk tidak terlalu berlebihan memaknai gaya hidup. Alhamdulilahnya, kami tak punya budaya yang berurusan dengan Pinjol (pinjaman online).

Baca Juga:  Wafatnya Dalang Kondang Tak Luput dari Anasir Kampanye Antirokok

Dari aspek gaya hidup, kami menolak dibakukan oleh industri kebudayaan yang semu. Untuk pemenuhan kebutuhan primer tentu saja itu prioritas, sementara yang bersifat komplementer, ya tinggal disiasati saja. Misalnya rokok, itu kebutuhan komplementer. Jika tak ada rokok, tingwe pun jadi. Asas itu pula yang berlaku pada anak lelaki saya yang penghasilannya dari berjualan di rumah.

Jika ada tudingan atau bahkan stigma bahwa keluarga perokok itu boros, mungkin itu bersifat kasuistik saja. Bukankah tidak sedikit orang yang tidak merokok juga bisa boros? Intinya, kembali ke daya kelola masing-masing dalam memaknai kebutuhan dan gaya hidup.

Kocaknya, tidak sedikit dari kita yang terperangkap ukuran-ukuran baku dalam memaknai daya finansial dan gaya hidup. Misalnya, ada keluarga bukan perokok, suami-istri punya mobil. Tetapi rutin membayar tagihan Pinjol, asuransi, dan keperluan lainnya. Sementara huniannya masih berstatus ngontrak. Apakah orang itu boros sampai tidak bisa membeli rumah? Tidak selalu begitu juga kan, Bos.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *