Press ESC to close

Kenapa Rokok Sering Dipermasalahkan Publik?

Ketika ada kata rokok muncul di pencarian Google, nuansanya negatif. Barangkali itulah alasan mengapa rokok sering mendapat permasalahan oleh publik. 

Saya pernah melakukan survei kecil-kecilan dengan menanyakan kepada kaum perempuan. Pertanyaanya sederhana, bagaimana kriteria perempuan dalam memilih pasangan. Tidak sedikit yang memasukan variabel dengan memilih laki-laki bukan perokok (tapi kalau ganteng nggakpapa).

Saat ditanya alasannya pun cukup beragam, ada yang mengatakan kalau rokok membuat boros mending uangnya buat yang lain daripada beli rokok,  merokok tidak menyehatkan, merokok itu asapnya mengganggu, dan lain sebangsanya. Intinya bagi kaum perempuan, laki-laki yang tidak merokok mendapatkan poin plus di benak kaum hawa. Hmmm.

Lalu geser ke lainnya lagi, ketika ditemukan seorang perempuan yang merokok, anggapan publik jamak yang buruk. Perempuan merokok mendapatkan stigma! Perempuan merokok adalah perempuan yang nakal. Ditanya alasan rasionalnya pokoknya perempuan merokok itu nakal. Titik. Tidak ada alasan untuk menguatkan stigma itu. Gawat.

Ada kasus lain lagi, seperti yang terjadi beberapa bulan ke belakang, rokok menjadi “barang haram” di poster gerakan yang dilakukan oleh Social Movement Institute. Derajatnya sama dengan sajam, miras, bahkan oligarki.

Sebenarnya tiga kasus itu sudah membuktikan bagaimana publik mempermasalahkan rokok. Itu baru tiga contoh lho. Belum kasus-kasus yang lain. Seperti rokok menyebabkan stunting, merokok menyebabkan ragam penyakit, dan sebagainya, dan sebagainya. Saya tidak akan membahasnya disini. 

Baca Juga:  Etika Merokok adalah Kunci untuk Mengurangi Diskriminasi Terhadap Perokok

Padahal kalau mau ditelisik lebih dalam, kasus-kasus yang saya sebutkan di atas itu ada bantahan yang lebih masuk akal. Tapi saya tidak akan membahasnya disini. Saya malah penasaran kenapa publik sering mempermasalahkan rokok?

Kenapa Publik Sering Mempermasalahkan Rokok?

Setelah saya cari tahu ternyata diakui atau tidak, hegemoni antirokok ini sudah menguasai publik. Rokok adalah barang yang wajib dibenci. Bahkan orang-orang yang sudah kadung benci dengan rokok tidak mau tahu kebenaran-kebenaran tentang jagad rokok. Atau mereka sudah tidak mau tahu tentang kontribusi yang diberikan oleh rokok.

Membuktikan hal itu, saya pun pernah melakukan tweet war. Ringkasnya, saat saya ajukan argumen berdasarkan opini, pengamatan, dan kajian Komunitas Kretek, saya pun dibantah untuk menyertakan artikel yang riil, seperti buku misalnya, saya ajukan argumentasi buku pun masih dibantah untuk memberikan jurnal ilmiah, saat saya berikan jurnal ilmiah pun mereka menolak mentah-mentah dan malah geser ke persoalan lain. Hadehh. Jadi teringat puisi Gus Mus, Kau Ini Bagaimana atau Aku yang Harus Bagaimana.

Bukan hanya hegemoni antirokok yang sudah menang dan publik yang kadung antipati sama rokok saja, melainkan di sisi lain para perokok ini (maaf) masih belum begitu aware dengan diskursus rokok. Jamak dari para perokok yang lebih memilih diam, ngalah, saat membahas isu rokok. Padahal kan sebagai perokok harusnya merasa dekat dengan rokok karena barang ini menjadi hal yang dikonsumsi.

Baca Juga:  Ketika Susi Pudjiastuti Menang dari Sandiaga Uno

Oh ya, ngomong-ngomong bagi kalian yang mempermasalahkan rokok kalau memang asapnya mengganggu, sebenarnya sudah ada Kawasan Tanpa Rokok, di mana kalau ada kawasan ini pihak setempat juga wajib menyediakan ruang merokok yang layak. Ruang Merokok bukanlah penghukuman kepada perokok, melainkan jalan tengah antara perokok dan non perokok. Karena masing-masing juga ada haknya.

“Tapi kan masih ada perokok yang bandel. Merokok di dekat ibu hamil di jalan raya dan sebagainya,” untuk hal ini memang benar adanya. Sehingga tugas kitalah yang mengingatkan untuk tidak merokok sembarangan. Bukan malah antipati dengan rokok. Begitu. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *