Antirokok selalu menganggap perokok itu boros. Padahal pandangan seperti itu hanya negative thinking saja dengan analisis yang dangkal.
Aktivitas merokok kerap kali diidentikkan dengan aktivitas yang sia-sia. Aktivitas yang hanya menghambur-hamburkan uang. Tak ayal banyak orang yang tidak suka rokok menyarankan untuk para perokok agar menggunakan uangnya untuk keperluan lain. Bukan untuk rokok lagi. Karena merokok di mata mereka adalah perilaku boros.
Lantas apakah benar bahwa perokok itu boros? Kalau kita mengamini bahwa perokok itu boros, sebenarnya perokok bukan boros, hanya saja uangnya sedikit. Hehehehe. Belum lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa harga rokok terutama yang Sigaret Kretek Mesin (SKM) atau Sigaret Putih Mesin (SPM) relatif mahal bagi masyarakat umum.
“Sudah tahu miskin ngapain merokok!?” Mungkin ada yang berargumentasi seperti itu. Hadehh. Didasari atau tidak, asumsi itu justru melukai hati orang yang dikatai. Sebab kalau membicarakan kemiskinan itu ya rokok tidak bisa disalahkan. Karena ada yang namanya kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
Pun menyinggung rokok, harus diakui, rokok itu adalah media rekreasi dan relaksasi yang paling gampang dan bisa diakses bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Karena kalau mau healing ke suatu tempat ya itu butuh uang dan waktu. Atau kalau mau beralih ke miras atau narkoba juga itu berbahaya.
Perokok Itu Boros?
Lalu kembali lagi kepada persoalan apakah rokok itu boros? Jawabanya Belum tentu kok. Saya sendiri malah bisa lebih hemat kalau beli rokok. Bayangkan satu bungkus rokok saya beli seharga 25-35rb. Itu bisa bertahan 1-2 hari. Kalau saya mau beralih jajan, malah lebih boros. Itu posisi sekarang saya sudah mendapat penghasilan sendiri yang alhamdulilah lumayan.
Malahan saya sempat berpikir bahwa ngopi di coffee shop yang membuat uang saya cepat habis. Karena saya harus merogoh kantong antara 25 ribu – 30 ribu rupiah untuk satu cangkir kopi yang saya habiskan hanya 2-4 jam saja. Sedangkan rokok dengan harga segitu bisa saya habiskan 1-2 hari.
Pun berbeda ketika dulu penghasilan saya belum tetap, saya tidak sering membeli rokok bungkusan. Saya mengkonsumsi tingwe untuk sehari-hari. Nah karena sekarang sudah ada penghasilan tetap dan lumayan saya pun setengah-setengah antara tingwe dan mengkonsumsi rokok bungkusan.
Intinya sebagai perokok saya bisa mengontrol anggaran yang saya dapat untuk membeli rokok. Saya masih bisa menyisihkan uang untuk keperluan lain seperti halnya menabung, srawung kepada teman, dan lain sebagainya.
Beli Rokok yang Memang Terjangkau
Begitu juga yang saya ketahui ketika melihat teman-teman saya yang perokok. Mereka bisa menyesuaikan anggaran untuk membeli rokok. Kalau uangnya sedikit mereka memilih untuk beli rokok-rokok yang terjangkau. Rokok yang masih aman di kantong mereka. Bahkan tidak jarang mereka pun tingwe.
Jadi kita tidak bisa langsung menilai apakah perokok itu boros. Justru kita harus merefleksikan kenapa kita hanya memiliki kemampuan ekonomi yang begini-begini saja. Sementara ada negara yang terus memeras rakyatnya dengan berbagai cara.
Dan perlu diingatkan kembali bahwa tolak ukur kaya atau miskin itu tidak serta merta dilihat dari merokok atau bukan. Karena belum tentu yang merokok bisa miskin dan belum tentu juga yang tidak merokok langsung kaya. Intinya kembali ke skala prioritas. Rahasia umum sih tapi masih banyak orang yang kadang lupa.
- Menteri Kesehatan adalah Hama Bagi Industri Hasil Tembakau - 6 September 2024
- Bungkus Rokok Akan Dibuat Polosan, Upaya Kemenkes Melampaui Aturan yang Sudah Ada - 28 August 2024
- Jual Rokok Eceran Dilarang, Rokok Ilegal Dibiarkan - 15 August 2024
Leave a Reply