Press ESC to close

Tembakau dan Sumbangsihnya Terhadap Ekonomi dan Kebudayaan Bangsa Indonesia

Ada sejarah panjang yang terbentang tentang bagaimana proses pengolahan tembakau Indonesia yang berliku.

Dalam sistem pengetahuan masyarakat agraris Nusantara kita telah mengenal terma pranatamangsa. Ini adalah sistem penanggalan yang menjadi acuan praktik tanam sebelum dunia menganut paradigma climate change.

Dari sistem pengetahuan ini pula dapat kita temukan bagaimana berbagai tradisi (local genuine) turunannya bisa terjadi. Adanya semangat pemuliaan tembakau sebagai anugerah alam Indonesia. Di antaranya praktik spiritual pra tanam-pasca tanam yang di daerah Temanggung dan daerah penghasil lainnya masih terselenggara. 

Kemampuan membaca siklus musim itu meliputi pula modal tanah tropis yang subur. Inilah pula yang menjadi aset berkelanjutan antar generasi. Dari sini pula tembakau dan rempah-rempah hadir dimaknai sebagai komoditas. Dari sini pula etos bertani di masyarakat menjadi tumpuan kapitalisme kolonial pada masanya.

Sejarah Panjang Cukai Hasil Tembakau Era Lampau

Pada masa itu paradigma cultuurstelsel kemudian bersalin rupa menjadi Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) sebagai penanda adanya praktik liberalisasi ekonomi. Berangkat dari era salin rupa ini pula kita dapat membaca bagaimana kontribusi tembakau tak kenal putus memberi makna kesejahteraan.

Setelah Perang Dunia I berakhir, sejarah mencatat Belanda dan sejumlah negara Eropa terdampak resesi ekonomi menjelang 1930. Negara berjuluk Kincir Angin itu sedang berada di ambang kebangkrutan. 

Kerajaan Belanda berharap Gubernur Jenderal pada masa itu–dari de Graeff ke de Jonge—mampu mengeruk serta memaksimalkan potensi di tanah jajahan. Diakui sejarah, bahwa cukai tembakau de Jonge menjadi mesin pengganda kekayaan kompeni.

Baca Juga:  Asap Rokok, Perabot Rumah, dan Argumen Ngawur Antirokok

Gubernur Jenderal nan kurus berkumis itu menjadikan cukai sebagai instrumen fiskal yang juga menjadi andalan Indonesia menambal penerimaan negara. Dari era itu pula, ekonomi Belanda melesat pulih dan terbebas dari stigma anak tiri Eropa. Belanda mendapatkan posisi prestisiusnya di mata dunia.

Sebagai catatan, pemerintah kolonial mematok sampai 20% dari harga eceran tembakau berbasis pita cukai yang beredar. Kebijakan taktis itu terjadi setahun setelah de Jonge menjabat.

Dari metafora sejarah kolonial ini pula, dapat kita baca praktik oligarki ekonomi pasca reformasi turut menjadikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebagai andalan. Sehingga para pelaku bisnisnya terus terhimpit oleh regulasi yang ketat, sebagai akes dari tekanan paradigma kesehatan global.

Bahkan, berkali-kali dana CHT mampu menambal persoalan defisit BPJS Kesehatan, DBHCHT bahkan membantu problem pengadaan vaksin di masa pandemi yang lalu. Termasuk terserap untuk pilar pembangunan IKN. 

Tembakau Indonesia pada Masa Kini

Pada masanya, sektor ekonomi tembakau mampu menopang kegiatan olah raga. Budaya olah ketangkasan di lapangan hijau ini dulu tak lepas dari andil tembakau, tak bisa disembarangkan. Seperti yang kita temukan jejaknya pada logo klub sepakbola Medan (PSMS). 

Angka sektor usaha yang berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau (IHT) dari hulu sampai hilir; petani, buruh tani, perajin dan pedagang keranjang, buruh pabrik, buruh kreatif, percetakan, distributor, bahkan sampai tingkat pengecer seperti warung Madura. Kesemua itu ekosistem penting dalam memutar siklus fiskal (APBN) di negeri ini. Sehingga tembakau menyandang label komoditas strategis dan industrinya dikenal sebagai sektor padat karya. 

Baca Juga:  Sama Tembakau dan Narkotika: Menanti Terjajahnya Ekonomi Indonesia

Sebagaimana kita ketahui lagi, pada era demokrasi hibrida ini penerimaan CHT melalui bisnis rokok-kretek kerap menjadi andalan di tengah kontroversinya. Dana segar tiap tahun dari cukai terus dijadikan tumpuan untuk melumasi laju pembangunan di sejumlah lini. 

Di antara yang bisa kita temukan, pemerintah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang terserap digunakan untuk pembangunan sejumlah rumah sakit dan pengadaan alat-alat kesehatan. Bahkan mampu memperkaya para pelaku yang bergiat curang  dari sektor CHT.

Pengelolaan DBHCHT yang secara asasnya kembali lagi kepada para pelaku usahanya, yakni petani, pabrikan dan masyarakat. Dari situ telah membuktikan adanya kedigdayaan IHT kretek, yang senantiasa memberi manfaat bagi semua lapisan masyarakat.

Tidaklah keliru jika tembakau dan industri kretek merupakan pancaran rahmat kesejahteraan bagi siklus Ekosob bangsa ini.  

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *