Press ESC to close

Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade

Pengendalian tembakau di Indonesia gaungnya selalu bernuansa menekan Industri Hasil Tembakau (IHT). Hal itu saya tandai sejak munculnya PP 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Secara singkat regulasi ini menekankan standarisasi komposisi produk olahan tembakau.

Standar tersebut berupa kadar nikotin dan tar diatur secara ketat.  Unsur kebutuhan bahan baku sangat dibatasi untuk tidak melampaui standar yang ditetapkan. Selain itu perkara tata niaga rokok dan Kawasan Tanpa Rokok sebagai pembatasan aktivitas merokok diberlakukan.

Bicara pengendalian tembakau di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan traktat Framework Convention Tobacco Control (FCTC). Ini adalah produk politik kebijakan global yang didasarkan untuk mengatur kesehatan masyarakat.

Dalil-dalil normatif kesehatan di sini difasilitasi oleh WHO sebagai agen yang mengatur terbitnya regulasi kesehatan di negara-negara peserta FCTC. Ada sekitar 192 negara yang berhimpun dalam perjanjian yang mengikat ini.

Dalam menjalankan misi pengendalian di banyak negara, banyak LSM dalam negeri yang dilibatkan dan tentunya mendapatkan sokongan dana untuk melancarkan tujuan para donatur di balik kampanye kesehatan antirokok. Para donatur agenda ini sebagian besar adalah filantropis sohor.

Kalangan ini memiliki gurita bisnis dan sejumlah lembaga yang cukup strategis dalam upaya mengatur pendanaan untuk kaki-kakinya di Indonesia. Bloomberg Initiative, dan Yayasan Bill Gates adalah dua lembaga yang getol mendanai kerja politik antirokok di negeri kretek ini.

Filantropis Antirokok di Indonesia

Bloomberg sendiri pernah mengucurkan US$ 500 juta untuk kampanye FCTC. Yayasan Bill Gates juga sangat aktif kampanye antirokok di sejumlah negara Asean.  Beberapa lembaga-lembaga penelitian dan kampus-kampus ternama di Indonesia tak luput mendapat siraman dana besar dari mereka untuk mendorong regulasi tembakau.

Imbas dari kerja politik itu kemudian terlihat pada tumbangnya sejumlah pabrik kretek skala rumahan. Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah menyangkut bisnis rokok terus menghimpit sektor andalan negara ini.

Baca Juga:  Kenaikan Tarif Cukai Rokok Ditolak, Ini Alasannya

Ditambah lagi, dalam upaya mengontrol negara peserta FCTC seperti Indonesia yang tengah berkembang. Beberapa skema fiskal pun dimainkan melalui IMF dan Bank Dunia. Dan pemerintah dalam hal ini seperti tak mau peduli terhadap dampaknya di kemudian hari.

Perlu dipahami, Indonesia memiliki produk rokok yang khas bernama kretek. Berbeda dari rokok putih yang tanpa keunikan dibanding rokok Indonesia yang komposisinya dipertegas dengan cengkeh. Serta unsur rempah endemi lainnya. 

Kehadiran kretek telah mengisyaratkan adanya modal sejarah budaya bangsa yang luar biasa. Seluruh komponennya tersedia di dalam negeri, termasuk pasarnya. Fakta inilah yang kemudian melahirkan banyak nama pengusaha seperti Nitisemito dan pesohor lainnya. Pendapatan cukainya mampu mengisi kas negara dan terus diandalkan pemerintah. Hal inilah yang menjadi incaran untuk dilumpuhkan oleh kepentingan pengendalian.

Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade

Sejak memasuki tahun 2000 dibidik untuk dikuasai pasarnya melalui skema pengendalian tembakau. Sehingga memunculkan aturan yang berdampak pada alur nasib industri. Indonesia dituntut untuk menjalankan klausul-klausul FCTC yang dikemas dengan slogan untuk menekan angka konsumsi rokok. 

Beleid cukai menjadi alat untuk menekan hulu-hilir industri kretek. Dapat ditengarai imbas dari aturan cukai yang mencekik, telah membuat pabrikan harus mengambil langkah-langkah efesiensi. Adapun pelaku usaha yang sudah tak kuasa eksis secara legal, tak sedikit menempuh jalur ilegal memproduksi rokok non cukai.

Ini merupakan pil pahit yang harus ditelan pemerintah sebagai konsekuensi dari mengaksesi FCTC ke dalam aturan di dalam negeri. Sejumlah Peraturan Daerah yang dikawal para elit daerah, telah menciptakan suasana yang absurd di masyarakat.

Utamanya dalam memaknai KTR. Seperti yang terjadi di Bogor dengan aturan pembatasan promosi, dimana ritel diwajibkan menutup etalasenya dengan kain. Alih-alih agar tak memicu ketertarikan anak-anak terhadap produk legal rokok.

Baca Juga:  Polcilkes Bentukan Antirokok Adalah Bentuk Lain dari Eksploitasi Anak

Merokok menjadi aktivitas yang terus diframing negatif oleh kerja-kerja politik pengendalian. Hal ini juga menimbulkan berbagai reaksi dari stakeholder dan konsumen yang sebagian besar harus mengalami turun kasta dengan membeli rokok yang lebih murah dari sebelumnya

Mengingat harga rokok-rokok kesayangan terus naik dan banyak yang tak lagi sesuai dengan kantong. Jika ditilik sejak akhir 2015 tarif cukai dipatok di atas 10%, berakibat langsung pada beban produksi pabrikan yang meningkat.

Kenaikan cukai sebagai amanat dari pelaksanaan FCTC untuk menekan konsumsi rokok, tak lantas berbanding lurus. Sebab masyarakat Indonesia, memiliki daya dukung sosial dan daya kreatif yang khas. Tidak sedikit perokok yang beralih ke tingwe dan rokok ilegal.

Dari sini semakin terlihat bahwa agenda pengendalian di Indonesia pada gilirannya membuat pabrikan kecil terseok-seok untuk tetap eksis berproduksi. Tak sedikit yang di tengah jalan diakuisisi oleh Perusahaan rokok multinasional.

Sektor IHT yang Babak Belur

Sektor IHT seperti babak belur terus dihantam berbagai tekanan regulasi. Lini pasarnya diobrak-abrik oleh permainan regulasi, ditambah lagi harus bersaing dengan produk alternatif yang bermain slogan lebih aman dari rokok. 

Hal ini terlihat dari menurunnya penjualan rokok menurut perwakilan industri, disertai dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal. Artinya, menjadi nilai kerugian bagi negara karena menurunnya pendapatan negara dari cukai rokok. Inilah fakta pahit yang merupakan efek dari sepak terjang pengendalian tembakau.  Dalam hal ini pemerintah justru terus bermain dua kaki demi keuntungan yang semu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *