Press ESC to close

Perokok Bukanlah Beban Negara, Melainkan Penyelamat Negara

Sampai sekarang saya tidak nemu logika dari orang-orang yang mengatakan bahwa tolak ukur negara maju adalah dengan tidak adanya perokok. Seakan perokok itu adalah penghambat suatu bangsa agar lebih baik lagi.

Padahal kalau ditarik ke belakang tokoh-tokoh pendiri bangsa kita merokok. Sebut saja ada Soekarno, Agus Salim yang menggunakan kretek sebagai media diplomasi, tokoh-tokoh dari Masyumi dan PKI, mereka banyak yang merokok. 

Karena mereka paham bahwa merokok kretek bukan persoalan menghisap asap saja tapi itu soal kedaulatan dan martabat suatu bangsa. Jadi dari sini apakah kita masih akan menganggap bahwa perokok itu adalah penghalang bagi kemajuan suatu negara? Padahal kalau dipikir-pikir penghalang suatu bangsa adalah para pemimpin yang tidak memberikan akses pendidikan secara layak. Jadi perokok tidak ada kaitannya dengan itu.

Lalu, ada lagi narasi lain yang mengatakan bahwa rokok itu adalah beban negara. Pernyataan itu awalnya dikeluarkan oleh Sri Mulyani yang kemudian jamak publik yang tidak paham soal rokok atau benci terhadap rokok turut mengamininya.

Memang statement itu sudah lama dikeluarkan. Konteksnya adalah perokok jadi beban negara, habiskan anggaran BPJS Rp15 Triliun. Tapi apakah benar demikian bahwa perokok adalah beban? Pendek kata TIDAK SAMA SEKALI. Bisa-bisanya mengatakan penyumbang negara adalah beban negara.

Baca Juga:  Perang Dagang Multinasional dalam Sebatang Rokok

Iyalah penyumbang negara, lha wong negara masih menggantungkan pemasukan terbesar dari Cukai Hasil Tembakau (CHT). Ratusan Triliun didapat dari cukai rokok. Buktinya penerimaan CHT pada 2019 mencapai Rp164,9 T, 2020 mencapai 170,2 T, 2021 mencapai 188,8 T, 2022 mencapai 218,6 T, dan 2023 mencapai 213, 4 T. Itu uang dari rokok semua, lho!!

Bahkan, saat penerimaan CHT turun negara pun kelambakan dan kebingungan. Bahkan Kementerian Keuangan pun sepertinya menyesal dan baru sadar tentang efek buruk kenaikan cukai rokok yang membuat penerimaan CHT menurun. Berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa negara masih menggantungkan pemasukan dari CHT. Apakah dari pembuktian di atas lantas masih beranggapan bahwa rokok adalah beban negara? 

Dari Perokok, BPJS Terselamatkan

Lalu soal perokok habiskan anggaran BPJS 15 Triliun ini juga mesti ditelisik ulang. Karena bagaimana mungkin semua penyakit khususnya yang dikaver BPJS itu bersumber dari semata-mata karena rokok saja. Sepertinya tidak begitu. Ya masak karena sering begadang itu dikaitkan dengan rokok. Ya masak jarang olahraga itu karena rokok. Kan tidak begitu, ya. 

Baca Juga:  Jika Kantor Staf Presiden Benar, Lebih Baik Negara Segera Mengilegalkan Keberadaan Rokok di Indonesia

Pun baru saya kemarin saya membaca berita bahwa penyebab utama Jantung Koroner bukan dari rokok.  Belum lagi penyakit-penyakit lain yang itu sebenarnya bukan dari rokok tapi dikait-kaitan saja. Kalo memakai istilah jawa, otak-atik-gathuk. Alias penjabaran singkatnya adalah dihubung-hubungkan secara asal yang penting cocok.

Fakta menarik lain yang mungkin banyak yang belum tahu bahwa setiap tahunnya alokasi Cukai Hasil Tembakau sebesar 50% digunakan untuk alokasi Jaminan Kesehatan Nasional. Ada pembangunan rumah sakit, bandara, puskesmas, fasilitas publik yang itu diambil dari Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). 

Dari semua itu kita semestinya heran, bagaimana mungkin rokok yang dijadikan sebagai penopang ekonomi dalam suatu negara, menambal defisit BPJS, menciptakan lapangan pekerjaan, dll, dll dianggap sebagai beban negara? Ada-ada saja tinggal di negara Konoha. Eh salah Indonesia maksudnya. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *