Press ESC to close

Hegemoni Antirokok di Indonesia, Terasa Sangat Fasis!

Hegemoni antirokok Indonesia sejatinya sangat besar dan berbahaya. Mereka masuk pada sendi-sendi kebijakan yang membuat semakin keruh kubangan Industri Hasil Tembakau Indonesia.

Tidak sedikit orang yang pernah ditanya dokter soal apakah Anda perokok, atau setidaknya mendengar celetukan, iya ganteng sih tapi perokok. Bahkan, mendapatkan celetukan yang menyindir, masuk masjid kok bawa rokok. Kebetulan bungkus rokok itu terlihat berada di dalam saku koko. 

Pandangan manusia Indonesia memang tak selalu sama dalam memaknai rokok. Namun, sebagian besar yang diekspresikan bertendensi kepada satu kesimpulan; bahwa rokok itu negatif.

Apakah semua orang yang menilai rokok itu negatif adalah kelompok antirokok? Tentu tidak selalu begitu. Ada juga orang-orang yang menjadi korban dari kerja-kerja kampanye kesehatan. Ada yang cuma cari aman alias ikut-ikutan. Tak jarang yang membawa motivasi meraup eksposure dengan skill cherry picking—comot info sana-sini demi terkesan argumentatif.

Berbagai label buruk yang melekat pada rokok tentu tak bisa dilepaskan dari bias kepentingan. Ini yang mesti disadari publik. Bahwa, baik itu kepentingan bisnis kesehatan dan kepentingan eksposure mestinya kita dapat berlaku objektif. Artinya, tidak melulu mengaitkan rokok dengan kesehatan.

Di dalam konteks ini, dengan mudah dapat kita temukan kesamaan umum. Baik itu pendapat otoritas kesehatan maupun figur-figur populer yang bermuara pada keburukan rokok, menyalahkan perokok, menyudutkan konsumen rokok sebagai biang kerok persoalan kesehatan.

Jika kita selidik lebih dalam, pandangan mereka umumnya membawa bias politik kapitalisme farmasi. Sebagaimana penjelasan Wanda Hamilton melalui buku Nicotine War, bahwa upaya monopoli nikotin sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau. Serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO antitembakau.

Baca Juga:  Cara Perokok Menanggapi Isu Bahaya Rokok

Kelompok-kelompok yang didanai oleh kepentingan politik dagang itu jelas membawa tujuan monopoli. Brengseknya, cara yang digunakan adalah dengan menyingkirkan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia secara TSM. Agar dapat lebih leluasa memperluas bisnis subtitusinya.

Hal ini dapat kita tengarai dari dinamika regulasi cukai yang mengarah pada single tarif. Serta makin masifnya narasi dagang terkait rokok non tar. Fakta terakhir, pemasukan negara dari sektor cukai rokok mengalami penurunan tahun ini.

Antirokok di Indonesia adalah sekelompok orang yang  membawa sesat pikir dalam menilai budaya kretek. Bahkan, enggan peduli dengan nasib orang-orang yang bergantung hidup dari budaya tersebut. Kretek adalah salah satu simbol kearifan Indonesia yang makin hari kian disudutkan.

Contohnya, di realitas urban dapat kita temukan orang-orang yang misleading dalam memaknai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kawasan tersebut dimaknai sebagai upaya menihilkan hak konsumen rokok. Sementara, perokok seperti juga konsumen produk konsumsi lainnya, juga punya hak yang dijamin oleh konstitusi, yakni UU No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Sebagai contoh lagi, dengan diberlakukannya display rokok yang wajib ditutupi tirai. Dari situ, kerja pikiran antirokok terlihat menyetarakan rokok dengan produk ilegal. Mereka menolak peduli bahwa fungsi pita cukai yang melekat pada rokok adalah bukti produk tersebut sah untuk dikonsumsi. Konsumennya pun berhak mengakses informasi produk melalui bungkusnya yang terjangkau mata. Tetapi ini tidak.

Sesat pikir semacam itu terus meluas mempengaruhi kepala mayoritas, terutama mayoritas yang enggan tabayyun (melibatkan penalaran) di hadapan kuasa informasi. Senyampang itu, banyak orang yang percaya pada terminologi perokok pasif.

Baca Juga:  Perokok Bebal Memang Ada, Tapi...

Dalam hal ini, antirokok selalu melihat orang yang tidak merokok namun berada di sekitar perokok sebagai perokok pasif. Ini merupakan strategi keji dalam upaya mempolarisasi publik. Lebih lanjut menyingkirkan perokok dari ruang bersama.

Perlu diingat lagi, istilah perokok pasif itu diproduksi oleh rezim otoriter Hitler pada masa berkuasa di Jerman. Kemudian, istilah tersebut berkembang dan digunakan antitembakau global ke dalam kampanye-kampanye kesehatan. Termasuk di Indonesia yang pasarnya begitu menggiurkan untuk diobrak-abrik kewarasannya dan dikuasai.

Disadari ataupun tidak, sebagian besar masyarakat mengamini istilah perokok pasif. Termasuk sebagian perokok—yang sorry to say belum terintegrasi dengan baik. Mengingat kontroversi tentang rokok tak pernah didamaikan oleh sikap pemerintah melalui kebijakannya.

Sederhananya, jika pemerintah mau berlaku fair dan melindungi sumber hajat hidup bangsanya, pasca reformasi harusnya ada upaya yang diambil pemerintah untuk menegaskan posisi tembakau. Untuk lebih protektif agar tak rentan dimainkan oleh kepentingan liberalisasi ekonomi melalui terma kesehatan.

Namun faktanya, pemerintah memasukkan aturan tentang tembakau ke dalam aturan kesehatan melalui UU 36/2009 tentang Kesehatan. Poinnya, upaya menjadikan kesehatan sebagai tameng bisnis antitembakau, ini salah satu suksesi yang menghegemoni alam pikir pemerintah dan mayoritas publik. 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *