Pola asuh orang tua kepada anak merupakan kunci utama dalam menghadirkan generasi cemerlang. Hal senada juga berlaku bagi pemerintah kepada rakyatnya. Lebih spesifik terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT). Perlu diingat, dari sektor IHT ini terdapat banyak masyarakat yang bergantung dari sektor kretek.
Kretek merupakan produk budaya yang memberi devisa ratusan triliun rupiah setiap tahun. Namun ironisnya, dari pendapatan yang masuk kas negara, perlakuan pemerintah justru sangatlah menekan.
Berbagai aturan yang mendikte ke dalam budaya kretek menjadi hantaman bagi para pelaku bisnisnya. Tilik saja, saban cukai naik harga rokok meningkat disertai peningkatan inflasi dan maraknya rokok ilegal. Namun dari situ, angka perokok tidak lantas berkurang. Keberadaan industri rumahan kian habis dihantam regulasi, hal itulah yang memicu maraknya peredaran rokok ilegal.
Terbitnya berbagai regulasi rokok membuat nasib rakyat yang bergantung dari kretek makin tergusur. Ditekan terus oleh isu kesehatan dan dalih angka perokok di bawah umur. Sebagai penegas, rakyat adalah anak dari amanat ideologi bernegara.
Pola Asuh Negara Terhadap Anak Minim
Pola asuh negara terhadap produk budaya semacam itu apakah akan membuahkan generasi cemerlang? Tentu tidak. Tilik saja dari misalnya cara negara menyikapi kelompok yang dicap teroris. Ada yang ditembak mati, mendapatkan stigma, dan berbagai perlakuan politis lainnya. Hal itu justru menyisakan luka dan dendam di batin keluarga serta kerabat mereka.
Sebagaimana kita ketahui pula pada tahun-tahun belakangan ini, pemerintah dan kelompok antirokok demikian getol bicara soal ancaman rokok bagi anak di bawah umur. Seturut isu yang canangkan WHO untuk Hari Tanpa Tembakau Sedunia. IHT dituding begitu ekspansif dalam menjangkau pasarnya.
Sementara, berbagai aturan tentang rokok yang menjelma dari aturan-aturan sebelumnya seperti tidak kenal jenuh dilesakkan. Dalam hal ini, industri rokok sudah berupaya taat asas dan konsisten pada aturan yang ada.
Mulai dari penerapan gambar peringatan kesehatan, jam tayang iklan, bahkan dalam perkara kegiatan yang menunjang prestasi anak-anak di bidang olahraga.
Munculnya fenomena perokok pemula dituding sebagai akses dari kebrutalan bisnis rokok. Demikian bunyi klise yang beredar. Kemudian, sektor IHT mendapat stigma tebal sebagai biang kerok atas persoalan kesehatan dan gizi buruk. Aturan terus dibuat alih alih melindungi anak dari ancaman rokok, praktiknya malah tidak presisi. Pembatasan usia konsumen rokok tidak disertai dengan pengawasan.
Kemudian, keberadaan iklan rokok oleh kelompok antitembakau ditandai sebagai bagian dari siasat industri meraup para perokok di bawah umur. Sepertinya tidak diindahkan lagi sekian variabel lain dari penyebab fenomena tersebut. Di antaranya ya perihal pola asuh di dalam keluarga.
Berbeda perlakuan pemerintah dengan sektor bisnis lainnya. Sebut saja bisnis tambang serta alih fungsi lahan, tentu memberi dampak kerusakan ekologis serta kesehatan. Namun itu dianggap sepi saja. Polusi yang dihasilkan juga memberi efek gangguan pernafasan (Ispa) di sejumlah anak, seperti yang terjadi di Marunda Jakarta Utara. Nuansa diskriminasi itu kian terasa dari sisi perokok yang distigma pesakitan.
Diskriminasi terhadap Sektor Kretek
Patut dicurigai, ketika pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyebutkan angka prevalensi perokok anak terus naik setiap tahun, dan apabila (rokok) tidak dikendalikan akan meningkat hingga 16% di tahun 2030.
Ini angka yang mencemaskan tentunya bagi para orang tua, setidaknya menjadi angka yang dapat menggugah orang tua untuk membenarkan perilaku diskriminatif pemerintah terhadap industri kretek.
Prediksi angka itu terus saja menjadi dalil dalam berbagai kampanye kesehatan untuk mendiskreditkan industri. Sebagai sektor penghasil devisa yang bersaing dengan penerimaan Migas, sektor kretek seperti tidak diberi kepatutan untuk mendapatkan dignity (martabat usaha)-nya.
Upaya menekan sektor kretek ini sudah ditandai berlangsung masif sejak pintu liberalisasi ekonomi terbuka lebar. Tepatnya pasca reformasi 1998. Dari masa itu mulai bermunculan aturan standarisasi rokok. Disertai forum-forum yang membahas rokok sebagai musuh bersama. Di sisi lain, pemerintah tetap saja mengandalkan pendapatan dari bisnis kretek.
Bermacam siasat penghalusan kata melalui regulasi yang berinduk pada terma ‘pengendalian tembakau’ bermunculan secara simultan. Di antaranya perkara pembatasan ruang, definisi perokok pasif, hingga istilah perokok ketiga yang merupakan perluasan makna dari orang yang terpapar unsur asap rokok.
Di tahap ini kemunculan rokok elektrik yang dipromosikan lebih aman. Dengan jargon jembatan untuk berhenti merokok kemudian mendapatkan konteks pasarnya. Di sejumlah negara lain, tidak sedikit perokok di bawah umur mencoba jenis rokok alternatif ini. Pula hal itu menjadi perhatian kelompok antitembakau untuk merepresi lebih lanjut industrinya.
Upaya pemerintah dengan mengganti aturan demi aturan dari tahun ke tahun, justru semakin membuktikan ketidakbecusan dalam hal ‘pola asuh’. Pengasuhan pemerintah terhadap regulasi yang ada terkesan tidak konsisten, jika tak mau disebut tidak berintegritas.
Selama ini, pemerintah justru berlaku diskriminatif, bahkan terkesan menjadikan isu perokok anak sebagai tameng belaka. Tameng untuk memberangus sektor kretek yang merupakan anak dari budaya ekonomi kerakyatan. Apakah semangat kerakyatan pada kretek itu yang ditakutkan pemerintah? Dianggap sudah tidak kompatibel dengan zaman setelah sekian masa habis diperah sarinya.
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024
Leave a Reply